Bunyi mesin detak jantung terdengar begitu nyaring mengisi ruangan sunyi ini. Di samping brangkar ada seorang wanita yang berdiri di sana, tidak lupa jas kebangaan dokternya yang ia kenangkan.
"Kondisinya semakin membaik," katanya, yang dibalas anggukan perawat di sampingnya.
"Benar sekali Dok, kemarin saya melihat jemarinya bergerak," ungkapnya.
"Benarkah?" tanya Dokter Rina tak percaya. Dibalas anggukan antusias lagi oleh perawat yang berada di sampingnya.
"Kita harus segera memberitahu keluarganya. Kemungkinan besar dia akan sadar dalam waktu dekat ini," terangnya tenang sambil menatap wajah pasiennya lembut.
"Pasti keluarganya akan senang sekali termasuk istrinya," ujar perawat itu turut senang mengetahui perkembangan Radit yang semakin membaik dari hari ke hari.
"Iya," sahut dokter itu pelan.
"Saya keluar dulu," lanjutnya sebelum beranjak dari sana. Membuat tanda tanya di dalam kepala perawat itu.
Mengapa wajah dokter Rina terlihat tidak enak dipandang. Seperti menyimpan emosi yang siap diledakkan dan juga terlihat sendu di saat yang bersamaan.
"Mama," panggil seorang anak kecil keluar dari tempat persembunyiannya. Berhasil menghentikan langkah dokter itu.
"Amara," sahut ibunya tak lain adalah Dokter Rina. Sedangkan perawat sekaligus asistennya menatap Amara, nampak sedikit terkejut dengan kehadiran anak bosnya.
"Sini." Dokter Rina menggerakkan tangannya memanggil gadis kecilnya.
"Tidak mau," sahut anak kecil itu menunduk menatap sepatunya, ke dua tangannya saling bertaut di belakang tubuhnya.
"Vanya tinggalkan kami berdua," titah Dokter Rina diangguki langsung oleh si empunya. Setelah mengganti cairan infus Radit.
Memastikan Vanya telah keluar. Dokter Rina segera berjalan ke tempat anaknya berdiri.
"Jangan pukul Amara, Ma," mohon anak itu membuat dadanya sesak.
"Mama tidak ingin memukul kamu Sayang," terang Dokter Rina menyamakan tingginya dengan anaknya.
Amara mendongak untuk menatap ibunya. Wajahnya telah basah bersimbah air mata di pipinya, mata bulatnya bergulir menatap seorang pria yang masih terbaring lemah di atas brangkar. Jari telunjuknya terangkat menunjuk ke arah sana, serta tatapannya bertemu dengan ibunya.
"Amara tadi temanin ayah biar gak kesepian. Tadi, jemari ayah gerak-gerak," beritahunya dengan binar bahagia yang sangat terlihat di matanya.
Dokter Rina terdiam mendengar penuturan anak semata wayangnya. Dia mengusap air mata anaknya dengan ibu jarinya, dengan lembut. Dadanya selalu sesak saat Amara bertanya siapa ayahnya. Dan sekarang, dia menggangap Radit ayahnya. Semua ini memang kesalahannya, karena membiarkan Amara menemaninya untuk memeriksa keadaan Radit.
Di hari pertama bertemu, Amara mengamati wajah pria itu. Anaknya diam, sampai di hari ke dua Amara selalu bersemangat datang ke rumah sakit untuk menjenguk Radit. Dan dirinya tidak sadar alasan Amara melakukan itu, bahwa putrinya malah menggangap Radit ayahnya.
"Dia bukan ayahmu, Nak," ucapnya memberi pengertian. Amara menggeleng dengan keras, matanya kembali bergabut sehingga penglihatannya sedikit mengabur menatap ibunya.
"Dia ayahnya Mara," balasnya tegas.
"Bukan Sayang," tegas Dokter Rina lembut berdiri dari tempatnya, ingin menarik Amara keluar dari sana.
"Kalau bukan ayah Amara, terus dia ayah siapa?" tanya gadis kecil itu seraya melepaskan genggaman ibunya di tangan kecilnya.
Dokter Rina bingung ingin menjawab apa. Tanpa sadar ia mengigit bibir bawahnya, mendongakkan kepalanya ke atas agar air matanya tak menetes.
"Sudahlah Amara, ayo kita pergi dari sini. Sebelum keluarganya datang," ajak Rina memohon kepada Amara.
Karena tak tega melihat ibunya seperti itu, akhirnya Amara menganggukkan kepalanya. Meski ia berat untuk meninggalkan ruangan itu.
***
"Sayang," teriak Pragma mencari keberadaan istrinya. Matanya menyapu seluruh penjuru ruangan.
"Kamu di mana." Pragma tergesa-gesa keluar dari kamar. Tidak memedulikan tubuh bagian atasnya terekspos karena ia masih mengenangkan handuk melilit pinggangnya. Sambil menenteng baju kaos berwarna putihnya.
Seseorang yang sedang memakan pizza dengan khidmat itu terganggu, akibat teriakan Pragma.
"Di mana istriku?" tanyanya tiba-tiba membuat orang itu terjangkit kaget.
"Astaga Tuan," decaknya menatap Pragma kesal.
"Rudolp kamu mendengarku tidak," bentak Pragma ingin memberikan bogeman mentah pada wajah mulus bawahannya.
"Ada apa ini," seloroh Gelora cepat menatap Pragma tajam.
BRAKK
Dengan kasar ia meletakkan piring di atas meja pantri dengan keras. Kemudian berkacak pinggang menatap ke dua orang itu.
"Kalian, kalau ingin bertengkar jangan di sini. Sebaiknya kalian berdua keluar, jangan merusak moodku," usir Gelora dibalas senyuman lebar oleh Pragma.
"Aku tadi mencarimu Sayang, aku pi-"
"Aku tidak akan kabur," potong Gelora cepat. Netranya bergulir menatap penampilan Pragma, rambut yang masih basah, masih mengenangkan handuk, dan wajahnya terlihat menyebalkan minta ditampol spatula. Begitulah kira-kira pikiran Gelora terhadap Pragma.
"Ada apa Sayang?" tanyanya dengan polos menatap Gelora bingung.
"Kamu menyebalkan, kenapa tidak mengeringkan rambutmu dulu sih," decaknya membawa Pragma kembali ke dalam kamar. Saat ini mereka masih berada di hotel dengan Rudolp yang kembali melanjutkan makannya. Sembari mencemot kue di piring, kue buatan Gelora.
"Enak juga, si Nyonya gila sangat pandai memasak dan membuat kue," ucapnya pelan.
Di dalam kamar Pragma duduk di depan di cermin. Menatap lamat Gelora yang sedang mengeringkan rambutnya dengan menggunakan hair dryer Philips. Setelah itu dia mengusap rambut Pragma dengan tangannya, menyugarnya ke belakang, sebelum memberikannya vitamin rambut. Tanpa sadar Gelora kembali melakukan hal yang sama, pada Pragma seperti yang ia lakukan dulu.
"Kamu cantik," celetuk Pragma tak tahan untuk memuji istri cantiknya.
Gelora berdecak malas mendengarnya. "Dari kemarin-kemarin, kamu sudah memujiku. Kamu tidak bosan?
Pragma menggelengkan kepalanya pelan, memutar tubuhnya ke belakang sehingga mereka saling berhadapan. Bedanya, Pragma yang sedang duduk di kursi sedangkan Gelora sedang berdiri, masih memberikan vitamin rambut pada Pragma.
"Aku tidak akan bosan untuk selalu memujimu, karena kamu itu milik aku, kecantikan kamu hanya untukku, semua yang ada di dalam diri kamu itu semuanya punya aku," ujarnya panjang lebar mendongakkan kepalanya menatap Gelora.
Aktivitas Gelora terhenti, ia balas menatap Pragma. "Yang aku dengar, kamu sepertinya terobsesi kepadaku."
"Entahlah, yang aku tahu kamu milik aku dan begitupun sebaliknya." Ke dua tangannya menyelinap memeluk pinggang Gelora. Menyandarkan kepalanya pada perut wanita itu.
Jantung Gelora semakin berdetak tak karuan berada di posisi seperti ini. Apalagi kepala Pragma yang menyelinap masuk ke dalam bajunya, sehingga bersandar langsung pada perutnya dan kulitnya langsung bersentuhan.
Wanita itu mengigit bibir bawahnya saat menatap pantulan mereka lewat cermin besar di depannya.
"Lora," gumam Pragma tak jelas karena suaranya teredam pada perut Gelora. Sehingga sensasi geli dan hangat melebur jadi satu, yang dirasakan oleh wanita itu. Embusan napas Pragma sangat terasa mengenai kulitnya langsung.
"Hm," dehem Gelora berusaha bersikap normal.
"Kapan anakku akan ada disini?" tanya Pragma lebih jelas agar Gelora mendengarnya.
"Apa yang kau katakan, jangan melantur tidak jelas," balas Gelora berusaha mengeluarkan kepala Pragma dari perutnya. Dia terlihat seperti hamil besar, karena kepala Pragma yang berada di dalam bajunya.
"Kapan?" desak Pragma kembali bertanya. Kali ini, ia melayangkan kecupan basah pada perut Gelora.
"Anak Daddy yang ganteng sehat-sehat yah di dalam," katanya sambil cekikan tidak jelas. Membayangkan bayinya benar ada di dalam perut Gelora.
"Pokoknya kalau kamu udah lahir, Daddy ajak kamu main pesawat-pesawat. Kasih hadiah yang banyak deh, terus kita jahilin Mommy bersama," celotehnya semakin ngawur tertangkap di indra pendengaran Gelora.
"Sudah Pragma, kamu jangan melantur terus, sekarang ayo keluar. Kamu lapar kan? Aku sudah membuatkan kamu sandwich," bujuknya terdengar sangat lembut.
"Iya aku lapar," sahut Pragma mengeluarkan kepalanya dari sana. Kemudian beranjak dari tempatnya.
Gelora tersenyum lega melihatnya. Akhirnya ia bisa lolos dari celotehan absurd Pragma.
To Be Continue.