Semenjak kejadian di dalam kolam, Ratu memilih menghindari Dion. Bahkan acapkali bertemu Dion jika kebetulan ke rumah, Ratu lebih memilih melengos dan masuk kamar. Ratu merasa muak dengan laki-laki itu. Bahkan merasa dilecehkan. Seenaknya saja mencium bibirnya yang sebelumnya masih suci dan belum pernah terjamah laki-laki manapun.
Gosip tentang dirinya pun mulai mereda. Ratu tahu, ada campur tangan entah papa atau mamanya. Yang pasti, banyak uang yang digelontorkan untuk menutup gosip itu. Dan Ratu tak peduli. Ratu memilih abai dengan orangtuanya sekarang.
Ratu semakin sering berkunjung ke tempat Yusuf. Semakin hari, Yusuf semakin menarik hatinya. Bahkan mulai membuatnya jatuh hati. Tak peduli dengan profesi Yusuf yang hanya seorang penjual nasi goreng, Ratu merasa nyaman jika berada di dekat Yusuf.
Yusuf selalu berlaku sopan dan lembut padanya. Mereka seringkali bertukar pikiran. Ratu kagum dengan luasnya pemikiran Yusuf walaupun hanya seorang penjual nasi goreng. Dari Yusuf, Ratu banyak belajar tentang menerima takdir.
"Apa kamu tidak merasa risih keluar dengan pakaian seperti itu?" tanya Yusuf malam itu saat sedang sepi pengunjung. Sambil membersihkan meja dengan sebuah lap kain, Yusuf membuka percakapan.
"Memang kenapa dengan pakaian yang ku kenakan?" tanya Ratu dengan kening berkerut.
Yusuf tersenyum sekilas.
"Sayang jika keindahan mi dinikmati gratis oleh banyak laki-laki. Akan lebih baik jika kamu mengenakan pakaian yang tertutup."
Ratu menunduk mengamati baju yang dia kenakan. Sebuah dress lengan pendek berwarna biru muda dengan panjang selutut. Sepertinya tidak ada yang salah dengan penampilannya.
"Kita muslim kan? seorang perempuan muslim wajib menutup auratnya."
"Tapi, aku tidak pernah memakai baju yang tertutup. Apa tidak panas?"
"Panas neraka jauh lebih menyakitkan daripada panas karena pakaian yang tertutup."
Ratu terlihat salah tingkah. Sementara Yusuf tersenyum kecil kemudian berjalan ke arah Ratu yang tengah duduk.
"Ini, terimalah. Aku harap kamu suka. Aku yakin, kamu akan terlihat sangat cantik."
"Apa ini?" tanya Ratu sambil menerima bungkusan dari Yusuf.
"Gamis dan jilbabnya. Aku harap kamu bersedia memakainya."
Ratu tertegun. Sebuah gamis? sesuatu yang belum pernah dia kenakan. Agama selama ini hanya pelengkap di kartu identitasnya tanpa Ratu mau repot-repot mendalaminya. Dan sekarang pria di depannya ini memberi sebuah baju untuk dia kenakan pertama kali?
"Ta-tapi?" Ratu ragu-ragu untuk meneruskan.
"Kenapa?" tanya Yusuf lembut.
"Aku tidak mengerti tentang agama. Apa tidak terlihat munafik jika berpenampilan seperti muslimah taat?"
Yusuf menggelengkan kepalanya.
"Taat atau tidaknya muslimah tidak bergantung pada hijab yang dikenakan. Seorang muslimah, baik taat ataupun tidak berkewajiban menutup auratnya."
"Akan aku pikirkan. Dan terimakasih untuk gamisnya," ujar Ratu yang dibalas senyuman amat manis oleh Yusuf.
***
Sore itu Ratu kembali datang ke kedai milik Yusuf. Dengan jantung berdebar, Ratu turun menghampiri pria pujaannya itu.
"Yusuf?" panggil Ratu pelan.
Yusuf menoleh dan terpaku menatap Ratu.
"MasyaAllah! kamu sangat cantik," puji Yusuf yang segera mengalihkan tatapan matanya agar tak berlama-lama menatap gadis di depannya itu.
Ratu tersenyum malu. Kali ini Ratu datang dengan memakai gamis pemberian Yusuf. Gamis berwarna marun dengan jilbab pink. Ratu terlihat berbeda. Wajahnya begitu anggun dalam balutan jilbab. Bukan hanya Yusuf yang dibuat terkesima dengan penampilan barunya. Tadi di kantor pun para karyawan menatap Ratu kaget. Beberapa berbisik-bisik membicarakannya.
Perubahan yang dilakukan Ratu memang cukup drastis. Dia yang semula terbiasa berpenampilan terbuka dan menarik mata para lelaki untuk meliriknya, sekarang berpakaian tertutup dan anggun.
"Terimakasih. Apa aku tidak terlihat aneh?"
Yusuf menggelengkan kepalanya.
"Tidak sama sekali. Kamu terlihat baik dan cantik. Semoga kamu Istiqomah dengan hijab ini," ujar Yusuf.
"Tapiii ... aku tidak mengerti soal agama."
"Tidak apa-apa. Kamu masih bisa banyak belajar selagi ada waktu dan kemauan. Kamu mau belajar agama denganku? aku siap membimbingmu," ujar Yusuf yang membuat Ratu seketika merona.
"Ma-maksud kamu?"
"Maksudku-."
"Suf?"
Sebuah panggilan untuk Yusuf membuat ucapan laki-laki terpotong.
"Umi? Umi kesini?" Yusuf tergopoh menghampiri wanita tua dengan kerudung lebar yang dipanggilnya umi.
Ratu mengamati bagaimana sopannya Yusuf mengambil tangan uminya dan menciumnya. Lalu membimbing untuk duduk di kursi yang tak jauh dari Ratu. Ratu mengangguk dan tersenyum canggung saat netra tua milik Umi Laila menatap ke arahnya.
"Pelanggan nasi goreng Yusuf ya?" sapa Umi Laila ramah. Sorot matanya teduh seperti Yusuf.
"Bukan Mi. Ini teman Yusuf. Ratu, kenalkan. Beliau wanita terhebatku, Umi," ujar Yusuf.
Ratu tersenyum lalu mengulurkan tangannya menyalami Umi Laila.
"Saya Ratu, Umi. Teman Yusuf."
"Hanya teman?" selidik Umi Laila membuat Ratu mengangguk ragu.
"Umi kok kesini? biasanya Umi lebih suka di rumah. Tumben," tanya Yusuf sambil duduk di sebelah Umi Laila.
"Umi bosan, Suf, di rumah sendirian. Kajian di masjid kebetulan libur. Ya sudah Umi kesini saja nemenin kamu."
"Umi nggak apa-apa? Yusuf takut Umi capek," ujar Yusuf lembut.
Yusuf memperlakukan uminya dengan sangat baik. Apalagi semenjak abunya meninggal dunia dua tahun yang lalu. Uminya begitu terpukul hingga membuat Yusuf yang kala itu tengah kuliah di kota lain memutuskan berhenti kuliah dan menemani uminya di rumah. Untuk kebutuhan sehari-hari, Yusuf meneruskan usaha yang ditinggalkan abunya.
"Enggaklah, Suf. Umi kan cuma duduk-duduk saja. Niatnya nemenin kamu pas nggak ada yang beli, tapi ternyata sudah ada teman duluan yang datang, hehehe," kekeh Umi Laila.
"Kebetulan Ratu pulang kerja Umi, mampir kemari," kata Ratu.
"Nak Ratu kerja dimana?" tanya Umi Laila.
"Di Sanjaya grup, Umi."
"Wah, itu bukannya perusahaan besar ya? hebat ya, Nak Ratu. Coba saja Yusuf menyelesaikan kuliahnya dulu, bisa coba ngelamar kerja disana."
"Umi, Yusuf lebih senang menemani Umi. Apapun pekerjaan kita, yang penting cukup dan bersyukur berapapun hasilnya. Masak Yusuf tega ninggalin Umi yang cantik jelita ini sendirian," canda Yusuf sambil merangkul bahu Umi Laila yang ditanggapi kekehan oleh ibunya itu.
"Iya iyaa, kamu memang anak ba-."
Kalimat Umi Laila terpotong saat sebuah salam terdengar. Seorang wanita paruh baya datang dan menyapa.
"Loh, Umi tumben ada disini?" tanya wanita itu.
"Eh, jeng Mira. Iya, mau nemenin Yusuf. Bosan di rumah sendirian," jawab Umi Laila ramah.
"Iya tuh Mi, temenin mas Yusufnya. Jangan biarin sendiri, takut gadis pelakor datang lagi. Nanti mas Yusuf kegoda lagi!" cerocos wanita bernama Mira itu.
"Pelakor apa jeng?" tanya Umi Laila yang memang tidak tahu menahu tentang kejadian pelabrakan Ratu sebelumnya.
Sementara Ratu yang mengetahui jika dirinya yang dimaksud mendadak tegang. Ratu memang duduk membelakangi jeng Mira dan juga berhijab. Makanya jeng Mira tidak mengenalinya dari belakang. Yusuf dan Ratu saling menatap.
"Umi ketinggalan berita! kan beberapa waktu yang lalu ada pelakor muda di labrak istri sahnya. Gila memang gadis jaman sekarang. Yang masih single banyak tapi ngembat laki orang. Dan sejak itu pelakor itu sering datang kemari, iya kan mas Yusuf? mas Yusuf nggak tertarik sama gadis model pelakor itu kan? ih, amit-amit deh!"
"Sering datang?"
"Iya Mi! saya lihat pelakor itu suka nongkrong disini. Makanya saya bilang, Umi temenin aja Mas Yusuf. Bukannya apa-apa Mi, sayang aja kalau mas Yusuf k goda sama cewek model gitu. Mending juga sama anak saya, jelas nggak neko-neko," cerocos Jeng Mira.
"Bu Mira mau pesan apa?" Yusuf menyela. Dia takut ucapan Jeng Mira semakin menyudutkan Ratu.
"Oh iya, nasi goreng pedas dua Mas Yusuf. Spesial ya," pesan wanita bertubuh tambun itu.
Yusuf pun menyanggupi dan mulai meracik pesanan Jeng Mira. Sementara Ratu hanya menunduk.
"Ini siapa, Mi? calon Mas Yusuf kah?" tanya Jeng Mira sambil menunjuk ke arah Ratu.
"Teman Yusuf," jawab Umi Laila.
"Calon kali, Um. Syukur deh kalau Mas Yusuf sudah punya calon," ujar Jeng Mira lalu berjalan dan mengambil duduk di sebelah Ratu. Namun Jeng Mira di buat terkejut saat melihat ke arah samping, tepatnya ke arah Ratu. Matanya terbelalak kaget.
"Loh, inikannnn ...?"