Ratu berlari dengan cepat di lorong Rumah Sakit. Dirinya sungguh panik dan takut. Ditambah, seolah lorong Rumah Sakit ini sangat panjang menuju ruangan di mana tempat mamanya dirawat.
Ratu tak mengindahkan banyak pasang mata yang menatapnya dengan tatapan miring. Bagaimana tidak, setelah tersebar video kegagalan pernikahannya tadi, tentu saja orang-orang menatapnya dengan tatapan berbeda-beda. Ada yang menatapnya dengan penasaran, kasihan juga mencemooh.
Tapi semua itu tidak diindahkan oleh Ratu. Ratu hanya ingin segera sampai di ruangan mamanya. Telepon yang dia terima dari Dion tadi membuat hatinya seolah terjatuh dari ketinggian. Sebuah kabar buruk yang tidak ingin dia dengar.
Karena lagi-lagi, kondisi Nabila drop bahkan Nabila mengalami sesak nafas hingga kejang. Ratu tidak ingin terlambat untuk sampai di dekat mamanya di saat-saat terakhir.
"Bagaimana keadaan Mama?" tanya Ratu dengan nafas terengah-engah.
Dian menatap Ratu dengan penuh kesedihan dan juga kasihan.
"Jangan menatapku seperti itu!" seru Ratu tidak suka. Dia tidak menyukai tatapan Dion. Dia benci tatapan mengasihani itu.
"Cepat katakan! bagaimana keadaan Mama? kenapa kamu diam saja?" teriak Ratu.
Suaranya bergetar menahan isak yang sudah sampai di tenggorokan. Bahkan mata Ratu pun sudah berkaca-kaca. Dan saat melihat gelengan pelan dari Dion, seketika itu juga Ratu, dunia Ratu terasa jatuh.
Ratu terhenyak. Kemudian jatuh terduduk tanpa daya. Matanya menatap kosong. Sebelum akhirnya, tangis meledak dari bibirnya. Ratu menangis terisak sambil memanggil mamanya.
"Kamu bercanda, kan? semua ini bohong, kan? jangan mempermainkanku, Dion! Katakan, Mama baik-baik saja kan? Mama tidak kenapa-kenapa, kan?" isak Ratu.
Dion mendekati Ratu, dan memegang kedua pundak Ratu. Kemudian membawa Ratu ke dalam pelukannya.
"Ssshhhh! Nyonya sudah tenang dan tidak merasakan sakit lagi. Ikhlaskan beliau, biarkan beliau tenang di sisinya," bujuk Dion menenangkan. Walaupun sebenarnya, Dion pun merasakan kesedihan yang luar biasa. Bahkan, sebelum kedatangan Ratu, Dion sempat mengeluarkan airmata.
"Enggak, Di! jangan bilang seperti itu. Mama baik-baik saja. Mama masih tidur kan, Di? Mama masih belum sadar saja, kan? Mama hanya belum sadar, Dion. Mama hanya belum sadarrr!!!" jerit Ratu.
"Ssshhh! Ratu, sudah. Jangan seperti ini. Nyonya Nabila akan merasa sedih di sana," bujuk Dion.
Tak hentinya tangan Dion mengusap pucuk kepala Ratu yang berhias hijab. Sambil menenangkan gadis itu dari tangis kehilangannya.
"Kenapa Mama nggak bangun dulu, Dion? kenapa Mama nggak mau bertemu denganku? apa aku terlalu buruk menjadi anak hingga Mama tak memberi kesempatan padaku untuk bertemu di saat terakhirnya?"
Dion menghela nafas panjang. Apa yang Ratu katakan tidak bisa dia jawab.
"Apa aku terlalu banyak dosa hingga Allah tak mau memberiku kesempatan untuk berbakti pada ibuku? begitukah, Dion? Aku terlalu buruk sebagai manusia. Sampai Mama saja tak ingin melihatku."
"Kenapa, Dion? kenapa ini harus terjadi padaku? Aku baru saja mengetahui cinta Mama, tapi aku juga harus kehilangannya secepat ini. Kenapa harus aku, Dion? kenapa hidupku selalu penuh kesedihan?"
Ratu meluapkan perasaan sedihnya pada Dion. Dion sendiri tak bisa berkata-kata. Dion juga menahan rasa sesak yang menghimpit dadanya. Kehilangan wanita yang dianggapnya sebagai sosok panutan. Wanita yang menjadi penolongnya.
"Ratu, semua sudah takdir," jawab Dion pelan.
"Tapi kenapa harus takdirku? kenapa bukan orang lain? kenapa harus Aku yang mengalami kesedihan ini? kenapa harus aku yang terus mendapatkan cobaan? kenapa harus aku?" Ratu memukul-mukul dada Dion penuh frustrasi.
Dion membiarkan Ratu meluapkan kemarahannya akan cobaan yang silih berganti. Dia menyadari, apa yang menimpa Ratu sangat menyakitkan.
"Aku lelah Dionnnn ... aku lelah! aku tidak bisa lagi menanggung semua ini. Jika kematian bisa menghapus rasa sakit ini, bunuh aku, Dion! agar aku tak merasakan perih hati ini! agar aku bisa bersatu dengan Mamaku," tangis Ratu histeris.
"Aku tak ingin hidup lagi jika hanya untuk menderita! Aku tak mau hidup lagi jika hanya untuk merasakan kesedihan! aku muak dengan hidup ini Dion! Tuhan selalu tidak adil padaku! Aku benci hidup ini!!!" jerit Ratu.
"Ssshhh! cukup Ratu! Sadarlah! kamu mau mamamu sedih melihatmu hilang kendali seperti ini? hey! Mana Ratu yang kuat dan tegar? Jangan mengecewakan mamamu! Masih ada hal yang penting dan membutuhkanmu," sentak Dion. Berharap Ratu berpikir jernih lagi.
"Masih ada pesan dari mamamu yang harus kamu penuhi! Apa kamu ingin membuat mamamu kecewa? Apa kamu mau membuat pengorbanan mamamu selama ini sia-sia? Mamamu mengorbankan kebahagiaanya sendiri untuk membuat hidupmu aman!"
"Jika kamu bersikap seperti ini, sama saja kamu tak mendukungnya! Kamu menyia-nyiakan kesempatan yang telah dibuat oleh mamamu! Kamu mengabaikan harapan terakhir mamamu!"
"Di detik-detik terakhir kesadaran beliau, Nyonya selalu menyebut namamu. Dan kau ingin membuatnya kecewa dengan bersikap lemah seperti sekarang? begitukah yang ingin kau lakukan? Berpikirlah seperti Ratu yang selama ini selalu kuat! jangan meratapi nasibmu berkepanjangan!"
"Hidup terus berjalan. Suka tidak suka, mau tidak mau, kita harus menjalaninya. Jangan berputus asa seperti ini! Bukankah kamu sedang berusaha menjadi pribadi yang lebih baik? maka jadilah lebih baik dengan penuh ketegaran. Lebih tegar dari Ratu yang sebelumnya. Ini ujian dari Tuhan. Jika Tuhan memberikan kita ujian, maka Tuhan menganggap kita mampu!"
Ratu merosot dari pelukan Dion dan tergugu. Tenaganya terkuras karena tangisan. Ratu merasa lemas. Seolah kekuatannya tersedot habis.
"Aku lelah, Dion," lirih Ratu.
Dan semua terasa menggelap. Ratu kehilangan kesadarannya. Tubuhnya terkulai tak berdaya di lantai Rumah sakit.
Dion segera mengangkat tubuh Ratu dan berteriak memanggil suster. Suster yang kebetulan lewat segera menolong Dion dengan mengarahkannya menuju ruang periksa.
"Nona Ratu kelelahan, Pak. Tekanan darahnya rendah. Dan beliau juga terlalu banyak beban pikiran."
Begitu ucapan dokter yang memeriksa Ratu. Dion tak menyangkalnya. Siapa yang tidak drop jika menjalani hidup seperti Ratu? begitu banyak masalah yang menyerangnya. Dion menatap nanar wajah Ratu yang terpejam.
Menghela nafas panjang, Dion memutuskan keluar ruangan. Dion masih harus mengurus proses kepulangan jenazah Nabila. Di saat ini, Dion tengah bimbang. Haruskan dia menelepon Aksara terlebih dahulu?
***
Sementara di tempat lain, Aksara tengah berada di sebuah kamar hotel dengan botol-botol alkohol menemaninya. Entah berapa banyak menuman keras itu dia tenggak. Nyatanya, tak mampu membuatnya melupakan masalah yang ada.
Maya yang sedari tadi menemaninya sudah mabuk duluan. Gadis itu tergeletak tak berdaya di ranjang kamar hotel tersebut. Meninggalkan Aksara yang masih asyik dengan botolnya yang ke sekian.
Aksara sudah setengah mabuk. Untuk ukurannya, Aksara termasuk pria yang tahan dengan minuman keras. Badannya yang terjaga tak mudah tumbang oleh kandungan alkohol.
Mulutnya masih sibuk meracau dan memakai anaknya. Sesekali, nama istrinya tercetus. Kemudian mencaci makinya juga. Karena bagi Aksara, anak dan istrinya itu adalah biang masalah.
Ponsel Aksara berdering keras. Mengganggu kesenangannya. Aksara menggerutu tak jelas namun tetap meraih ponsel yang tergeletak di tepian meja itu.
"Haaa!" cetus Aksara setelah menerima panggilan itu. Beberapa saat, Aksara mendengarkan lawan teleponnya bicara. Setelah itu, Aksara mematikan sambungan. Kemudian dengan keras, dilemparnya botol yang ada di tangannya ke arah dinding.
Ppprrraaakkkk!!!...