Sebuah tepukan dirasakan oleh Brama. Namun kepalanya yang pening membuat Brama enggan untuk membuka matanya. Suara Ratu yang merdu terdengar memasuki telinganya.
"Brama bangun! hei, ada apa denganmu?"
Brama pun membuka matanya lalu mengerjap, tak lama kemudian tersadar. Brama segera mengedarkan pandangannya. Sekitarnya tampak agak gelap dengan banyak mobil yang terparkir di sana.
Ternyata saat ini dia sedang berada di parkiran mobil. Dan dia duduk di kursi tengah yang di miringkan dengan Ratu di sampingnya
"Tadi tiba-tiba kamu tidak sadarkan diri. Sehingga aku meminta bantuan salah satu pelayan untuk membawamu ke mobil," jawab Ratu
Drama mencoba mengingat-ingat namun dia tetap saja tidak dapat mengingatnya Yang dia ingat adalah dia sedang makan siang bersama Ratu saat itu. Lalu tiba-tiba semuanya gelap
"Bagaimana aku bisa pingsan? perasaan aku sedang tidak sakit. Tubuhku pun baik-baik saja," tanya Brama parau.
Ratu mengangkat kedua bahunya seolah tak peduli.
"Mana aku tahu. Kamu yang tiba-tiba pingsan. Membuat repot aku saja. Bukankah tadi kita berencana untuk mencari gaun pengantin? kalau kamu sedang tidak sehat, tidak usah dipaksakan. Lain waktu saja kita mencari gaun pengantin. Aku sudah tidak mood," ketus Ratu.
Drama pun segera menegakkan tubuhnya.
"Aku tidak apa-apa. Ayo kita berangkat."
Brama segera berpindah ke kursi di belakang kemudi. Ratu pun mengikutinya. Sebenarnya ada rasa curiga yang menggelayuti pikiran brama. Namun dia tidak mengutarakannya. Takut Ratu tersinggung dan membatalkan rencana mereka. Padahal, tinggal selangkah lagi Brama mendapatkan Ratu.
Di sebelah Brama, Ratu hanya duduk diam memandang keluar jendela. Tanpa Brama tahu, seulas senyum tersungging di bibir Ratu.
"Mana gaun yang hendak kamu kenakan sayang?" tanya Brama. Tangannya terulur hendak merangkul pinggang Ratu. Namun dengan cepat, Ratu berkelit.
"Kita belum muhrim. Jangan menyentuhku dulu," tegur Ratu yang membuat Brama terkekeh.
"Maaf sayang, rasanya sudah tidak sabar," kelakar Brama dengan kedua tangan terangkat. Ratu memalingkan wajahnya sebal.
Sementara itu, karyawan butik yang bertugas melayani mereka tersenyum.
"Silakan, Nona. Butik kami menyediakan berbagai model baju pengantin. Dari yang tradisional sampai internasional. Ada baju yang sudah siap pakai, atau bisa juga memesan desain eksklusif untuk gaun pernikahan," kata karyawan itu.
Ratu manggut-manggut.
"Saya mau gaun yang eksklusif dan hanya satu-satunya. Juga, saya mau desain yang rumit dan glamour," jawab Ratu.
Brama menatap penuh senyum ke arah Ratu. Wanita sama saja. Menyukai sesuatu yang glamour dan mahal.
"Tentu Nona, mari, saya tunjukka beberapa desain khusus yang kami siapkan," ajak karyawan butik.
Ratu pun mengikutinya. Sedangkan Brama lebih memilih menunggu di luar sambil memainkan ponselnya. Memantau jalannya perusahaan via layar persegi kecil itu.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya Ratu selesai dengan pesanan gaunnya. Gaun yang digadang-gadang akan dikenakan seminggu lagi.
Selesai dari butik, Ratu meminta Brama untuk mengantarnya pulang.
"Kenapa cepat sekali?" goda Brama dengan kedipan mata.
"Mau nikah jangan terlalu sering bertemu. Nanti bosan!" jawab Ratu sekenanya.
Brama tergelak. Kucing liar seperti Ratu ternyata tak sulit untuk ditaklukkan.
"Baiklah. Tapi besok kita pergi bersama lagi. Masih ada hal yang harus kita siapkan. Kita belum mendapatkan WO untuk pernikahan kita," kata Brama mengingatkan.
Ratu hanya mengedikkan bahunya cuek. Dan itu membuat Brama merasa gemas. Karena Brama nyaris tak pernah menerima penolakan dari seorang wanita.
***
Seminggu dijalani Ratu terasa sangat cepat. Karena selama seminggu itu, Ratu mempunyai banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Jika calon pengantin kebanyakan ingin hari pernikahan segera datang, maka kebalikan dari Ratu. Ratu malah ingin perpanjangan waktu. Atau jika bisa, malah pernikahan itu tak terjadi.
"Wah, calon pengantin pagi-pagi sudah datang," seloroh Dion.
Ratu mencebik.
"Jangan menggodaku!" sungut Ratu.
Dion tersenyum kecil.
"Bukankah kamu memang calon pengantin? seminggu lagi. Pasti dalam hatimu bahagia," goda Dion lagi.
Karena sering bertemu dan berhubungan, Ratu dan Dion menjadi semakin dekat. Kedekatan mereka terjalin karena sering bertemu dan menunggu Nabila sadar di rumah sakit.
Juga karena Ratu sedikit demi sedikit mulai menghandle pekerjaan Nabila. Walaupun belum semua, karena Ratu harus banyak belajar dari Dion. Bekerja di perusahaan dan di butik menjadi tantangan tersendiri untuk Ratu.
"Kamu sudah siap?" tanya Dion.
Ratu yang tengah mengelap wajah mamanya menghentikan gerakannya.
"Bukankah aku harus siap? siap tidak siap aku harus menghadapinya. Hanya saja, jika Brama mengira aku akan tunduk, dia salah besar," kata Ratu.
Dion mengangguk.
"Ya sudah, aku titip Mama ya. Aku harus kembali ke kantor. Jangan sampai Papa marah dan justru malah menyusahkan ku," ujar Ratu.
Dion mengiyakan.
Ratu segera bangkit setelah berpamitan pada Nabila yang masih terbuai tidur panjangnya. Wajah cantik Nabila pun semakin hari semakin bertambah tirus. Namun Ratu tak tega, jika harus mengikuti saran dokter untuk melepas alat penunjang mamanya dan mengikhlaskan. Ratu masih berharap, diberi kesempatan bersama Nabila.
Ratu berjalan di lorong rumah sakit sambil memainkan ponselnya. Sibuk memeriksa pesan yang masuk. Lalu tanpa sengaja, karena terlalu fokus pada layar ponsel, Ratu menabrak orang di depannya.
"Aduh!"
Ponsel Ratu pun terjatuh.
"Astaghfirullah, maaf ... maaf!"
Ratu tertegun. Saat mendengar suara yang telah lama dirindukannya itu.
"Yu-Yusuf?"
Yusuf pun tampak merasakan hal yang sama dengan Ratu. Tangannya yang terulur hendak mengembalikan ponsel milik Ratu mengarungi.
"Ratu?"
Ratu tersenyum miris. Laki-laki yang menjadi cinta pertamanya tak berubah. Masih sama, tampan dan teduh. Walaupun terlihat sedikit kurus.
"Apa kabar?" tanya Ratu sambil mengambil ponselnya dari tangan Yusuf.
Yusuf nampak tergagap. Seperti salah tingkah karena menatap Ratu terlalu lama. Yusuf mengusap tengkuknya.
"Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri?"
"Alhamdulillah," jawab Ratu.
Lalu Ratu dan Yusuf sama-sama terdiam.
"Kena-"
"Apa ya-"
Kalimat mereka harus terputus karena bertanya bersamaan.
"Maaf, kamu mau tanya apa?" kata Yusuf mengalah.
"Kamu saja dulu," balas Ratu.
Yusuf tersenyum. Senyum yang membuat Ratu bergetar. Namun secepatnya dia tepis. Karena sadar, Yusuf milik wanita lain.
"Kamu kenapa di rumah sakit?" tanya Yusuf.
"Mamaku dirawat disini," jawab Ratu kaku.
"Syafakillah, sakit apa?"
Ratu tersenyum kecut.
"Kanker," singkat Ratu.
"Innalilahi," sambut Yusuf.
"Sabar ya, mudah-mudahan Mama lekas membaik," do'a Yusuf.
"Aamiin," sambut Ratu.
"Kalau kamu sendiri, kenapa ada di rumah sakit? siapa yang sakit?" tanya Ratu.
"Oh, emh ituuu ...." Yusuf tampak gugup dan salah tingkah.
"Umi?" tanya Ratu.
"Bukan, Umi Alhamdulillah baik-baik saja."
"Lalu?" tanya Ratu. Dalam hatinya, Ratu menebak jawaban Yusuf.
"Nafisa?" tanya Ratu lagi.
"Iya, tapi bukan karena sakit. Nafisaaa-"
"Lho, Mas Yusuf? kok disini? adek tungguin dari tadi."
Sebuah suara lembut menyapa Yusuf dari belakang Ratu.