Gelora dan Jacob saling tatap satu sama lain, seperti mengisyaratkan sesuatu. Terlebih lagi Gelora segera mengalihkan tatapannya diikuti oleh Jacob.
"Kalian kenapa? Kenapa tidak menjawab, siapa yang berselingkuh?" tanya orang itu lagi memandang curiga menantu dan keponakannya itu.
"Tidak ada Paman," jawab Jacob cepat.
"Lalu kalian tadi membahas apa, dan siapa pria yang keluar dari Ruangan Radit?" Alex kembali bertanya kepada mereka. Membuat wajah Gelora pucat pasih, keringat dingin di pelipisnya terlihat begitu jelas.
"Dia menga–"
"Dia ayah temanku," sela Gelora cepat memelototi Jacob.
Alex mengangguk percaya saja, "Heum Gelora kenapa kamu baru datang menjenguk suamimu. Kamu dari mana saja?"
"Mungkin dia sedang sibuk bekerja Paman," ujar Jacob terkesan sinis padanya.
"Benar kata Jacob, Ayah, aku lagi berusaha mencari uang sebanyaknya untuk pengobatan Mas Radit," sahut Gelora agak canggung.
"Jangan terlalu dipaksakan, Nak," ujar Alex mengusap pelan surai hitam menantunya. Lalu dia menatap anaknya.
"Tenanglah, Radit akan segera pulih," lanjutnya menghibur Gelora sedikit. Membuat senyuman terbit di wajah wanita itu.
***
Semua barang-barang berhamburan di lantai begitu saja.
BRAKK
BRUKK
Sekali lagi suara pecahan dan dentuman bergema mengisi ruangan itu. Dia menghancurkan semua barang di dalam kamarnya, yang dapat ia gapai.
"Sialan."
"Kamu pembohong!"
"Aku membencimu, agrhhhhh," teriaknya frustasi menarik rambutnya kasar.
"Kamu di mana sayang?!" isaknya memeluk lututnya, sambil menenggelamkan kepalanya di lututnya. Terlihat sangat menyedihkan. Memang begitu kenyataannya.
"Aku mohon kembali, sayang, tolong kembali kepadaku," racaunya tak jelas .
"Pergi," teriak pria itu tiba-tiba melempar lampu tidur, saat seseorang berjalan ke arahnya.
BRAKK
Bunyi benturan di lantai kembali terdengar. Untung saja Zaelan dapat menghindar dari serangan Pragma, dia menyapu pandangannya ke segala arah terlihat sangat berantakan dan kotor.
"Tenanglah," ucap Zaelan menarik Pragma agar bangkit dari posisinya, yang terlihat menyedihkan meringkuk di lantai.
"Pergi, Ayah," usirnya menyentak tangan ayahnya kasar.
Zaelan tak bergeming di tempatnya, masih menatap Pragma lelah akan sikapnya.
"Ayah sudah menemukan istrimu, dia tidak kabur, hanya saja dia sedang menyelesaikan urusannya. Dalam dua hari dia akan pulang," ujarnya mencoba menjelaskan pada Pragma. Semoga saja dia mau mengerti.
Akhirnya Pragma mendongak menatap wajah ayahnya, ingin memastikan apakah ia dibohongi ataukah tidak.
"Kenapa menatap Ayah seperti itu, Ayah tidak membohongimu." Zaelan mendelik kesal saat Pragma menatapnya cukup lama.
Pragma segera membuang pandangannya ke arah lain. Dia kurang percaya dengan ucapan ayahnya. "Kalau Lora ada urusan, kenapa dia tidak bilang padaku. Lalu mengapa dia pergi begitu saja?"
Sebelum menjawab pertanyaan Pragma. Pria paruh baya itu mendudukkan dirinya di ranjang Pragma, memikirkan jawaban yang tepat diberikan pada Pragma. Dia takut salah berbicara pada anaknya itu.
Pragma melengkungkan bibirnya ke bawah, kembali merasakan sesak di dadanya. Dia sadar Gelora sudah tidak mencintainya, wanita itu hanya berpura-pura agar tak menyakiti hatinya. Tidak apa-apa, asal dia berada di sisinya terus hingga menua bersama.
"Gelora memang sengaja tidak memberitahumu, karena kamu akan melarangnya pergi," jawab Zaelan setelah sekian lama mereka diam beberapa saat.
Pragma tersenyum kecut, "Aku memang tidak akan membiarkannya pergi, jika aku tidak ikut."
Perlahan tapi pasti, Pragma bangkit ikut duduk di pinggir ranjang. Di samping ayahnya.
"Bawa aku pada Gelora," pintanya membuat Zaelan diam.
Iris mata hijaunya menatap Zaelan memohon. "Tolong Ayah, aku membutuhkannya."
"Tidak bisa Pragma," jawab ayahnya cepat.
"Begitu yah," sahut Pragma menganggukkan kepalanya.
"Ayah ingin melihat aku mati, saat ini juga?" Pragma berancang-ancang ingin mengiris pergelangan tangannya.
"KAMU GILA PRAGMA." Zaelan membentak Pragma dengan keras, saat melihat pisau yang sudah berada di tangan Pragma. Sangat tajam dan ujungnya yang runcing mengkilap.
"Memang," sahutnya santai menggores pergelangan tangannya sedikit, sebagai bentuk keseriusannya bahwa ia tidak main-main dengan ucapannya.
"Astaga anak ini," ucap pria paruh baya itu lelah mengusap wajahnya kasar.
Berbicara pada Pragma tidak ada gunanya.
"Jadi bagaimana Ayah? Bawa aku pada Gelora atau bawa mayatku ke pemakaman?" tanyanya dingin dan menusuk menatap Zaelan datar.
"Bersabar lah Pragma, Gelora akan kembali kepadamu dalam dua hari," jawab Zaelan masih berusaha memberikan pengertian. Ingin mengalihkan perhatian Pragma.
Dengan sekali sentakan dia berhasil membuang pisau itu, dari tangan Pragma. Melemparnya ke sembarang arah.
Zaelan menatap Pragma serius, "Coba lah untuk mengendalikan dirimu sendiri. Jangan mencoba melakukan hal gila lagi, jika kamu seperti ini terus Gelora akan semakin membencimu karena kau terlihat semakin kacau."
Pragma terdiam mendengar ucapan ayahnya. Dan Zaelan semakin memberinya nasihat.
"Cobalah untuk memperbaiki semuanya dari hal-hal kecil dulu. Bersikap selayaknya manusia pada umumnya," lanjutnya membuat Pragma tak habis pikir. Memang dia ini apa sehingga ayahnya mengatakan seperti itu.
"Itu tidak muda bagiku Ayah. Ayah memang gampang berbicara seperti itu, tapi aku yang kesulitan untuk menjalaninya sendiri tanpa Gelora," jelas Pragma panjang lebar. Dia sadar kondisinya mentalnya sedikit terganggu. Perasaannya gampang berubah dalam waktu yang sangat cepat.
Jika sejam yang lalu dia mengamuk karena Gelora tak terlihat, namun sedetik kemudian dia merasa senang saat Gelora datang menghampirinya. Kira-kira itulah salah-satu perubahan emosinya yang sangat cepat.
Seperti saat ini dia sedikit bisa mengendalikan emosinya. Saat mendengar Gelora sudah ditemukan oleh ayahnya dan wanitanya itu ada urusan, dia akan kembali dalam dua hari ke depan. Itu sedikit melegakan pikirannya.
Berbeda dengan perasaan Gelora saat ini. Perasaanya tak dapat dijabarkan dengan kejadian yang harus ia hadapi dalam posisi seperti ini.
"Kalau tidak ada yang Mbak Gelora mau jelaskan, lebih baik aku pergi saja," tegur Jacob saat Gelora tak kunjung berbicara padanya.
Sudah lima belas menit waktunya terbuang, duduk di taman berdua dengan Gelora.
"Pragma mantan suamiku," beritahu Gelora akhirnya. Setelah lama berkutat dengan logika dan hatinya.
"Dan pria tadi adalah ayahnya," lanjutnya membuat Jacob menoleh ke arahnya dengan tatapan tak percaya.
"Jadi apa yang dia inginkan lagi?" tanya Jacob semakin ingin mengetahui kebenaran tentang Pragma.
"Diriku," ucap Gelora mengusap air matanya yang menetes di pipinya.
Rasanya ia tidak ingin berada di posisi seperti ini. Begitu banyak tekanan yang ia dapatkan termasuk dari Pragma dan keluarganya.
"Kenapa kamu tidak berontak saja, lagipula dia bukan suamimu lagi?" tanya Jacob tak habis pikir. Tanpa menggunakan embel-embel Mbak lagi pada Gelora.
Gelora menyorot Jacob datar, "Tidak semudah itu. Kamu tidak mengenal Pragma dengan baik, tentang bagaimana dia menyikapi sesuatu."
"Aku tidak mengenalnya karena aku tidak pernah bertemu dengannya, dan bukan siapa-siapanya. Berbeda dengan kamu, kalian pernah hidup bersama," elaknya tak mau kalah.
"Terserah apa yang kau pikirkan dan katakan. Aku tidak peduli," pungkas Gelora berdiri dari tempat duduknya. Ingin meninggalkan Jacob, tapi pemuda itu menahan pergelangan tangannya.
"Tunggu dulu, aku ingin mengatakan sesuatu," beritahunya menarik Gelora agar duduk kembali.
"Katakan," sahut Gelora akhirnya.
"Berapa biaya pengobatan Mas Radit, untuk ke Singapura?" tanyanya.
"500 juta," jawab Gelora cepat.
Jacob mengangguk paham. "Aku bisa membantumu membayar setengahnya, bagaiamana?"
Gelora merotasikan matanya beberapa saat. "Tidak usah, lebih baik kamu memakai uangmu untuk kebutuhanmu sendiri. Soal itu, aku bisa mencarinya."
Jacob terdiam beberapa saat, sebelum kembali berujar. "Mendapatkan uang 500 juta itu dari keluarga Pragma, bukan?"
Dan Gelora mematung setelah mendengar pertanyaan Jacob. Sedangkan pria itu semakin melebarkan seringainya dengan puas. Tebakannya tidak meleset.
To Be Continue.