"Jangan mudah mengangkat tangan pada seorang perempuan jika anda adalah pria sejati!"
Mata Aksara berkilat marah. Menyentakkan tangannya hingga terlepas.
"Jangan ikut campur masalah keluargaku! ingat posisimu! siapa kau? hanya mantan lelaki bayaran istriku. Sekarang istriku sudah mati, jadi kau bebas dari pekerjaanmu dan enyah dari hadapanku!" hardik Aksara.
Dion menyeringai. Ada banyak yang tidak diketahui Aksara tentangnya.
"Saya tidak ikut campur, ini memang pekerjaan saya!" tegas Dion.
Dua pria beda usia itu berdiri berhadapan dengan tatapan menantang. Aksara dengan kemarahannya, sedangkan Dion penuh perhitungan.
Tangan Aksara tampak mengepal kencang hingga urat-uratnya terlihat menonjol. Pemuda yang ada di depannya sungguh ingin dia remukkan. Bukan hanya kemarahan akibat campur tangan masalahnya dengan Ratu saat ini. Tapi sebuah luapan amarah yang bergulung-gulung tak terbendung seolah melingkupi pikiran Aksara.
Bagaimana bayangan yang tiba-tiba datang tentang Nabila beradu peluh dengan Dion. Entah kenapa, Aksara merasakan amarahnya sekarang. Seolah sebelumnya, amarah itu terkubur dan baru terbangun setelah istrinya tiada.
"Tugas kamu sudah selesai. Kamu pikir, siapa yang akan kamu layani? orang yang menginginkan kepuasan itu sudah tidak ada. Dan aku juga tidak sudi mempekerjakan bekas gigolo istriku!" hina Aksara.
"Anda tidak punya kapasitas untuk menentukan selesai atau belum tugas saya, Bapak Aksara yang terhormat. Kontrak kerja saya buka dengan Anda, tapi dengan almarhumah Nyonya Nabila. Dan kontrak kerja saya, tidak berhenti walaupun Nyonya Nabila meninggal. Perjanjian kontrak itu bukan hanya mengikat antara saya dan Nyoba Nabila, tapi juga Nona Ratu," papar Dion santai. Ujung bibirnya bahkan membentuk senyuman sinis.
"Tidak ada kontrak kerja semacam itu!"
"Ada, Pak. Dan Nyonya membuatnya secara sadar dan juga disaksikan serta disahkan oleh pengacara pribadi Nyonya. Ada hitam di atas putih, yang mengatakan, setelah Nyonya Nabila meninggal, maka tugas saya adalah berganti melayani Nona Ratu sampai Nona Ratu sendiri yang melepaskan saya," imbuh Dion.
"Kalian memang brengsek!" maki Aksara.
"Benar, Pak. Karena menghadapi orang yang brengsek terkadang kita juga harus menjadi brengsek," kata Dion.
"Pergi dari rumahku sekarang atau ku panggil satpam untuk mengusirmu!" usir Aksara.
"Tidak, Pak. Kalau boleh mengingatkan, terakhir kali, rumah ini masih atas nama Nyonya Nabila. Jadi anda tak berhak mengusir saya," cetus Dion.
Aksara tertawa sinis.
"Iya, dan sebentar lagi akan menjadi milikku. Jadi lekat pergi dari sini sebelum kesabaranku habis!" teriak Aksara.
Dion tersenyum penuh arti. Kemudian menatap Ratu.
"Nona, saya diusir dari sini. Jadi bagaimana cara saya melakukan tugas?"
"Tak masalah, Dion. Kamu tidak perlu melayaniku di rumah ini. Bukan kamu yang akan datang kemari. Karena aku yang akan keluar dari sini," tegas Ratu.
"Siapa yang mengijinkanmu pergi?" bentak Aksara saat melihat Ratu berjalan menggeret kopernya keluar. Saat Aksara tengah bersitegang dengan Dion tadi, Ratu memilih kembali ke kamarnya untuk mengambil baju dan memutuskan pergi.
"Tak perlu ijin, karena Ratu bukan anak di bawah umur," jawab Ratu sambil lalu.
Dion tersenyum tipis kemudian mengikuti Ratu keluar dari rumah itu.
"Ratu! kembali!" seru Aksara.
Ratu tak menggubrisnya dan memilih masuk ke dalam mobil. Dion mengikuti Ratu menggunakan mobilnya sendiri dari belakang.
"Ratuuuuu! kembali, brengsek!!!"
Dan mobil Ratu pun bergerak keluar dari halaman rumah besar itu.
Aksara mondar mandir setelah kepergian Ratu. Mencari ide agar Ratu bisa kembali ke rumah. Kalau tidak, bisa gawat.
Rekan bisnisnya, Ronal Adiguna telah setuju untuk menikahi Ratu. Tak apa walaupun Ronal hampir sebaya dengannya. Status Ronal yang duda pun tak masalah bagi Aksara.
Yang terpenting Ronal mau menyuntikkan dana untuk perusahaan. Bukan masalah jika Ratu bersuamikan pria yang dua kali dari umurnya. Toh, Ronal masih mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami.
Yang paling penting sekarang adalah membawa Ratu kembali. Kemudian menikahkan Ratu segera. Agar masalahnya cepat selesai.
***
Seminggu telah berlalu. Selama seminggu itu pula Ratu masih larut dalam kesedihannya. Masih merasakan kedukaan karena kepergian mamanya.
Beruntung, Dion selalu ada untuknya. Dion selalu memberikan perhatian yang membuat Ratu merasa tak sendirian. Bahkan, Dion selalu menyempatkan diri mengantar jemput ya dari apartemen.
Ya, semenjak pergi dari rumah, Ratu lebih memilih tinggal di apartemen. Apartemen yang dia beli sendiri dengan uang hasil kerjanya. Sebuah apartemen mewah yang nyaman untuk ditinggali. Namun terasa dingin karena hanya sendirian disana.
Selama seminggu pula Ratu tak menunjukkan diri kepada papanya. Bahkan Ratu memilih tidak masuk kantor. Ratu lebih memilih pergi ke butik dan usaha peninggalan mamanya yang lain. Yang masih belum diketahui oleh Aksara detail usahanya.
Dion dan karyawan butik menyambut hangat kedatangan Ratu. Bahkan memperlakukan Ratu dengan baik. Mereka tidak pernah melihat masalah Ratu terdahulu. Yang mereka pikirkan sekarang adalah, Ratu menjadi bagian dari mereka. Menggantikan mamanya sebagai atasan mereka.
Itu kenapa Ratu betah menghabiskan harinya di butik. Bahkan tak segan turun tangan melayani pengunjung. Dan kesibukan itu sedikit menghibur hati Ratu. Perlahan, namun luka yang berdarah itu mulai mengering sedikit demi sedikit.
"Nona, model baru yang nona desain ini sepertinya akan booming. Desainnya sangat bagus dan juga simple. Tapi terlihat berkelas," seru Raisa, salah satu pegawai butik.
Raisa menatap kagum pada goresan tangan Ratu. Padahal Ratu hanya coba-coba saja membuat sebuah desain baju. Tetapi disambut antusias oleh Raisa.
Mendengar seruan Raisa, beberapa pegawai butik pun mendekat. Mereka pun kompak memuji desain yang Ratu buat. Tidak ada kepalsuan, Ratu melihat mereka tulus memuji hasil desainnya.
"Ada apa?" tanya Dion yang baru masuk ke dalam ruangan.
"Pak Dion, lihat! Nona Ratu ternyata menuruni bakat dari Nyonya. Hasil desainnya sangat bagus dan berkelas," ujar Raisa sambil mengulurkan buku desain milik Ratu.
Dion mengamatinya dan kemudian tersenyum. Ratu yang menunggu respon dari Dion pun merasa berdebar dengan senyuman itu. Entah kenapa, Ratu merasa ada yang berdesir saat pria bermata elang itu menatapnya hangat dengan senyumnya yang menawan.
"Bagus, sepertinya Nona muda kita berbakat alami. Tidak salah Nyonya mewariskan semua usahanya untuk Non Ratu," tanggap Dion.
"Jangan memanggilku Nona!" tegur Ratu.
"Aku tidak suka, panggil saja aku Ratu, tidak perlu memakai embel-embel," imbuhnya.
"Tapiii ...." Raisa dan pegawai yang lain terlihat ragu. Kemudian mereka menatap ke arah Dion meminta jawaban.
"Lakukan saja apa yang dia perintahkan. Daripada gaji kalian dipotong," ujar Dion.
Ratu mencebik. Apa Dion pikir dia sekejam itu?
"Ayo ku antar pulang," ajak Dion.
Hari memang sudah gelap. Ratu pun mengiyakan ajakan Dion.
Saat menuju ke mobil yang ada di parkiran, tiba-tiba ponsel milik Dion berbunyi. Dion pun segera mengangkat panggilan yang sepertinya penting. Terlihat dari keningnya yang berkerut.
"Ada yang harus aku urus," kata Dion.
"Kalau penting, aku pulang sendiri saja," balas Ratu.
"Tapi-"
"Tidak apa-apa!" potong Ratu cepat.
"Lagian juga tidak terlalu jauh. Aku bisa pulang dengan taksi," tambah Ratu.
Dion pun mengiyakan.
"Kalau begitu, berhati-hatilah. Dan jangan lupa mengabariku," pesan Dion yang terasa bernada posesif di telingan Ratu. Dan entah kenapa, Ratu menyukainya.
Ratu mengiyakan permintaan Dion dan menuju tepi jalan untuk memanggil taksi.
Tapi baru saja Dion hendak memasuki mobilnya, suara teriakan Ratu dari pinggir jalan terdengar.
"Dionnnn!!! Tolooonggg!"