"APA MAKSUD SEMUA INI?!"
Damian menatap murka ke arah layar yang menampilkan gambar anaknya itu. Dadanya naik turun karena murka.
Sementara Brama nampak hilang kata. Wajahnya mematung dan memucat. Bagaimana bisa?
"BRENGSEK!!!" maki Damian dengan keras.
Aksara terhenyak. Terduduk seolah hilang tenaga. Sedang tamu yang ada sibuk berkasak-kusuk. Hanya Ratu yang terlihat santai dan menyunggingkan seulas senyum.
"A-apa-apaan i-ini? ba-bagaimana mungkin?" gagap Brama.
"BRAMAAA!!!"
Gelegar suara Damian terdengar sampai ke seluruh sudut ballroom. Suasana tampak kacau.
Salah seorang yang bertindak sebagai tangan kanan Damian bertindak cepat. Dengan memanggil anak buahnya, untuk membubarkan para tamu undangan yang hadir. Dibantu bagian keamanan hotel, mereka mengeluarkan tamu dari ballroom itu.
Damian sendiri berjalan cepat ke arah putranya. Matanya menyorot tajam. Seolah hendak menyayat apa yang dilihatnya.
"Pa, Brama bisa jel-"
Plaakkk!!!...
Telapak tangan Damian dengan keras singgah di pipi anaknya. Membuat Ratu sedikit berjengit.
Kepala Brama sampai tertoleh imbas dari tamparan papanya itu. Bahkan, terlihat di sudut bibirnya mengeluarkan darah.
"Kurangajar kamu!" desis Damian.
Brama menyeka darah yang keluar di sudut bibirnya. Menggerakkan rahangnya yang terasa kebas efek ditampar.
"Bisa-bisanya kamu ... Aarrrgghhh!!!"
Buggghhh!!!
Sebuah pukulan Damian layangkan ke perut Brama. Membuat anaknya tersungkur. Tak puas sampai di situ, Damian mencengkeram kerah kemeja Brama dan memaksanya berdiri. Melayangkan beberapa kali pukulan sampai Brama tergeletak dengan wajah lebam.
Namun, bukannya meringis kesakitan. Brama justru tertawa keras. Brama tergelak seolah apa yang dilakukan Damian adalah mengajaknya bercanda.
Terlampau emosi, saat Damian ingin kembali menghajar anaknya, rasa nyeri menyerang dada bagian kirinya. Membuat pria paruh baya itu berlutut menahan rasa sakit itu.
Alicia segera mendekati Damian dan memapahnya menuju kursi.
Setelah lelah dengan tawa, dengan sedikit bersusah payah, Brama bangun. Berdiri dan menatap ke arah Damian yang masih berusaha ditenangkan oleh Alicia.
Melihat Brama bangun, Damian menatap anaknya tajam. Kemudian memanggil tangan kanannya dengan suaranya yang parau bergetar. Karena sakit yang tengah dia rasakan.
Damian berbisik cepat ke telinga asistennya dan diangguki. Setelahnya, dibantu Alicia dan beberapa pengawalnya, Damian dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Di saat yang sama, beberapa preman yang memang telah disewa sebelumnya oleh Damian meringkus Brama. Tapi Brama berteriak meronta-ronta. Mengeluarkan sumpah serapah serta mencaci maki papanya.
Hingga saat akan dibawa keluar, mata Brama bersibobrok dengan Ratu. Entah kenapa, Ratu merasa ngeri dengan tatapan itu. Seolah tatapan Brama menghunus layaknya pedang. Ratu bergidik. Dan itu membuat Brama menyeringai. Menyadari ketakutan gadis yang hampir menjadi istrinya.
"Ternyata kau lebih pintar dari yang aku pikirkan, cantik! tenang saja, justru aku semakin bersemangat untuk mendapatkanmu. Kau lebih menantang dari yang kukira. Tunggulah, aku akan datang kembali untuk memerangkapmu! tunggulah, cantik, hanya masalah waktu, aku pastikan kamu akan menjadi milikku," kata Brama dengan seringaiannya.
Ratu memilih memalingkan wajahnya. Tak ingin berlama-lama menatap wajah Brama yang telah menunjukkan aura aslinya. Gelap dan menakutkan.
Preman-preman itu membawa Brama pergi. Sepanjang jalan menuju mobil, Brama tergelak keras. Seolah ada hal lucu yang membuatnya terbahak tanpa henti. Sebagian mengira Brama gila. Sebagian lagi merasa ngeri. Karena terlihat, aura Brama mengerikan. Seperti predator yang siap menyerang mangsanya.
"Puas kamu?" kata Aksara pada Ratu.
Ratu mengangguk.
"Ratu puas, Pa. Karena tidak jadi terjebak hidup dengan orang gila seperti Brama."
Brrakkkk!!!
Aksara menggebrak meja di depannya.
"Kamu menghancurkan mimpi papa!" bentak Aksara
"Mimpi? Pa! Ratu baru saja menyelamatkan Papa dari tipu muslihat Brama! apa Papa memilih mempunyai menantu gila seperti Brama? yang bahkan terhadap papanya sendiri tega? iya? apa Papa pikir, dengan menjadi mertua Brama, dia akan segan dan menghormati Papa?" seru Ratu.
Aksara terdiam mencerna ucapan Ratu. Tapi, egonya terlalu tinggi untuk membenarkan perkataan anaknya itu.
"Coba Papa pikirkan kembali, jika Brama dengan entengnya bisa sekejam itu terhadap papanya, apa yang kira-kira bisa dia lakukan terhadap pria yang hanya orang baru di hidupnya? harusnya Papa bersyukur, karena Ratu telah menyelamatkan Papa secara tidak langsung."
Ratu berdecak geram. Bisa-bisanya Aksara menyalahkannya karena kegagalan acara pernikahan ini. Seharusnya Aksara bersorak, karena gagal mendapatkan menanti yang gila seperti Brama.
"Bersyukur katamu? apa yang harus disyukuri? kegagalan pernikahan ini sama saja menggagalkan kerjasama antar perusahaan! Kamu pengen kita bangkrut dan hidup miskin? begitu? kalau kamu sedikit lebih pintar dengan menunda mengungkap semua ini, Papa bisa lebih untung! bodoh!" maki Aksara.
Mata Ratu membola mendengar kata-kata dari Aksara. Untung? papanya memang sudah gila!
"Sekarang Papa harus mencari investor baru! kamu pikir gampang telah kejadian memalukan ini, ha? semua gara-gara kebodohanmu, Ratu! Kamu menghancurkan rencana Papa!" bentak Aksara.
Beruntung, saat ini di ballroom itu hanya menyisakan Aksara, Ratu dan Maya serta beberapa anak buah Aksara. Sehingga, keributan mereka tidak menjadi tontonan orang.
Tak ingin memperpanjang pertengkaran itu, Ratu memilih berbalik dan pergi. Gaunnya sedikit dia angkat untuk memudahkannya jalan. Tujuannya adalah pulang. Berganti baju, berendam dengan air hangat, kemudian pergi ke rumah sakit.
Bersikap masa bodoh terhadap papanya juga ulat betina peliharaannya. Karena berlama-lama di dekat mereka ,Ratu seperti mendapat tekanan batin yang luar biasa
"Mau kemana kamu?" seru Aksara menghentikan langkah Ratu yang baru beberapa.
"Pulang. Apalagi? Papa mau menunggu disini? berharap Brama akan dilepaskan kemudian menikahi Ratu?" sindir Ratu.
"Kamu harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi malam ini. Papa tidak mau tahu. Besok, akan Papa Carikan pengganti Brama untuk menikah denganmu. Papa lebih memilih putus urat malu daripada perusahaan bangkrut!"
Kalimat Aksara laksana petir di siang hari. Mencari pengganti Brama? apa Aksara sebegitu gilanya sampai tak peduli tentang rasa malu?
"Papa sudah gila!" seru Ratu.
"Jangan lancang!" bentak Aksara.
"Ratu benar-benar tak habis pikir, kewarasan Papa rupanya tak lebih baik daripada Brama. Seharusnya, bukan hanya Brama yang mereka bawa. Tapi Papa juga!"
Aksara menatap geram ke arah Ratu.
"Sudah sih, apa salahnya jadi anak penurut! Jangan kerjanya cuma menyusahkan!" sela Maya.
"Jangan ikut campur! ingat posisi kamu! kamu cuma bawahan, sadar diri! jangan memposisikan diri seolah kamu bagian dari keluarga!" seru Ratu.
Maya mencebik kesal.
"Sudah cukup! Kamu Ratu, ingat kata-kata Papa kemarin. Jika kamu masih ingin melihat mamamu, maka, bersikaplah baik," ancam Aksara.
"Ratu tak peduli, Pa. Seberapa pun Papa mengancam, jika Ratu tak bahagia, Mama pun akan ikut sedih. Jadi percuma saja Ratu menurut jika ujungnya hanya membuat Mama bersedih? jadi, terserah Papa mau bilang apa. Ratu akan lakukan apa yang membuat Ratu bahagia," tegas Ratu yang membuat Aksara terkesima. Tak menyangka akan jawaban itu.
Ratu keluar hotel dengan langkah pasti tanpa peduli banyak mata yang menatapnya kasihan. Karena Ratu tak butuh dikasihani. Justru saat ini, Ratu merasa amat bahagia. Karena telah berhasil melepaskan diri dari Brama.
Rasa bahagia itu membuncah di dadanya. Hingga senyum selalu tersungging di bibirnya. Biarlah, jika ada yang menganggapnya gila. Saat ini, Ratu ingin segera bertemu Dion dan mengucapkan banyak rasa terima kasih. Berkat Dion, Ratu bisa melakukan semuanya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat berada di mobil menuju jalan pulang, ponselnya berbunyi menampilkan nomor Dion sebagai penelepon.
Dengan riang, Ratu mengangkatnya.
"Dion, aku berhasil!!! terima kasih banyak! kita berha-"
Kata-kata Ratu terputus oleh selaan dari seberang. Jawaban yang membuat rona di wajah gadis itu memudar
"A-apa ...?"
Dan ponsel Ratu terjatuh.