Chereads / Sehelai Mahkota Untuk Ratu / Chapter 4 - Bab 4

Chapter 4 - Bab 4

Nabila menatap nanar foto yang ada di tangannya. Foto kedua orangtuanya, Andika Sanjaya dan Arumi Sanjaya. Ada rasa rindu menyeruak di hatinya. Namun, terselip juga kematmrahan di sana. Rindu akan hadirnya sosok orangtuanya, dan marah karena keputusan orangtuanya membuat derita di hidupnya.

"Kalian harus menikah! Papa tidak mau tahu, kalian harus menikah agar aib ini tidak tersebar! mau ditaruh dimana muka papa jika masyarakat tahu anak seorang Sanjaya tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya? Papa tidak mau tahu, kamu Aksara! nikahi Nabila secepatnya," putus Andika kala itu dengan wajah geram. Orangtua mana yang tidak geram melihat anak gadis satu-satunya terpergok tengah satu selimut dengan Aksara, pemuda yang selama ini menjadi tangan kanannya?

Nabila terisak dalam pelukan Arumi. Entah bagaimana lagi dirinya harus menjelaskan, bahwa semua tak seperti yang terlihat. Nabila sendiri juga tidak mengerti, bagaimana bisa dia berakhir satu ranjang dengan Aksara? Padahal semalam Nabila yang kelelahan tidur di kamarnya sendiri dengan lelap. Ditambah hujan yang lebat dan orangtuanya yang tengah pergi membuat Nabila memutuskan tidur setelah hari panjangnya yang melelahkan.

"Pa, Nabila tidak melakukan semua ini! Nabila tidak mungkin melakukan hal serendah ini! Nabila dijebak Pa, Aksara menjebak Nabila!" isak Nabila pilu.

Tak pernah ada dalam pikiran Nabila menikah dengan Aksara, pemuda yang penuh kepalsuan itu. Sedari awal, Nabila tidak menyukai Aksara yang menurutnya terlalu berambisi dan gemar bersilat lidah pada orangtuanya. Entah apa yang dilihat Andika hingga sangat menyenangi anak tukang kebunnya itu. Bahkan rela menggelontorkan banyak uang untuk pendidikan Aksara hingga menjadi pebisnis seperti sekarang.

"Baik, Pak. Sudah sejak lama memang saya ingin menikahi Nona Nabila. Tapi, Nona selalu menolak karena saya hanya anak seorang tukang kebun rendahan. Nona hanya menginginkan saya sebagai penghangat ranjang, Pak. Maafkan saya membuat bapak dan ibu kecewa," sesal Aksara dengan kepala tertunduk. Bahkan Aksara belum memakai atasan, hanya memakai celana pendek saja.

"Bohong! dia bohong, Pa! Nabila tidak pernah meminta Aksara, bahkan dekat saja Nabila tak sudi! Nabila mohon, Pa. Nabila tidak mau menikah." Bahkan tangisan dan penolakan dari Nabila tak mampu membuat Andika mengurungkan niatnya.

Hanya berjeda kurang dari satu bulan, Nabila dinikahkan dengan Aksara. Bahkan pesta pernikahan mereka digelar besar-besaran untuk menyembunyikan kejadian itu. Sebuah pesta pernikahan yang mewah menurut para tamu undangan, tapi bagi Nabila, tak ubahnya seperti merayakan awal penderitaannya.

***

Brrraaakkkkk!!!...

Aksara mendatangi kamar Nabila dengan amarah. Dibantingnya pintu kamar istrinya itu. Memang, selama pernikahan, bisa dihitung jari mereka tidur bersama. Dan semuanya akibat paksaan dari Aksara. Nabila sendiri merasa enggan berdekatan dengan pria yang bergelar suaminya itu. Salah satu penyebab mereka mempunyai kamar sendiri-sendiri. Karena Nabila tidak ingin berbagi ranjang dengan suaminya tersebut.

Jangankan untuk tidur bersama memadu kasih, sekedar menatap wajah Aksara pun Nabila seolah enggan. Wajah seorang yang culas dan menghancurkan mimpinya, mengungkung kebebasannya. Nabila membenci Aksara. Amat sangat benci sampai seluruh aliran darahnya seakan menyenandungkan lagu kebencian terhadap suaminya itu.

"Kau bersantai padahal perusahaan sedang bermasalah gara-gara ulah putrimu?" Aksara menatap tajam ke arah Nabila yang setengah berbaring sambil membaca majalah.

"Putriku? bukannya selama ini kau yang mendidiknya? kenapa di saat bermasalah kau bilang dia putriku? aku bahkan tak berminat sedikitpun mempunyai anak darimu. Jadi jangan menyalahkanku untuk kesalahan yang kau ciptakan sendiri," ketus Nabila tanpa mengalihkan pandangannya dari majalah yang tengah dia baca.

"Nabila! egois sekali kamu jadi istri? seharusnya kau yang mendidik Ratu, dan bukannya abai! Kamu lebih mementingkan menghabiskan waktu dengan pacar mudamu itu daripada memperhatikan Ratu. Begini hasilnya!"

"Frans membatalkan kerjasama karena istrinya tak terima dengan kelakuan Ratu! rugi perusahaan, rugi! proyek yang seharusnya menghasilkan banyak uang tapi harus dibatalkan! aaarrrggghhhh!" Aksara menyugar rambutnya kesal. Nabila masih tetap acuh dengan suaminya itu.

"Nabila!" gertak Aksara yang merasa diabaikan.

"Seharusnya kau bantu mencari solusi agar perusahaan tidak rugi. Cari investor baru agar kita mendapatkan suntikan dana. Kenalanmu kan banyak," ujar Aksara menurunkan nada bicaranya. Dia butuh investor baru agar kerugian bisa dihindari. Seharusnya Nabila bisa membantunya mencari investor. Karena Nabila mempunyai banyak kenalan pengusaha-pengusaha sukses rekan mertuanya dulu.

"Aku tidak tertarik. Aku punya kesibukan sendiri dan tak butuh kesibukan lain!" tolak Nabila dingin.

"Lalu kau mau perusahaan merugi dan hancur?"

"Aku tak peduli!"

"Jangan egois! perusahaan ini peninggalan orangtuamu!"

"Dan kau yang berambisi memilikinya kan? jadi nikmatilah ambisius itu dan jangan melibatkan aku! Aku masih mampu mencari uang sendiri tanpa harus mengotori tanganku!" sindir Nabila.

"Jangan keterlaluan kau Nabila! biar bagaimanapun kau istriku! selain tak becus menjadi istri, kau ternyata juga tak becus menjadi ibu! menyesal aku menikah denganmu!" Al

"Kau pikir aku bangga dengan statusku sebagai istrimu, ha?"

Pllllaakkk!

Aksara melangkah panjang mendekati Nabila dan menampar pipi istrinya itu.

"Jangan melunjak! kau istriku dan wajib bagimu menghormatimu!"

Nabila memegang pipinya yang terasa panas sambil menatap nyalang ke arah Aksara.

"Hubungi semua kenalanmu dan minta tolong pada mereka untuk mau menjadi investor. Aku tak mau tahu, kau harus membantuku! susah payah ku besarkan perusahaan ini, tak akan ku biarkan hancur karena ketidakmampuan mu mendidik anak!"

"Jangan menyalahkanku! Siapa yang memaksa untuk berhubungan bahkan sampai aku hamil? pernah ku meminta itu? tidak! jijik aku membayangkan tidur denganmu. Jika bukan karena paksaanmu, mana mungkin aku mau berbagi peluh. Jika sekarang anak itu membuat ulah, itu urusanmu!"

"Jangan ganggu hidupku lagi. Kita hidup sendiri-sendiri tak perlu kau ingatkan apa hubungan kita. Karena pernikahan ini cuma di atas kertas. Andai saja dulu aku lebih pintar dan tak masuk perangkap mu. Penyesalan terbesarku adalah tidak berusaha keras menolakmu dulu."

"Jangan mengujiku, Nabila! Bagaimanapun pernikahan ini tetap sah di mata hukum dan agama. Kau punya kewajiban untuk menuruti dan menghormatiku! jangan buat orangtuamu menangis di atas sana karena kedurhakaanmu!"

"Jangan bawa-bawa orangtuaku yang telah tiada! Apalagi mereka tiada karenamu. Kau menghancurkan hidupku, kau renggut orang-orang yang ku sayang Seumur hidupku, aku tidak ikhlas menjadi bagian dari hidupmu! aku benci kamu, Aksara! pergi dari kamarku! Pergiiiiii ...!" Nabila mengamuk dan mengusir Aksara dari dalam kamarnya.

Dilemparnya benda apapun yang dapat diraih olehnya. Bantal, guling bahkan vas bunga hias yang ada di atas nakas samping tempat tidur pun tak luput dari tangan Nabila. Semua dilemparnya untuk mengusir Aksara.

"Apa-apaan kamu!" gertak Aksara sambil menangkis lemparan Nabila.

"Pergiiii! Keluar dari kamar ini! aku muak!" teriak Nabila histeris.

Merasa kewalahan, Aksara pun akhirnya keluar kamar.

"Wanita gila!" seru Aksara sebelum hilang di balik pintu dengan membantingnya.

Nabila menangis. Hatinya sudah lelah. Pun dengan raganya. Haruskah dia menyerah sekarang? inikah waktunya? inikah saat yang tepat?

Sebuah tusukan terasa berdenyut di kepala Nabila. Seakan ada paku-paku yang tertanam di kepalanya. Dengan tangan gemetar menahan sakit, Nabila meraih ponselnya di laci. Lalu diteleponnya sebuah nomor.

Tuttt ... Tut ...

"Hallo, Dion? datanglah!" lirih Nabila.

Setelahnya, terasa cairan hangat mengalir dari lubang hidungnya.