Pragma mengendarai mobilnya dengan kesetanan. Di samping pengemudi ada Gelora yang menjerit ketakutan saat Pragma semakin menambah kecepatan mobilnya.
"Rama, pelankan laju mobilnya," teriak Gelora dihiraukan oleh Pragma.
Genggaman tangan Pragma pada setir kemudi semakin mengerat, mengingat Gelora berhasil mengelabuinya dan pergi begitu saja.
"PRAGMA," teriak Gelora lagi menatap Pragma tajam.
"Diam Lora," balas Pragma mulai emosi.
Bagaimana Gelora bisa diam jika Pragma mengendarai mobil dengan ugal-ugalan.
Di depan sana ada sebuah truk besar yang melaju dan Gelora semakin ketakutan, kala Pragma masih menambah kecepatan mobilnya.
Sedangkan Pragma hanya diam menatap jalanan malam di depannya, tak mengubris teriakan Gelora sama sekali.
"Rama," panggil Gelora masih tak dihiraukan oleh Pragma.
Dengan terpaksa dan diliputi rasa ketakutan yang besar. Gelora menggoyangkan lengan Pragma untuk menarik perhatiannya.
"Aku tidak ingin mati Pragma," ucapnya menggoyangkan lengan Pragma semakin lama, semakin keras.
"DIAM GELORA," bentak Pragma menghempaskan tangan Gelora dengan kasar. Dia memutar setir mobilnya dengan cepat, saat truk tersebut ingin menyambarnya.
CITTTT
Bunyi decitan rem antara aspal beradu dengan keras, menimbulkan bunyi yang lumayan keras.
Hampir saja kepala Gelora terhantam dashboard mobil, tapi Pragma lebih cepat meletakkan satu tangannya di dashboard mobil, sehingga kepala Gelora tak sampai mengenai dashboard. Di saat seperti ini saja Pragma masih peduli pada Gelora.
Gelora menetralkan degupan jantungnya yang menggila, sedangkan Pragma menatap tajam ke depan. Tak menoleh sedikitpun pada Gelora. Perasaannya gampang berubah-rubah, dan emosinya sedang naik turun tidak stabil.
Di dalam mobil mereka hanya diam berkutat dengan pikiran masing-masing. Sampai di mana Gelora ingin membuka pintu mobil, barulah Pragma mencegahnya dengan cara menurunkan tinggi kursi penumpang mobil ke belakang, membuat Gelora memekik kaget.
"Kamu mau kabur lagi, Sayang?" tanya Pragma sinis menatap wanita itu tajam. Tubuh pria itu ia condongkan ke depan, berusaha mengikis jarak yang ada di antara mereka.
Gelora diam menahan napas. Sedangkan Pragma kembali menjauhkan diri sedikit dari Gelora.
"Jawab," sentak Pragma emosi melihat keterdiaman Gelora seperti patung.
"Jangan sampai aku menjahit mulutmu Gelora." Tangannya mengcengkram kasar dagu Gelora.
"Iya, aku memang ingin kabur darimu," teriak Gelora.
Pragma terkekeh sinis menatapnya. "Sudah mulai berani ternyata."
"Di mana Lora yang penurut seperti dulu, pendiam, tidak berani melawanku?" tanya Pragma mengusap kasar wajah Gelora. Dadanya naik turun menahan emosi.
PLAKK
Satu tamparan keras melayang mengenai pipinya. Pragma menoleh ke samping, memegangi pipinya yang berdenyut nyeri terasa panas.
"Aku bukan Loramu yang seperti dulu, aku dan kamu sudah asing, bukanlah kita," balas Gelora tak kalah sengit.
Sebelum membalas ucapan wanitanya, Pragma berusaha keras menahan amarahnya, dia memanalisirnya sebisa mungkin. Dia memainkan lidahnya di dalam mulutnya, menatap Gelora tajam, sungguh mengontrol emosinya saat ini sangat susah.
"Kamu kasar sekali, aku tidak pernah mengajarimu untuk bersikap kurang ajar seperti itu. Saat bertemu denganmu lagi, aku berusaha keras untuk menahan emosi untuk tidak menyakitimu. Tapi sayangnya, kamu semakin liar Sayang." Raut wajah Pragma dibuat sedih memandangi Gelora sembari jari telunjuknya bergerilya di wajah wanita itu. Seperti melukis sesuatu.
"Jauhkan tangan kotormu itu dariku," ucapnya pada Pragma.
"Bagaimana kalau aku menghukummu Sayang?" Pragma menaik turunkan ke dua alisnya.
"Dan tangan ini akan memuaskanmu, seperti ini." Pragma meremas pinggang Gelora pelan.
"Bagaimana Sayang?" tanyanya meminta pendapat Gelora dengan seringainya yang semakin lebar.
"Ahh apa yang kamu lakukan," ucap Gelora tertahan saat tangan Pragma semakin bergerilya ke tubuhnya. Dengan kurang ajarnya masuk ke dalam bajunya. Melakukan hal yang sama seperti di restauran tadi.
"Mari menikmatinya bersama Sayang, ayo tatap aku," ujar Pragma menggoda Gelora. Tangannya yang satunya menarik wajah Gelora agar menatapnya.
Gelora diam dengan mati-matian menahan suara laknat, yang akan keluar saat Pragma semakin menggodanya.
Kali ini Pragma menikmati ekspresi wajah Gelora. Dia tersenyum puas melihatnya, tidak ada lagi kemarahan yang terpencar di wajahnya, semua sirna begitu saja melihat ekspresi wanitanya yang seperti menahan sesuatu.
"Rama," pekik Gelora kaget saat tangan Pragma semakin turun, ingin menyentuh bagian sensitifnya.
"Jauhkan tanganmu Rama, aku mohon," ujar Gelora dengan mata berkaca-kaca. Dia mengingat Radit suaminya, ia tidak ingin menghinatinya.
"Aku tidak mau," jawab Pragma membaringkan kepalanya di dada Gelora. Jujur dia kelelahan, dia menarik tangannya dari dalam baju Gelora. Berganti memeluk pinggang wanita itu, dengan ke dua tangannya.
"Kamu dari mana saja Sayang?" tanyanya di sela-sela aktivitasnya menduselkan, kepalanya ke leher Gelora.
"Jangan banyak gerak Pragma, kamu berat," alibi Gelora sesungguhnya ia terganggu dengan apa yang Pragma lakukan, rambut-rambut nakal pria itu terasa menggelitik lehernya. Tapi ini lebih baik di banding tangan nakalnya yang berusaha menggerayangi tubuhnya.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku," sahut Pragma lagi.
Gelora terdiam sejenak sembari mengelus pelan rambut Pragma dan pria itu menikmatinya dengan memejamkan matanya.
"Aku dari rumah sakit," jawabnya dengan jujur.
Pragma pura-pura tidak tahu dengan cara menganggukkan kepalanya. Dia ingin kejujuran dari Gelora. Dia tahu Gelora dari rumah sakit tapi siapa yang wanitanya itu jenguk dia tidak tahu.
"Siapa yang sakit?" Dia kembali bertanya.
"Sahabatku," jawab Gelora cepat. Tak apa membohongi Pragma, daripada pria itu mencari tahunya sendiri.
"Pria atau wanita?" Pragma mendongak sedikit untuk menatap Gelora.
Gelora gugup ditatap seperti itu. Namun ia tetap menjawabnya, "Pria."
"Apa?!" Mata Pragma melotot dia segera menarik dirinya dari Gelora. Menatap Gelora lebih jelas lagi, rahangnya kembali mengetat, wajahnya memerah padam.
"Aku tidak mau kamu menemui pria lain selain aku, aku tidak sudi, aku cemburu Sayang. Aku CEMBURU," ucapnya menekan kata 'cemburu.'
"Aku ingin melihat pria itu, ayo kita ke rumah sakit," ajaknya bersiap-siap untuk menjalankan mobilnya.
"Ta–"
"Kamu tidak boleh masuk menjenguknya, kamu di luar saja biar aku yang melihatnya," selanya memotong ucapan Gelora.
"Ra–"
"Diam Sayang," potongnya lagi membuat Gelora ingin merobek mulut Pragma dengan tangannya.
Kini Pragma benar-benar memutar balik mobilnya, menuju rumah sakit dan membuat Gelora semakin panik.
"Sebaiknya kita pulang," ujarnya pada pria di sampingnya ini.
"Tidak sebelum aku menemui sahabatmu itu."
"Tidak, kamu tidak boleh bersahabat bersama pria itu," ralatnya membuat Gelora semakin ketar-ketir di tempatnya. Wajah wanita itu pucat pasih.
"Ini sudah malam Rama, besok saja kita menemuinya," bujuknya beranjak mendekati Pragma dengan sedikit susah.
Saat berhasil menggapai tangan satu tangan Pragma, yang tak memegang setir kemudi. Ia segera mengusap punggung tangan itu dengan lembut.
Pragma masih fokus menjalankan mobilnya, ketimbang melirik ke arah Gelora. Terserah wanita itu ingin melakukan apa.
"Pragma," panggil Gelora menarik paksa Pragma agar menatapnya.
"Jangan seperti itu Sayang, aku sedang menyetir," tegurnya pelan.
Gelora diam tak tahu harus berkata apa lagi, hingga tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya.
"Sayang aku sangat mengantuk," rengeknya manja pada Pragma. Semoga saja dengan cara ini ia berhasil menarik atensi pria itu.
Alis Pragma berkerut mendengar rengekan wanitanya. Ia tahu Gelora sedang mengelabuinya, tapi dia akan membalasnya juga.
"Aku akan mengikuti permainanmu Sayang," batinnya tersenyum sinis.
"Kamu tidur saja Sayang," jawab Pragma cuek.
Gelora semakin kehilangan kata-katanya, karena Pragma tidak terpengaruh dengan ucapannya.
"Tapi tidur di mobil tidak nyaman," protes semoga saja Pragma berubah pikiran.
"Yah terus kamu maunya apa hm?" tanya Pragma menghentikan mobilnya di depan rumah sakit, dan Gelora tak menyadarinya jika ia telah sampai di tempat tujuan.
"Aku mau tidur sambil memelukmu." Gelora jijik mendengar ucapannya barusan.
Pragma menahan senyumannya. Sedangkan Gelora mematung melihat pemandangan di depannya, lebih tepatnya tulisan yang terpampang jelas di sana.
"Medika Raya hospital," ucapnya lirih.
"Benar Sayang, aku tidak sabar untuk bertemu pria itu. Tentunya, aku punya kejutan," jawab Pragma melebarkan senyumannya.
DEGG
Gelora meremas tangannya sendiri. Rasanya ia ingin memutar waktu agar tak kabur dari Pragma dan berakhir pria nekat ini ingin menemui suaminya.
To Be Continue