"Mama kemana, Pa?"
Suasana sarapan di meja makan terasa suram. Ratu yang baru saja turun dari kamarnya hanya menemukan Aksara tengah menyantap makanannya sendirian.
"Menghabiskan malam dengan pacar muda sialannya itu mungkin!" sahut Aksara dengan raut wajah yang masam.
Suasana hatinya masih sangat buruk. Dan semua gara-gara Ratu. Yang bertanya tentang Nabila dengan entengnya seolah tak pernah ada kejadian semalam.
Sementara Ratu mengambil nafas panjang dan mencoba menguatkan hatinya. Memasang wajah acuh meski sebenarnya nyeri yang dia rasakan. Tamparan Wina dan juga Aksara semalam membuat pipinya bengkak. Tapi tak ditunjukkannya rasa sakit itu. Tidak akan ada yang berubah, karena tak ada yang peduli apa yang dia rasakan.
"Papa akan mencoba menemui Frans dan istrinya nanti untuk membuat kesepakatan baru. Dan kamu harus mau memberi klarifikasi di depan media. Mudah-mudahan saja istri Frans mau memberi kesempatan lagi. Jangan buat kekacauan lagi atau Papa tak akan segan melakukan sesuatu yang pasti akan kau sesali!" ancam Aksara dengan mata menyorot garang Ratu.
"Ratu bukan anak usia lima tahun yang masih bisa Papa ancam. Lebih baik Papa jangan terlalu banyak emosi dan jaga kesehatan. Jangan sampai kena serangan jantung. Pasti sekretaris Papa yang murahan itu akan merasa kehilangan," sindir Ratu yang membuat Aksara geram.
Ya, Ratu mengetahui skandal Aksara dengan sekretarisnya di kantor, Maya. Sudah bukan rahasia lagi jika Aksara mempunyai affair dengan sekretarisnya itu. Maya seorang sekretaris seusia Ratu, yang selalu berpenampilan modis dan minim. Tentu saja demi melakoni tugasnya sebagai sekretaris sekaligus pemuas nafsu Aksara selaku bossnya.
"Jangan semakin keterlaluan Ratu! biarpun kau anakku, aku tak akan segan memberi perhitungan pada orang yang tak menghormatiku!"
"Memang Papa merasa sudah berlaku seperti orang yang pantas dihormati?" tanya Ratu enteng. Tak diacuhkannya tatapan Aksara yang menghunus tajam. Ratu dengan santainya menikmati roti tawar dengan selai strawberry kesukaannya.
"Tingkahmu semakin hari semakin rusak saja. Entah bibit darimana kelakuanmu yang semakin kurangajar. Perbaiki sikapmu atau Papa tidak hanya akan membuatmu hancur, tapi juga mamamu yang tak berguna itu!"
Ratu meletakkan rotinya yang tinggal separuh kemudian berdiri dan menatap lekat ke arah Aksara.
"Sudah jelas turunan Papa. Jika sikapku buruk tentu tak lepas dari bisa tidaknya orangtua mendidik anaknya. Sudah ya, Pa, lekas sarapan dan temui sekretaris kesayangan Papa itu. Takutnya sudah gatal minta di sodok!"
"Ratu!!!"
Ratu melenggang santai meninggalkan ruang makan dan kembali menuju kamarnya untuk bersiap. Walau bagaimanapun, dia harus pergi ke kantor. Apapun kondisinya, ada pekerjaan yang harus dia selesaikan. Tentu saja dia juga tak ingin menghancurkan perusahaan. Ratu hanya ingin memberi syok terapi untuk ayahnya tercinta sebagai tanda pemberontakannya.
Mata Ratu tertumbuk pada sebuah jaket yang teronggok di sofa kamarnya. Hatinya tetiba menghangat mengingat sosok yang meminjamkan jaket itu. Membayangkan kembali betapa lembut dan sopannya Yusuf kepadanya. Padahal mereka tak saling kenal. Bahkan bertemu dalam kondisi yang memalukan.
Ratu mengambil jaket itu dan mendekatkannya ke wajah. Harum parfum maskulin menguat dari jaket itu. Menimbulkan gelenyar aneh di jantung Ratu. Walaupun bukan parfum mahal, tapi Ratu menyukai harumnya yang menenangkan. Dan Ratu kembali mengingat wajah tampan Yusuf. Senyumnya yang teduh juga tutur katanya yang lembut.
"Mikir apa sih aku! mana mau Yusuf dengan perempuan sepertiku," gerutunya.
Tetap saja setelah gerutuan itu, Ratu berdiri di depan cermin yang menampilkan keseluruhan tubuhnya. Wajah cantik, rambut lurus sebahu, tubuh langsing dengan pakaian pas badan yang menampilkan kemolekan tubuhnya. Apakah Yusuf akan terkesan?
Ratu memutar-mutar tubuhnya di depan cermin dan mengakui keindahannya sebagai seorang wanita.
"Aku akan mencoba," ucapnya dengan senyum. Hatinya telah terpikat pada Yusuf dari pertemuan mereka semalam.
Ratu pun segera memilih baju untuk dikenakan. Kemeja panjang yang ketat berwarna hitam yang kontras dengan kulitnya yang putih dan rok span di atas lutut berwarna krem. Tak lupa sebuah blazer senada dengan roknya sebagai pelengkap. Sepasang heels hitam dengan tinggi 15cm pun terpasang sempurna di kaki jenjangnya.
Dengan puas, Ratu menatap kembali penampilannya di depan cermin. Lebam karena tamparan berhasil dia samarkan dengan make up. Wajahnya pun terlihat lebih segar. Ratu kemudian mengambil tas jinjing miliknya dan membawa jaket Yusuf. Rencananya nanti sepulang dari kantor, Ratu akan menemui Yusuf untuk mengembalikan jaketnya.
***
Jam kerja telah usai. Ratu bersiap untuk keluar dari kantor. Akhirnya hari ini berakhir juga. Walaupun mencoba acuh dengan tatapan-tatapan juga bisik-bisik dari para karyawan, namun Ratu merasa jengah juga. Tentu mereka membicarakan Ratu secara sembunyi-sembunyi. Tapi tanpa perlu mendengar langsung pun Ratu tahu dari mata mereka yang menatapnya dengan ekspresi mengejek.
Tanpa merasa perlu berlama-lama, Ratu segera melajukan mobilnya ke tempat Yusuf jualan. Terlihat dari kaca mobil Yusuf yang tengah menata perlengkapan berdagang. Ratu menghentikan mobilnya di dekat Yusuf jualan. Bertahan di mobil beberapa saat untuk memandangi pemuda yang menarik hatinya itu.
Yusuf memang tampan. Tubuhnya tinggi atletis. Dengan rahang yang kokoh dan mata yang tajam namun teduh. Alis mata yang lebat dan hidung yang mancung. Mampu membuat kaum hawa yang melihatnya enggan mengalihkan wajah.
"Hai, lagi sibuk ya?" sapa Ratu setelah berada di dekat Yusuf.
Yusuf yang tengah menata dagangannya pun mengalihkan perhatiannya.
"Lho? mbaknya yang semalam kan?" tanya Yusuf dengan ekspresi terkejut.
Ratu tersenyum sambil menyibakkan rambut ke belakang telinganya dengan gugup.
"I-iya ... A-aku mau balikin jaket masnya," ujar Ratu dengan tangan terulur menyerahkan sebuah jaket.
"Wah langsung dibalikin. Nggak dicuci dulu nih?" canda Yusuf.
"Oh, eh i-iya ya. Maaf aku lupa. Kalau begitu aku bawa lagi ya biar dicuci dulu," pinta Ratu panik. Bodohnya dia tidak terpikir untuk meminta pembantu di rumahnya mencuci jaket itu. Masak dia kembalikan dalam keadaan kotor? Ratu menggerutu dalam hati merutuki kecerobohannya.
"Bercanda, Mbak. Nggak apa-apa kok."
Untuk sesaat Ratu salah tingkah berhadapan langsung dengan Yusuf. Tidak seperti semalam, kali ini Ratu merasa ada yang berdebar di jantungnya.
"Mbak sudah nggak apa-apa? sepertinya Mbak kurang sehat. Wajah Mbak pucat," ujar Yusuf.
"Eh, iya. Emh, boleh lain kali saya kesini?"
Yusuf terlihat mengerutkan keningnya.
"Maksudnya Mbak?"
"Eh, maksudku, boleh aku kesini lagi, mmmhh, misalkan membeli nasi goreng?"
Yusuf tersenyum serasa membuat Ratu meleleh di tempat.
"Alhamdulillah, tentu boleh Mbak. Rejeki untuk saya. Terimakasih kalau berkenan membeli dagangan saya."
Ratu menganggukkan kepalanya.
"Eh, kalau begitu aku pamit dulu ya. Besok aku kesini lagi," pamit Ratu.
"Oh, iya Mbak. Silakan, hati-hati di jalan," jawab Yusuf yang membuat Ratu salah tingkah.
Ratu mengangguk sambil tersenyum kemudian kembali ke mobilnya. Melaju pergi dengan jantung yang masih berdegup. Sepanjang perjalanan, Ratu tersenyum kecil mengingat percakapan singkatnya dengan Yusuf tadi.
Tak butuh waktu lama, Ratu sampai di rumah. Pak Ali, satpam di rumahnya dengan sigap membukakan pintu pagar. Nampak di halaman sebuah mobil sedan mewah keluaran terbaru terparkir di sana. Mobil baru milik mamanya. Baru saja Ratu mematikan mesin mobilnya, sebuah pemandangan yang menyakitkan terpampang di depan matanya. Dengan hati diliputi amarah dan gusar, Ratu bergegas turun dari mobil.
"Mama!" seru Ratu.
Melangkah cepat mendekat ke arah Nabila dan dengan sekuat tenaga mendorong tubuh itu.
Bbbrrruuugghhh!!!
"Ratu!"