Sesuai perjanjian mereka waktu itu. Kini Gelora sedang menunggu ibu Radit datang. Sembari menunggunya, dia telah memesan makanan dan minuman untuk dirinya dan Mayra juga.
Tak jauh dari tempatnya duduk, yang dipisahkan oleh lima meja, Pragma sedang duduk bersandar didekat dinding memantau Gelora. Makanan dan minumannya belum ia sentuh, dia fokus menatap Gelora menunggu ibu temannya, kata Gelora tadi saat ia ngotot untuk ikut dan ingin duduk di sampingnya.
Tak selang beberapa menit, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Bunyi lonceng saat ada pengunjung yang memasuki cafe, membuat Gelora segera menoleh ke sumber suara.
Seorang wanita paruh baya nampak berjalan anggun ke arahnya. Gelora dapat melihat senyum tipis, yang sempat Mayra lemparkan kepadanya.
"Sudah lama?" tanyanya sambil menarik kursi.
"Belum Ibu," jawab Gelora sembari melirik ke arah Pragma sekilas. Lalu ia fokus menatap Mayra membuat Pragma berdecak.
"Dasar nenek tua itu. Gara-gara dia, Lora mengabaikanku," umpatnya pelan menatap wanita yang duduk di depan Geloranya. Yang ia tahu, itu adalah ibu temannya Gelora.
"Silahkan minum dulu Ibu." Berbeda dengan Gelora ia menyuruh Mayra, untuk minum terlebih dahulu.
"Saya buru-buru Nak," sahut Mayra tak enak. Namun begitu, dia menyesap minumannya sedikit.
Gelora mengangguk mengerti, langsung saja dia membuka tasnya mengeluarkan sebuah amplop warna cokelat, yang terlihat cukup tebal.
"Ini uangnya Bu," ujarnya dengan satu tarikan napasnya. Dia menatap Mayra lekat, begitupun sebaliknya.
"Kalau masih kurang, Ibu bisa mengatakannya lagi. Aku akan usahakan," lanjutnya dengan pelan. Tiba-tiba dia kembali teringat dengan perjanjiannya dan Zaelan beberapa jam yang lalu.
"Darimana kamu mendapatkan uang sebanyak ini, dalam waktu yang cepat?" tanya Mayra tak percaya setelah mengecek amplop tersebut. Di dalamnya tidak ada hanya uang, tetapi beberapa cek yang berjumlah tiga.
"1 M," pekiknya tak percaya, wanita paruh baya itu menutup mulutnya. Pupilnya matanya melebar beberapa detik, melihatnya cek yang ada di tangannya.
Gelora hanya diam menatap Mayra, ingin rasanya ia mengatakan jika dia mengorbankan dirinya demi uang sebanyak itu. Tapi mulutnya tetap bungkam, tak bisa mengatakan itu.
"Aku meminjamnya dari sahabatku Ibu. Kebetulan ayahnya mau membantuku, dia sangat baik bukan?" Gelora mengatakan itu sembari tersenyum lebar, tapi matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang mendobrak untuk keluar di pelupuk matanya, ia segera mengalihkan pandangannya saat Mayra balik menatapnya.
"Sebelumnya terima kasih banyak, Nak. Atas semua bantuan kamu," ujar Mayra dengan tulus.
"Saya berjanji jika Radit telah siuman, saya akan segera memberi tahumu," lanjutnya pada Gelora.
Sepertinya Mayra mengerti perasaan Gelora saat ini. Ada ketakutan yang besar yang terpancar dalam netra hazel itu.
"Kalau kamu takut ditinggalkan oleh Radit. Maka saya akan memberikan kamu kebebasan untuk menjenguk dia sesekali," tuturnya lagi berharap Gelora tidak terlihat sedih.
"Be–benarkah Ibu?" tanya wanita itu menggusap air matanya kasar.
"Iya," jawab Mayra cepat.
Drttt....
"Ada yang menelpon," timpal Mayra mendengar bunyi handphone menantunya itu.
"Pragma," pikir Gelora teringat pada pria itu.
Bukannya mengangkat, Gelora malah mematikan panggilan secara sepihak. Dia tahu ini adalah peringatan, agar ia segera mengakhiri pertemuannya dengan Mayra.
"Kenapa kau tidak mengangkatnya?" tanya Mayra bingung sembari melirik jam di pergelangan tangannya.
"Itu tidak penting Ibu," sahutnya sepelan mungkin.
Mata Gelora tiba-tiba melotot saat Pragma ingin ke tempatnya.
"Kenapa kau lama sekali Sayang?" Kalimat itulah yang Gelora tangkap, dari gerakan bibir Pragma.
Kemudian ia melirik pada Mayra yang sepertinya, ingin pergi juga. Syukurlah kalau begitu karena Gelora akhirnya bisa bernapas lega.
"Gelora, sepertinya Ibu harus pamit duluan yah," ucap Mayra tidak enak. Dibalas senyuman tipis oleh Gelora.
"Tidak apa-apa Ibu. Aku juga ada urusan," jawabnya tersenyum pada Mayra yang dibalas senyuman oleh si empu.
"Kalau begitu Ibu pergi dulu yah Nak. Jangan lupa menjenguk Radit, karena besok kami akan berangkat ke Singapura, jaga dirimu baik-baik yah, selagi kami tidak di sini. Dan tunggu suamimu kembali Nak." Mayra memeluk Gelora seraya mengelus rambut menantunya. Untuk pertama kalinya ia merasakan sedikit kehangatan bersama Gelora, walau hanya sedikit.
"Ibu jaga diri juga yah. Selalu kabari aku perkembangan kondisi Mas Radit, agar aku tidak terus khawatir," pintanya dibalas anggukan oleh mertuanya itu.
Pragma menatap punggung wanita paruh baya itu, yang baru saja berlalu dari sana.
"Kenapa kalian sangat terlihat akrab. Kalian membahas apa saja?" tanya Pragma saat sudah sampai di depan Gelora.
"Karena dia sudah aku anggap seperti ibu Pragma," jawab Gelora dibalas decakan oleh Pragma.
"Lalu?" tanyanya lagi.
"Kami membahas pertemuan kami saat pertama kalinya. Aku tinggal di rumahnya saat aku tidak memiliki tempat tinggal di sini dulu," alibinya setengah berbohong dan tidak. Memang betul dia tinggal di rumah ibunya Radit, saat ia kabur dari London-Indonesia. Tentunya, Raditlah yang membawanya saat ia menemukannya sedang berjalan tak tentu arah di tengah gerimis kala itu.
Gelora tersenyum miris mengingatnya. Sungguh menyedihkan hidupnya kala itu, dia sudah ditinggal oleh ke dua orang tuanya. Lalu pergi meninggalkan rumah suaminya, karena dia ingin bertunangan dengan wanita lain. Ditambah ia tak hanya membawa dirinya pada waktu itu, tatapi membawa anaknya yang masih berada di dalam kandungan.
"Maaf," ucap Pragma tiba-tiba saat Gelora terdiam. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh wanitanya.
Andai Pragma dulu tak bodoh untuk menyadari perasaan istrinya, yang sangat tidak terima dengan pertunangan itu dan sedang mengandung buah cinta mereka. Pasti dia tidak akan pernah mengatakan secara langsung bahwa ia ingin bertunangan dengan wanita pilihan ibunya.
"Tidak ada gunanya Pragma kau meminta maaf kepadaku, semuanya sudah terjadi, anak kita juga telah tiada. Kita tidak dapat memutar waktu lagi," jelasnya tanpa menatap Pragma. Pria itu mengepalkan ke dua tangannya di sisi tubuhnya.
Dia membenci dirinya sendiri telah membuat Gelora harus menderita pada waktu itu, dia benci melihat wanitanya bersedih gara-gara dirinya, dan dia benci dirinya sendiri saat tidak tahu istrinya sedang mengandung anaknya pada saat itu. Andai waktu dapat diputar kembali, dia tidak akan pernah membiarkan Gelora pergi darinya.
"Sebenarnya berat bagiku untuk berada didekatmu lagi Rama, tapi aku terpaksa melakukannya," ungkapnya sembari mengusap perutnya.
"Karena aku masih membencimu," lanjutnya dalam hati.
GREP
Pragma tak tahan untuk menarik Gelora ke dalam dekapannya. Memeluknya seerat mungkin, dia benci mendengar Gelora terpaksa bersamanya. Tapi ia ingin egois tidak akan membiarkan wanitanya, pergi untuk ke dua kalinya lagi.
"Kita mulai dari awal lagi Sayang. Di mana kita akan terus bersama, aku berjanji tidak akan membiarkanmu pergi lagi, kita akan membesarkan anak-anak kita bersama, melihatnya tumbuh sampai dia dewasa. Hingga seluruh waktu yang aku punya untukmu habis, kita akan menua bersama dan menutup mata untuk terakhir kalinya bersama juga." Pragma bercerita panjang lebar tentang keinginannya.
Gelora diam mendengarnya. Semuanya tidak lagi akan sama seperti dulu, rasanya sudah berbeda sejak dua tahun yang lalu.
"Aku tidak tahu apakah kita akan terus bersama Pragma. Karena aku akan tetap menunggu suamiku, semoga saja Tuhan tidak membuat aku mencintaimu lagi," batin Gelora menatap Pragma sendu. Dia tidak ingin mencintai Pragma untuk ke dua kalinya.
To Be Continue.