Mendung menggelayuti langit sore ini. Gerimis pun sempat hadir menitikkan bulirnya. Tersisa hawa dingin dan bau tanah basah khas hujan.
Di rumah besar keluarga Sanjaya, suasana nampak ramai dengan kedatangan para pelayat. Karangan bunga berjejeran menyampaikan rasa turut berduka cita dari relasi bisnis juga rekan keluarga Sanjaya. Beberapa media nampak meliput suasana duka di rumah itu.
Ratu duduk termenung di samping jenazah mamanya yang telah disucikan. Matanya terpaku menatap ke arah tubuh kaku Nabila. Masih belum percaya, mamanya telah tiada. Tanpa meninggalkan satu patah kata pun untuknya.
Mamanya pergi, membawa berjuta perasaan terpendam untuknya. Tanpa ada kesempatan menyampaikan kepada Ratu, betapa sayangnya dia pada putri semata wayangnya itu.
Mamanya telah pergi. Sosok yang selama ini telah salah dia nilai. Kini tak ada lagi Nabila yang akan menyambut kedatangan Ratu dengan raut datar. Tak ada lagi Nabila yang akan memalingkan wajah ketika Ratu mencoba berbicara.
Ratu kehilangan semua itu. Dan penyesalan terbesarnya adalah, kenapa dirinya terlambat mengetahui perasaan mamanya? Andai Ratu tahu sehari saja lebih awal, tentu Ratu masih bisa mendengar suara Nabila. Dia masih bisa melihat mata mamanya terbuka.
Kenapa mamanya sekejam itu? hingga tak mau memberitahu semuanya lebih awal? kenapa mamanya harus menyimpan semua sendiri hingga di akhir kesadarannya? Apa tak ada keinginan mamanya saling meluapkan rasa dan memberikan pelukan terakhir untuknya?
Di pintu masuk, Aksara berdiri dan menyambut para pelayat yang datang. Mengenakan kemeja berwarna hitam, Aksara sesekali menatap ke arah dalam rumah. Tempat dimana tubuh dingin Nabila berada.
Matanya pun nampak memerah dan sedikit bengap. Ketika rasa tercubit hadir di hatinya, mengetahui istrinya tak lagi bernyawa. Entah kenapa Aksara menangis setelah menerima telepon dari Dion. Seolah kematian Nabila menyedihkan untuknya. Atau memang begitu kenyataannya? bahwa Aksara memang kehilangan Nabila?
Aksara bingung. Merasa aneh dengan hatinya. Yang jelas, ada rasa hampa. Dan rasa sakit hingga membuatnya menangis tadi. Kehilangan yang tak dia inginkan.
Bohong jika Aksara tidak mempunyai rasa kepada Nabila. Puluhan tahun pernikahan, tentu saja ada rasa yang tumbuh untuk istrinya itu. Walaupun Aksara menyangkalnya, tetap saja, cinta untuk Nabila itu ada.
Hanya hatinya terlalu angkuh untuk mengakuinya. Dan lebih memilih menekan dalam rasa yang ada. Toh, cinta tak akan mengubah hidupnya. Hanya harta dan nama besar yang akan membuat hidup lebih berharga. Tanpa itu, orang hanya akan memandang sebelah mata. Begitu anggapan Aksara.
Karena memang kenyataan di masyarakat masih lekat pandangan seperti itu. Banyak harta dan nama besar membuat orang segan. Tapi, jika tanpa itu, banyak orang akan meremehkan.
"Saya turut berduka cita, Pak Aksara," ucap beberapa pelayat sambil menyalami.
"Terima kasih, sudah datang," jawab Aksara.
Hingga waktu yang telah ditentukan untuk pemakaman datang. Ratu menangis histeris saat keranda yang berisikan mamanya itu diangkat menuju ambulan. Yang kemudian akan dibawa ke pemakaman.
"Ngggaaakkkk!!!... jangan bawa Mama pergiii! jangaaannnn!!!"
Ratu berteriak kencang. Melarang orang-orang membawa pergi jenazah Nabila.
"Dionnn, halangi mereka! Jangan biarkan mereka membawa mama pergi! Hentikan, Dion! hentikan merekaaaa ...!" Ratu berteriak di tengah tangisnya.
Tangannya menarik-narik bagian depan kemeja Dion. Tatapan matanya sarat kepedihan. Wajahnya kuyu dan sembab.
"Jangan biarkan mereka membawa mama pergi, Dion! Tolooongggg, hentikan merekaaaa ... hentikan! hiksss!"
Dion tak bisa berucap apa-apa selain mengusap pundak Ratu menenangkan. Dion sendiri merasakan kesedihan luar biasa. Suaranya tersendat di tenggorokan.
"Aku tak punya siapa-siapa lagi! Siapa yang akan menyayangiku jika Mama pergi? Tolong aku Dion, jangan biarkan Mama dibawa pergi. Berapapun akan aku bayar. Apapun bayarannya asal mama tetap disini," racun Ratu.
Tangannya memberontak tak henti. Sungguh Ratu terlihat hancur. Sampai akhirnya ambulans pergi, Ratu menjerit-jerit histeris. Terduduk di lantai. Meratapi kepergian mamanya.
Dion yang tadinya ingin ikut serta ke pemakaman harus mengurungkan niatnya. Pikirnya, lebih penting untuk menemani Ratu. Karena kondisi Ratu yang tak memungkinkan untuk ke pemakaman, pun jika ditinggal Dion khawatir Ratu akan bertindak nekat.
Sementara di rumah duka hanya ada beberapa pelayan dan Maya, yang memang ditugaskan Aksara untuk mengawasi Ratu. Maya pun bukannya iba, justru menatap sengit ke arah anak dari bos sekaligus kekasihnya.
"Berisik banget, sih! lebay! harusnya Lo bersyukur mama Lo mati. Jadi nggak ngabisin uang buat pengobatan!" seru Maya. Tangannya bersidekap sambil berdiri tak jauh dari Ratu.
Dion membalas tatapan Maya dengan tajam. Andai bukan perempuan, ingin sekali Dion menghadiahi dengan beberapa pukulan pada mulut berbisa itu.
"Jika tidak bisa berucap baik, lebih baik kamu diam!" bentak Dion.
Mata Maya melotot. Tidak terima dibentak oleh Dion.
"Heh, Lo itu cuma bawahan! jangan sok mengatur! Gue calon nyonya rumah disini. Jadi jangan kurangajar atau gue singkirin!" balas Maya.
Dion tersenyum meremehkan. Tangannya masih memeluk Ratu yang tergugu. Ratu seolah tak peduli dengan ucapan Maya. Yang ada di pikirannya hanyalah kesedihan.
"Nyonya rumah? Apa anda sedang mabuk? atau sedang bermimpi? bahkan, sekujur pun anda tidak pantas untuk menggantikan Nyonya Nabila," ketus Dion.
Maya murka mendengarnya.
"Brengsek Lo! pegawai rendahan saja berani ngelawan gue! Liat aja, nanti Mas Aksara pulang, gue akan langsung meminta Lo diusir dari sini! biar Lo tahu rasa! Orang miskin saja belagu!"
Maya berbalik dengan menghentakkan kaki kemudian pergi.
Dion masih setia menemani Ratu.
"Ssshhhh! kamu tidak sendiri. Aku akan selalu menemanimu. Sama seperti janjiku pada Nyonya Nabila, aku akan menemanimu sampai kamu merasa bahagia dan tidak membutuhkanku lagi. Jangan khawatir, kamu tak sendiri, ada aku dan yang lainnya," ujar Dion.
"Ingat, kamu masih punya Tuhan. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Semua yang bernyawa pasti akan kembali ke rumah yang telah Tuhan siapkan. Yang terpenting, doa kita untuk Nyonya Nabila. Agar beliau tenang disisinya," tambah Dion.
Ratu tergugu. Namun perlahan, Ratu mulai bisa menguasai diri. Dia mengucapkan istighfar beberapa kali. Kemudian, setelah merasa lebih baik, Ratu meminta Dion membawanya ke pemakaman. Yang diangguki oleh Dion.
Mereka berangkat ke pemakaman berdua menggunakan mobil Dion. Namun, sesampainya di pemakaman, Nabila telah selesai dikebumikan. Dengan langkah goyah, Ratu mendekat ke arah gundukan merah dimana mamanya dikubur.
Aksara ada di sana. Duduk di sebelah nisan Nabila. Rautnya tak terbaca. Apalagi, Aksara mengenakan kacamata hitam dan masker.
Ratu tak mempedulikan papanya. Dia menganggap papanya tak ada disana. Ratu kemudian menjatuhkan diri di sisi nisan mamanya. Kembali menangis. Dion berdiri tak jauh darinya.
Di sana masih ada beberapa pelayat yang belum pulang. Sebagian besar adalah pegawai dari Nabila yang ikut mengantar bosnya ke peristirahatan terakhir. Hanya beberapa saja relasi bisnis dari Aksara.
Aksara kemudian berdiri dan menghampiri rekan bisnisnya. Tanpa ada niatan membujuk ataupun menenangkan anaknya.
"Pak Ronal, terima kasih sudah menyempatkan diri datang. Padahal saya tahu, Bapak sangat sibuk," kata Aksara pada salah seorang pelayat.
"Sama-sama, Pak Aksara. Tentu saja saya akan meluangkan waktu saya. Walaupun almarhumah belum sempat menjadi mertua saya, saya sangat menyesalkan itu. Mungkin, acara lamaran akan saya undur dahulu," jawab pelayat yang dipanggil Ronal itu.
Degh!
Dion tertegun. Apa maksudnya? Seketika tatapan Dion mengarah ke arah mereka. Aksara nampak akrab dengan Ronal. Mereka hampir sebaya. Hanya, mungkin Ronal beberapa tahun lebih muda.
"Tidak perlu, Pak. Sesuai pembicaraan kita saja. Tidak baik juga lama-lama dalam kedukaan. Mungkin dengan adanya lamaran ini, nantinya Ratu bisa lebih cepat melupakan kesedihannya," balas Aksara.
Dion mengalihkan pandangannya kembali ke arah Ratu. Dan menemukan gadis itu mematung dengan tangan terkepal kuat.