Gelora menyadari sedikit perbedaan Pragma, saat pria itu bermimpi dia memiliki suami dan sedang mengandung anak suaminya. Itu memang benar kenyataannya, tapi Pragma tetap saja ketakutan mengingat mimpi buruknya.
Seperti saat ini mereka sedang menikmati berbagai hidangan di balkon kamar hotel, hidangan yang diantarkan khusus untuk mereka tanpa perlu turun ke restoran hotel, mengingat Pragma yang melarang keras mereka makan di sana.
Gelora menikmati makanannya, sesekali melirik Pragma yang masih diam menatapnya polos. Makanan di depan pria tersebut belum tersentuh sedikitpun.
"Kenapa kamu belum makan?" Dahi Gelora mengeryit sembari menggelap bibirnya.
Pragma menggeleng pelan menatap Gelora cemas. "Semoga mimpiku tidak jadi kenyataan, tapi aku melihatmu di dalam sana memiliki suami dan kau sedang mengandung anaknya." Pria itu membuang muka setelah mengatakan itu, dia sangat membenci mimpi itu semalam. Mengapa ia harus bermimpi seperti itu.
"Sebaiknya kamu habiskan makananmu," ucap Gelora mengalihkan pembicaraan.
"Jawab dulu, mimpiku tidak akan berubah jadi kenyataan kan, kamu akan tetap bersamaku? Aku suami kamu satu-satunya kan? Hanya aku yang boleh menghamilimu! Itu mutlak," Terlalu banyak pertanyaan dan pernyataan di akhir kalimat yang diucapkan Pragma membuat Gelora menggelengkan kepalanya heran.
"Gelora," tegur Pragma memegang ke dua bahu Gelora. Kentara sekali pria itu terlihat sangat cemas.
"Iya Pragma, semua itu tidak akan terjadi," jawabnya malas.
"Kalau itu sampai terjadi, aku akan membunuh suami dan anak itu," sahutnya tegas mengusap rambut cokelatnya ke belakang.
"Sudahlah jangan membahas itu lagi," ucap Gelora.
Tiba-tiba Gelora teringat kalau ia akan menemui mertuanya sore ini. Memberikan uang lima ratus juta itu, tapi dia sama sekali belum mendapatkannya, apakah ia meminta saja kepada Pragma?
"Rama," panggil Gelora saat Pragma masih menatapnya.
"Hm," dehem Pragma menumpukkan dagunya sembari menatap Gelora.
"Aku ingin," Gelora mengalihkan pandangannya ke arah lain. Jujur dia sangat gugup apalagi ia ingin meminta uang untuk Pragma.
"Ingin apa Sayang?" Pragma mengusap peluh yang ada di pelipis Gelora, menunggu wanitanya kembali berujar.
"Bolehkah aku meminjam uangmu," sahutnya pelan langsung menundukkan kepala karena malu.
Pragma masih diam memperhatikan Gelora, sampai di mana Gelora kembali menatap dirinya.
"Kalau tidak mau, tidak apa-apa," ucapnya, ke dua bahunya merosot ke bawah melihat keterdiaman Pragma.
"Aku bukannya tidak mau. Tapi, aku tidak ingin menjawab pertanyaan konyolmu itu," sahut Pragma lugas kembali menegakkan tubuhnya.
"Terserah kamu ingin menghabiskan uangku berapa pun nominalnya, aku tidak masalah kecuali kamu berniat meninggalkan ku, itu baru bermasalah. Dan aku akan mengejarmu ke manapun kamu pergi, sejauh apa kamu meninggalkan ku," jelas pria pemilik mata emerald tajam itu.
"Karena uang bisa dicari lagi, dan tentunya uangku sangat banyak," lanjut Pragma terdengar sombong di telinga Gelora. Namun tak ayal wanita itu terkekeh geli mengingat sikap Pragma. Pria itu memiliki sikap sombong di atas rata-rata. Dan ternyata sikapnya itu masih awet sampai sekarang.
"Masalahnya, aku ingin meminjam uangmu dalam jumlah yang banyak." Gelora menautkan tangannya di atas meja, dan itu tidak terlewatkan dari penglihatan Pragma.
Tanpa diduga pria itu meletakkan dompetnya di atas meja, mendorongnya pelan ke arah Gelora.
"Di dalamnya ada beberapa kartu kredit, kamu bisa menggunakan semuanya, aku hanya memegang cas lima juta, tapi kalau kamu mau, aku bisa Rudolp menyuruh Rudolp membawakanmu cas sesuai jumlah yang kamu mau. Sayang?" Pragma beranjak dari posisinya yang berhadapan dengan Gelora, menjadi duduk dengan berdampingan, meletakan kursinya di samping kursi Gelora. Kemudian ia menjatuhkan kepalanya di bahu wanitanya.
Sedangkan Gelora masih mencerna segala ucapan Gelora. Masih ada keraguan di hatinya, apakah ia akan memanfaatkan Pragma dengan uangnya.
Setelah memantapkan pilihannya ia kembali berkata, "Aku ingin mengambil 500 juta."
Pragma mengagukkan kepalanya acuh tak acuh, menikmati aktivitasnya sedang memeluk pinggang Gelora. Embusan angin sepoi-sepoi datang menghampiri mereka, membuat ia memejamkan matanya.
"Aku mengantuk Sayang," adunya dengan suara serak.
Gelora mengangkat satu tangannya, untuk mengusap rambut Pragma.
"Tidurlah, aku tahu dari semalam kamu tidak dapat tidur gara-gara mimpi itu."
"Berjanji lah setelah aku bangun nanti, kamu masih ada di sisiku tidak kabur lagi?" Pragma memberikan jari kelingkingnya kepada Gelora. Yang dibalas wanitanya itu cepat sebagai bentuk promisenya.
"Aku berjanji," jawab Gelora. Turut menikmati angin sepoi-sepoi itu.
Di balkon hotel mereka berdua saling mengungkap apa yang mereka rasakan. Termasuk Pragma yang semakin mengeratkan pelukannya, walau matanya tertutup dan dengkuran kecil mulai terdengar tapi pelukannya masih saja terasa erat.
"Sejauh ini kamu tetap sama. Tetapi, emosimu tidak terkontrol," gumam Gelora semakin mengelus surai Pragma menenangkan pria itu.
Dengan begini ia bisa bernapas lega, setelah mendapatkan uang itu sebagai imbalannya dia terjerat bersama Pragma entah sampai kapan.
"Semoga Mas Radit cepat sembuh, agar aku bisa menjauh darimu," batinnya menatap Pragma yang terlelap damai memasuki alam mimpinya.
"Dan mengganti uangmu, pastinya," lanjutnya lagi dalam hati. Tak berani mengatakannya langsung meski Pragma sedang tertidur, tapi ia takut pria itu tetap mendengarnya.
***
Di dalam ruangan yang didominasi oleh warna hitam. Seorang pria sedang duduk di kursi dekat jendela kamarnya, dia menatap keluar hamparan pepohonan di luar sana, satu tangannya memegang handphonenya memperhatikan wajah seseorang dengan teliti.
"Pasti ini Pragma," tebaknya.
"Dan ternyata dia masih mencintainya."
"Sangat disayangkan, kasihan sekali nasib sepupuku," lanjutnya berujar pelan. Sembari memperhatikan setiap senti wajah Pragma.
"Dia jauh lebih tampan dari Radit dan aku. Pantas saja Gelora belum melupakannya, pasti wanita itu masih mencintainya juga. Berarti aku tidak salah jika harus menuruti permintaan aki-aki tua itu." Tiba-tiba ia mengingat kembali perbincangan dengan ayahnya Pragma tempo lalu. Menyuruhnya untuk menjadi mata-mata dan memisahkan sepupunya dengan Gelora. Agar Pragma bisa bersama Gelora, dan juga nyawa sepupunya itu akan aman dari jangkaun Pragma jika dia mengetahui istri tercintanya ternyata memiliki suami lain. Maka nyawa Radit dalam bahaya.
Hanya Zaelan yang bisa menutup rapat identitas Radit, dan memastikannnya aman dari jangkauan Pragma.
Ting
Bunyi notifikasi di hpnya berhasil menarik atensinya. Dia segera membuka pesannya.
"Ternyata dari aki-aki tua itu," decaknya meletakkan kembali hpnya ke atas meja, cukup keras sehingga menghasilkan sedikit bunyi. Baru dipikirkan ternyata orangnya sudah mengancam lagi dengan menerornya pesan.
"Jacob," teriak seseorang dari luar membuat ia kembali berdecak keras merasa terganggu.
Dengan segera Jacob bangkit dari kursinya menemui si empu.
Hari mulai sore membuat Gelora segera bersiap untuk menemui ibu mertuanya.
"Sayang, aku ikut yah." Untuk ke sekian kalinya Gelora mendengar rengekan Pragma. Pria itu juga ternyata sudah siap dengan baju kaos putih yang dilapisi kemeja kotak-kotak merah hitam, serta celana jins hitamnya. Untuk sesaat Gelora cukup terpukau melihatnya, Pragma masih terlihat mempesona di matanya.
Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya untuk menghalau pikirannya. "Tidak perlu, lebih baik kamu istirahat saja."
"Pokoknya aku tetap ikut," tekan Pragma dengan sorot tajam.
"Kalau dia ikut, pasti ibu akan menuduhku yang macam-macam," pikir Gelora cemas.
Pragma ikut diam melihat wanitanya yang terlihat begitu gelisah. "Ada apa? Kenapa kamu tidak ingin membawaku?"
Gelora semakin meremas tangannya yang saling bertaut. Dia bingung ingin mengatakan apalagi.
"Kenapa Gelora, kamu ingin kabur lagi kan?" Pragma menudingnya dengan curiga. Menekukkan ke dua alisnya.
"Aku tidak ingin kabur Pragma," sahut Gelora lelah.
"Atau begini saja, kamu boleh memantauku. Tapi kamu tidak boleh berdekatan denganku dulu saat aku berbicara dengan ibu temanku. Bagaimana?" tawar Gelora.
Pragma berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Pria berambut cokelat itu kembali tersenyum lebar, "Baiklah. Hanya lima belas menit kamu bisa menemuinya!"
Dan sejak itu juga Gelora kembali mengganguk. Akhir-akhir ini dia sudah terlalu banyak menurut kepada Pragma.
To Be Continue.