Malam ini terasa begitu damai dan tenang. Gelora menghabiskan waktunya seharian penuh hingga besok pagi menemani suami tercintanya. Seperti saat ini, dia sedang mengelap basah tubuh suaminya. Membersihkannya dengan talenten.
"Kapan kamu sadar sih, Mas?" tanyanya meski tak ada sahutan dari si empu.
"Kamu tahu, dia kembali lagi," Gelora mengigit bibir bawahnya mengingat Pragma. Lusa dia akan menemui Pragma dan tak tahu lagi bagaimana akhirnya.
"Aku ingin kamu secepatnya sadar, aku tidak ingin kamu ke Singapura. Bagaimana nasib anak kita tanpa Ayahnya nanti." Wanita itu terus saja berceloteh pada suaminya yang terbaring di atas pesakitan.
"Aku bisa saja mengambil uang 500 juta dari ATM Pragma, tapi dia akan curiga dan pasti akan menemukanmu. Aku tidak mau, jika itu sampai terjadi." Gelora menggelengkan kepalanya cepat, tidak akan ia biarkan Pragma mengetahui tentang Radit. Pria itu sangat nekat, jika ia mengetahui dia telah bersuami. Pasti cepat atau lambat nyawa Radit melayang di tangannya.
Berbeda dengan Pragma dia menghabiskan malam panjangnya, di dalam kamar seorang diri. Pria itu duduk, bersandar pada penyangga ranjang dengan laptop di pangkuannya.
Dia fokus menatap gambar seorang wanita di dalam laptopnya, tak hanya satu gambar tapi beribu-ribu gambar yang selalu ia abadikan setiap saatnya.
"Aku semakin merindukanmu honey," ucapnya mengembuskan napas panjang, menatap lamat foto wanita itu sedang tersenyum manis ke arahnya.
"Apa kau tidak merindukanku?" tanyanya pada gambar yang tidak nyata itu.
BRAKK
Dengan kasar dia membanting laptop itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Emosinya sangat tidak stabil hari ini, dia butuh penenangnya.
Tak peduli laptop itu rusak, intinya dia sudah menyalin file gambar itu ke dalam beberapa memorinya sehingga dia tidak akan kehilangan semua foto wanitanya, Geloranya. Sehari saja tanpa Gelora membuatnya kesulitan bernapas, dia terus memikirkannya.
Pragma menyambar kunci mobil yang terletak di atas nakas, tepat di sampingnya. Kemudian melirik ke arah kakinya yang sudah lumayan membaik lukanya sudah kering. Dan sudah tidak terasa sakit lagi, meski terkadang kesakitan saat ia menginjakkan kakinya ke lantai dalam waktu yang lama.
Tingg
Bunyi pesan masuk terdengar dari handphonenya. Dengan cepat ia mengambilnya dan segera membaca pesan itu.
"Sudah aku katakan, kau tidak bisa jauh dariku. Aku menemukanmu sayang. Dan aku akan segera mengetahui apa yang kau sambunyikan dariku," ucap Pragma tersenyum miring. Segera bangkit dari posisinya.
Diam-diam ia memerintahkan orang kepercayaannya, untuk mencari tahu keberadaan wanitanya tanpa sepengetahuan dari ayahnya.
"Dia pikir aku bisa tenang tanpa Gelora, setelah aku menemukan wanitaku. Dasar," ucapnya sembari menyalakan mesin mobilnya.
Dengan hoodie hitam yang ia kenangkan malam ini, tak lupa menutupi sebagian wajahnya dengan tudung hoodienya. Pragma menambah kecepatan mobilnya dengan penuh, agar segera sampai di tempat tujuan.
***
Karena merasa lapar dan menginginkan nasi goreng seafood, Gelora memutuskan untuk keluar mencari makanan untuk dirinya sendiri. Berakhir lah ia berada di restauran yang terletak di depan rumah sakit. Dan Gelora bersyukur karena ia tak perlu jauh-jauh, pergi membeli makanan yang ia inginkan.
"Selamat menikmati Nyonya," ucap pelayan itu meletakkan nasi goreng seafood pesanan Gelora, beberapa camilan, tak lupa minumannya.
Mata Gelora berbinar melihatnya, ia jadi tak sabar untuk melahap semua makanannya. Setelah pelayan itu pergi, Gelora lalu melahap nasi gorengnya dengan lahap, menyecapi rasa nasi gorengnya. Sangat nikmat dan semakin membuatnya melahap makanan itu.
Di seberang sana pria itu duduk sambil menatap Gelora dengan lamat. Dia tersenyum lebar sembari menyeruput minumannya, wanita itu terlihat lucu saat makan dengan lahap. Pengunjung di restauran satu persatu mulai keluar, menyisahkan beberapa pengunjung di dalamnya. Seiring dengan malam yang semakin larut. Termasuk Gelora dan pria yang sedari tadi menatapnya, dari masuk restauran hingga Gelora berhasil menghabiskan semua makanannya.
"Akhirnya anak Ibu tidak kelaparan lagi," ucap Gelora pelan sambil tersenyum mengusap perutnya. Dengan memandang ke luar jendela kaca, yang menampakkan jalanan malam di bawah sana, penuh dengan pengendara serta lampu dari kendaraan mereka terlihat indah di malam hari.
"Apa yang sedang dia katakan?" Alis pria itu mengerut pelan, menimbulkan lipatan-lipatan kecil di sekitar dahinya.
Tak ingin membuang waktu terlalu lama lagi. Dia sangat merindukan wanita itu, dengan cepat ia beranjak dari posisinya setelah meletakkan beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja. Menuju tempat Gelora sedang menatap ke luar sana.
"I mis you, Honey." Dia langsung memeluk Gelora dari belakang, membuat wanita itu menegang dan jantungnya berdegub kencang tak seperti biasanya. Rasanya, seperti ada aliran listrik yang mengalir lewat pelukan itu.
"Kau tertangkap Sayang." Tawa pria itu tepat di telinganya, mengencangkan pelukannya pada perut Gelora. Dan rasa sesak datang menghampiri wanita itu.
"Rileks Honey," bisiknya dengan suara beratnya membuat bulu kuduk Gelora meremang, merasakan usapan lembut di perutnya. Tangan berurat itu bersentuhan dengan kulit perutnya langsung, saat pria itu menyelipkan satu tangannya masuk ke dalam bajunya.
"Ra–rama jangan seperti itu," ucap Gelora berusaha menjauhkan tangan pria itu, yang tak lain adalah Pragma.
"Seperti apa Sayang?" tanya Pragma membuat pola-pola abstrak di perut Gelora, sehingga membuat wanita itu bergerak-gerak gelisah di tempatnya menahan sesuatu.
"Rama hentikan, di sini banyak orang," kata Gelora menyentak kasar tangan Pragma. Tapi sama sekali bisa terlepas dari perutnya, usapan itu berganti menjadi cengkraman di pinggangnya. Dengan posisi Pragma mengurung Gelora, menyudutkannya antara kaca jendela dengan dirinya.
"Kenapa kamu kabur dariku, Lora?" tanya Pragma dengan datar. Semakin mencengkram pinggang Gelora tanpa penghalang. Membuat Gelora panas dingin di tempatnya, posisi seperti ini sangat berbahaya baginya dan tentunya menimbulkan kesalahpahaman bagi orang-orang. Terlihat sangat intim.
Sedangkan di belakang mereka, orang-orang menatapnya dengan pandangan berbeda-beda.
"Apa yang sedang mereka lakukan?" tanya salah-satu pengunjung menatap ke ujung sana dengan bingung.
"Haish kau ini. Pertanyaan apa itu," timpal temannya. Karena merasa tidak ada gunanya, ia bertanya setelah melihat adegan tersebut secara langsung.
"Mereka sedang bermesraan di tempat umum. Tidak punya malu memang," cibir salah-satu pelayan datang menghampiri si pelaku.
"Ekhmm." Pelayan itu sengaja bedehem dengan keras. Mencoba untuk menyadarkan ke dua orang tersebut.
Pragma mendelik di tempatnya. Terpaksa menghentikan aktivitasnya, dengan cepat dia memperbaiki baju wanitanya saat ia mengeluarkan tangannya dari dalam sana.
Gelora mengembuskan napas lega karena Pragma tidak mengukungnya. Dengan cepat dia berbalik, mencoba menghirup udara dengan rakus karena merasa pengap dengan kungkungan erat Pragma. Rasanya ia begitu terjepit di antara tembok dan Pragma. Dan ia sangat lega, saat Pragma menarik tangan kurang ajarnya, dari dalam bajunya.
"Penganggu," umpat Pragma pada pelayan itu menarik atensi Gelora.
Pelayan itu justru terlihat bersemu saat berhasil melihat wajah Pragma. Sangat tampan dan mempesona, dia takjub melihat wajah kebarat-baratan Pragma. Apalagi iris mata hijaunya, yang terang menyorot padanya.
"Aku benci matamu," beritahu Pragma mencolok mata pelayan itu tanpa kasihan. Tak lupa melemparkan beberapa lembar uang ke muka pelayan tersebut, setelah itu dia pergi dari sana dengan menyeret Gelora kasar karena wanita itu berontak.
Entah bagaimana nasib pelayan itu selanjutnya, setelah Pragma mencolok matanya dengan ke dua jarinya. Semua orang yang menyaksikan menatap kejadian itu ngeri, sedangkan pelayan itu meringis kesakitan merasakan matanya sangat perih.
To Be Continue.