"Apa maksud Papa soal lamaran dengan teman Pak Ronal?" tanya Ratu setelah sampai di rumah kembali. Aksara yang baru saja hendak menuju kamarnya menghentikan langkah.
"Oh, kami membicarakan lamaran Pak Ronal untukmu. Dia sudah bersedia untuk menikah denganmu juga memberikan suntikan dana pada perusahaan. Bisa dibilang, kita beruntung. Karena setelah gagal dengan Brama, Papa langsung mendapatkan Pak Ronal," jawab Aksara.
Ratu membola. Lamaran? bahkan hatinya masih berdarah-darah karena kehilangan. Papanya sudah membicarakan lamaran yang dia sendiri baru tahu?
"Apa Papa gila? Mama baru saja meninggal, Pa! bisa-bisanya Papa membicarakan soal lamaran? apa di kepala Papa cuma ada harta harta dan harta saja? sampai istri Papa meninggalkan yang papa pikirkan hanya harta?"
"Diam kamu! tau apa kamu soal pikiran Papa? tak perlu banyak bertanya, kamu cukup lakukan apa yang Papa mau. Jangan banyak protes ataupun menolak, karena sampai kapanpun, kamu dan mamamu itu tak ada artinya buat Papa!"
Ratu berlari meninggalkan Aksara dan masuk ke kamar dengan membanting pintu.
Brrakkkk!!!
Aksara mendengus kesal. Kemudian juga masuk ke kamarnya.
"Sayanggg ...," sambut Maya.
Maya yang tadinya rebahan di ranjang kamar Aksara bangkit dan menggelendot manja.
"Akhirnya! aku rindu," rengek Maya manja sambil menggesekkan sebelah wajahnya ke dada Aksara.
"Kenapa kamu disini?" tanya Aksara lalu melepas pelukan Maya.
"Sayaaangggg ...," protes Maya.
"Keluarlah, Maya. Pulanglah. Besok kita bertemu lagi," ujar Aksara dengan nada lelah. Dia membelakangi Maya. Kemudian tangannya sibuk membuka kancing kemeja. Tubuhnya terasa gerah dan penat. Ingin segera berendam di bath up.
"Masss ... aku mau tinggal disini saja bersamamu. Kita bisa menghabiskan waktu bersama-sama terus setiap hari," ujar Maya sumringah.
Tangannya melingkari perut Aksara dari belakang. Menempelkan kepalanya di punggung Aksara.
"May, pulanglah. Apa tanggapan orang kalau kamu melihat kamu disini sementara Nabila baru saja dimakamkan?"
"Kenapa sih, Mas? aku kan kangen kamu. Aku belum puas. Kamu buru-buru pulang kan. Dan sekarang wanita bodoh itu sudah mati, jadi aku bisa menggantikan tempatnya menjadi Nyonya di rumah ini," cetus Maya.
Aksara membalikkan badannya dengan cepat.
"Jaga omongan kamu, May!" bentak Aksara tak terima.
"Mas! Kamu membentakku? Kamu kenapa, sih? Kenapa berubah gini? kamu sedih istrimu meninggal? kamu mencintainya, Mas? iya?" seru Maya.
Aksara tertegun. Kenapa dia harus marah mendengar Maya menjelekkan Nabila? kenapa dengan dirinya?
"May, sudahlah. Kita bisa bertemu besok. Sekarang pulanglah! Aku lelah menemui banyak orang," sahut Aksara.
"Kamu kok gini sih, Mas?"
"May! aku bilang pulang! jangan membuatku marah dengan membantahku!" seru Aksara.
Maya menghentakkan kakinya kesal kemudian keluar dari kamar Aksara. Menutup pintu dengan keras sebagai wujud kekesalan hatinya.
Aksara membenamkan badannya di dalam bathtub yang berisi air. Kemudian duduk bersandar di tepian. Angannya menerawang ke masa lampau. Masa dimana dirinya bertemu pertama kali dengan Nabila.
Aksara hanyalah seorang pemuda miskin dulunya. Lalu, mendapatkan pekerjaan sebagai tukang kebun di rumah keluarga Sanjaya.
Aksara ingat sekali, bagaimana anak dari keluarga Sanjaya begitu memikat hatinya. Wajahnya cantik, mulus dan juga bersinar. Membuat hati Aksara berdesir.
Ya, Nabila selalu cantik dan ceria. Hidupnya penuh dengan cinta dan juga harta. Selalu disanjung dan dipuja banyak orang. Berbanding terbalik dengannya yang selalu mendapatkan hinaan.
Aksara merasa jatuh hati pada Nabila. Hasratnya menggebu ingin memiliki gadis itu. Menutup matanya tentang status sosial mereka yang berbeda.
Aksara memang terlahir miskin. Tapi kepalanya penuh dengan ide brilian. Dan Aksara memanfaatkan otaknya yang cemerlang untuk menggapai keinginannya. Harta, tahta dan Nabila. Semua mampu di dapatkannya.
Andai bukan karena Nabila yang menghinanya. Merendahkannya saat itu, mungkin Aksara akan memuja Nabila. Tapi, hinaan yang diberikan Nabila menumbuhkan kemarahan dan dendam. Hingga, cinta yang tumbuh tenggelam di dasar hatinya. Tertutup oleh ambisi akan harta.
"Kamu pikir kamu siapa hingga bermimpi untuk bersamaku? bahkan, kamu tak pantas berdiri di dekatku. Sadar dirilah dimana tempatmu! tak sudi aku hidup dengan pria licik dan culas sepertimu!" seru Nabila saat itu.
Saat dimana seharusnya mereka mereka bisa berbahagia. Karena belum lama sah menjadi suami istri. Andai Nabila mau menerimanya, Aksara tidak akan bersikap kejam.
"Suka tidak suka, kamu istriku sekarang. Jadi, terima saja nasibmu. Berdamailah, dan aku akan menjadikanmu Ratu," bujuk Aksara.
"Aku mungkin istrimu, tapi, hanya di atas kertas. Selebihnya, aku tak sudi! Kau hanyalah mimpi buruk bagiku, tak lebih. Cukup orangtuaku yang kau tipu dengan sikapmu. Tapi tidak denganku. Sekarang, lebih baik kau enyah dari kamar ini!" usir Nabila.
Dan itu membuat harga diri Aksara benar-benar terluka. Mendapat hinaan dari gadis yang dia kagumi sejak pertama melihatnya.
Hingga dengan sengaja, Aksara selalu menyakiti Nabila. Hanya untuk membalaskan rasa sakit hatinya karena penolakan Nabila. Selalu memaksakan kehendaknya bahkan tak segan untuk menggunakan kekerasan.
Tapi, setelah kepergian Nabila, Aksara merasa kehilangan. Cintanya yang sebelumnya dia tekan dalam-dalam muncul ke permukaan. Dan Aksara merasakan kesedihan yang menusuk.
Setelah lama berendam, Aksara membasuh badannya kemudian keluar dari kamar mandi. Dia tidak boleh larut dalam rasa kehilangan. Ada hal yang lebih besar yang butuh perhatiannya.
Tak ada gunanya juga dia sedih. Karena Nabila tak akan pernah kembali. Hanya membuang waktunya mengenang istrinya itu. Lebih baik, dia melakukan hal yang pasti akan berguna dan menguntungkan.
Aksara keluar dari kamarnya dan memergoki Ratu yang terlihat ingin keluar dari rumah.
"Mau kemana kamu?" tanya Aksara keras.
"Bukan urusan Papa," ketus Ratu.
"Kau harus belajar lagi untuk menghormati orangtua, Ratu! jangan bersikap semaumu! kembali ke kamarmu!" bentak Aksara.
"Orangtua seperti apa dulu yang harus Ratu hormati?"
Ratu tetap melangkah menuju ke arah pintu.
"Kembali ke kamarmu!" teriak Aksara.
Ratu tak menggubris seruan dari Aksara. Membuat Aksara murka dan melangkah cepat ke arah Ratu. Dengan sekali sentak, Ratu terhuyung dan hampir terjatuh.
"Kau tuli? kembali ke kamarmu dan jangan pernah keluar tanpa ijinku, brengsek! kau sama saja dengan mamamu! suka melawan dan kurang ajar!" maki Aksara.
"Jangan membawa-bawa Mama yang sudah tenang! Jika ada yang harus disalahkan, itu Papa! suami macam apa hingga istri sakit pun tidak tahu? suami macam apa saat istrinya meregang nyawa sibuk berpeluh dengan sekretarisnya sendiri? Papa hanya mementingkan diri Papa dan ego Papa tanpa peduli pada kami! Ratu menyesal menjadi keturunan Papa!" balas Ratu tak kalah keras.
Plllakkkkk!!!
Aksara kembali melayangkan tangannya ke pipi Ratu.
"Tampar, Pa! tampar! sakit ini tak seberapa dibandingkan sakitnya hati Ratu melihat kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa Ratu mempunyai seorang ayah yang tak lebih dari seorang pengecut!"
Aksara kembali mengangkat tangannya dan mengayunkannya ke arah Ratu.
Tapi, sebelum telapak tangannya menyentuh Ratu, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya.
"Jangan mudah mengangkat tangan pada seorang perempuan jika anda adalah pria sejati!"
Mata Aksara berkilat marah.