Tangan Gelora berkeringat dingin saat melihat Pragma mengeluarkan belati dari balik saku hoodienya. Pria itu terlihat seperti psikopat menatap belati itu dengan minat, dia menyapu pandangannya ke segala arah menatap orang berlalu lalang di dalam rumah sakit.
Dia kembali memasukkan belatinya saat melihat suster menatap ke arahnya.
"Besok saja kita menemuinya Rama." Gelora kembali mengatakan itu setelah lama diam.
"Aku tidak mau," sahut Pragma keras kepala.
"Tapi aku sangat mengantuk." Gelora beralasan dengan pura-pura menguap sambil menutup mulutnya.
Matanya dibuat sesayu mungkin menatap Pragma. "Please, aku mau tidur Rama."
Pragma berkutat keras dengan pikirannya, sebelum mengagukkan kepalanya. Tak tega melihat Gelora.
"Ayo honey, lebih baik kita menginap di hotel malam ini." Dia menarik tangan Gelora membawanya keluar hingga masuk ke dalam mobil.
Gelora memundurkan langkahnya ke belakang, sedikit menjauh dari Pragma. Sedangkan si empu menaikkan alisnya menatap Gelora. Seakan mengatakan kamu kenapa?
Seperkian detik kemudian Pragma menyeringai menatap Gelora. "Kamu takut Sayang?"
Gelora diam saat Pragma menatapnya seakan-akan ingin menerkamnya. Lantas ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tanpa mereka sadari seseorang sedang menatapnya dari balik tembok, tak lupa merekam setiap detail kejadian saat Pragma merengkuh pinggang wanita itu, mengecup pelipisnya pelan, meniup-niup wajah Gelora.
"Kenapa kamu kembali tegang Sayang. Di mana keberaniamu tadi, atau kantukmu sudah hilang?" Pragma semakin menggoda Gelora membuat wanita itu berdecak kesal.
"Karena kamu sangat menyebalkan."
Percayalah setelah mengatakan itu Pragma tertawa kecil dibuatnya. "Hahahha baiklah Sayang. Ayo kita ke hotel dan membuat baby, mungkin?"
PLETAKK
Gelora menampol bibir Pragma karena seenak jidat mengatakan hal yang membuatnya bersemu, dan beberapa perawat mendengarnya. Lalu mereka tersenyum kecil akan hal itu.
"Ini akan menjadi senjataku," ucap pria itu yang masih bersembunyi di balik tembok. Lalu ia memasukkan handphonenya dengan cepat ke dalam saku. Saat netranya tak sengaja bertubrukan dengan Pragma, ia menatapnya dengan datar dan mematikan.
"Sepertinya kita harus segera pergi dari sini," ujar Pragma serius menggandeng tangan Gelora, berlalu dari sana. Dan kembali menoleh sesaat menatap pria tadi, terlihat sangat mencurigakan.
Apakah dia menyukai wanitanya. Jika iya, maka dia tidak akan segan-segan menghabisi pria itu dengan tangannya sendiri.
***
Ceklekk
Pintu kamar hotel terbuka dengan lebar, ia persilahkan wanitanya untuk masuk dan beberapa paper bag kecil yang berada di tangannya. Berisi pakaian tidur yang diantarakan oleh beberapa orang suruhannya.
Gelora menyapu pandangannya ke segala arah. Hingga netranya terhenti di depan cermin, menatap pantulan dirinya di dalam sana, dan Pragma ikut menatapnya dari dalam cermin. Pandangan mereka saling beradu. Hingga tatapan mereka harus terputus ketika Pragma menoleh ke belakang sedang mengunci pintu.
"Saatnya kamu mengangganti bajumu Sayang, setelah itu kita...." Pragma melangkahkan kakinya mendekati Gelora, wanita itu tentunya mundur ke belakang. Mereka terus melakukan hal yang sama.
"Melakukan olahraga malam," lanjutnya menggoda Gelora.
DEG
Langkah Gelora terhenti dia terkurung di antara Pragma dan ujung ranjang.
"Ehhh," Gelora refleks berteriak saat Pragma mendorongnya hingga jatuh ke kasur, memanfaatkan kesempatan yang ada dia langsung menindih Gelora.
"Rama," ucap Gelora panik dengan suara tertahan di tenggerokannya.
"Hm," dehem Pragma menatap Gelora sayu. Jakun pria itu naik turun Gelora dapat melihatnya.
"Aku ingin kamu Sayang," bisik Pragma dengan suara seraknya. Kepalanya ia letakkan di ceruk leher wanitanya, menenggelamkannya di sana.
"Ya Tuhan aku harus apa, tolong bantu aku," mohon Gelora dalam hati dia tidak bisa menormalkan detak jantungnya. Saat tingkah Pragma makin menjadi-jadi, pria itu sungguh agresif malam ini. Tangannya tak tinggal diam, dia meremas pinggangnya dengan kasar.
"Aku mau kamu," ucap Pragma lagi menumpukan ke dua tangannya, di masing-masing sisi agar bisa menatap Gelora.
Sedangkan Gelora kini mengigit bibir bawahnya, netra hazelnya melirik ke sana kemari.
Karena kesal dengan tingkah Gelora yang hanya diam. Apa wanita itu tidak mengerti jika Pragma menginginkan itu.
SREKK
Dengan kasar Pragma merobek bagian dada dress yang dikenangkan wanitanya, menampakkan baju dalaman hitamnya. Mata Pragma semakin berkabut gairah melihatnya. Dia dapat melihat kulit mulus wanitanya.
Sebelum Pragma semakin keterlaluan, Gelora lebih dulu bangun dengan cepat. Melebarkan jarak dengan Pragma.
"Aku tidak ingin melakukannya," sahutnya tegas. Mencoba menutupi bagian dadanya, meski ia mengenangkan baju dalaman tapi tetap saja, Pragma dapat melihat buah dadanya.
Rahang Pragma kembali mengeras melihat penolakan wanitanya secara terang-terangan. Dengan kasar dia kembali mendorong Gelora hingga tertidur di kasur.
Netra hijaunya menatap Gelora marah dengan sekali sentakan dia membuka bajunya. Hingga menampakkan otot-otot lengan dan perutnya, Gelora membuang pandangannya ke samping, tak ingin menatap tubuh Pragma. Dia takut terjebak dalam permainan Pragma malam ini.
"Pragma maaf," ucapnya saat Pragma ingin membuka dressnya.
"Kenapa kamu menolak melakukannya denganku?" tanya Pragma agak serak, matanya berkaca-kaca menatap Gelora. Berbagai pikiran buruk masuk memporak porandakan hati dan pikirannya.
"Karena aku mengantuk," jawab Gelora tak ingin menyakiti hati pria itu.
"Sebelumnya, kamu tidak pernah menolak malakukannya Sayang." Pragma menghempaskan tubuhnya di samping Gelora, memandang langit-langit ruangan itu.
"Karena kita sudah tidak memiliki rasa yang sama, aku harap kamu mengerti Pragma, setelah sekian lama kamu datang dalam kehidupanku lagi. Padahal aku sudah mencoba melupakan selama dua tahun terakhir ini, dan akhirnya aku berhasil ...," Gelora menggantung ucapannya melirik Pragma sekilas dengan ekor matanya.
"Melupakanmu dan menemukan penggantimu," lanjutnya membuat napas Pragma semakin memburu tak beraturan.
Dia menoleh ke samping menatap Gelora yang juga yang menatapnya.
"Siapa pria itu?" tanyanya menahan sesak yang mendalam di dadanya. Hatinya sakit saat Gelora mengatakan hal seperti itu.
"Dia adalah suamiku dan sekarang aku sedang mengandung buah cinta kami, maaf Pragma aku harus pergi," jawab Gelora ingin bangkit dari posisinya.
Dahi Pragma semakin dipenuhi keringat, pria itu menggelengkan kepalanya keras, serta ia mencengkram selimut dengan erat.
"Tidak, kamu tidak boleh memiliki suami lain."
"Aku suamimu satu-satunya."
"Kamu tidak boleh mengandung anak pria lain, selain anakku."
Gelora semakin kalut melihat Pragma yang meracau tidak jelas di tempatnya. Mata pria itu masih terpejam erat.
"Kamu tidak boleh pergi Gelora," teriaknya dengan napas terengah-engah, seiring dengan matanya terbuka lebar.
"Rama," panggil Gelora tetapi tak dihiraukan oleh Pragma.
Pria itu kini menangis tanpa suara sambil menatap langit-langit kamar, dia mendengar suara Gelora tetapi tak ingin menoleh ke samping. Kapan ia menoleh suara itu akan hilang pikirnya, karena yang ia lihat tadi Gelora pergi meninggalkannya.
"Hei Rama," panggil Gelora khawatir saat pria itu tak kunjung berbicara.
Saat tadi ia mengganti bajunya di dalam toilet selama beberapa menit, ia sengaja mengulur waktu untuk keluar sampai Pragma tertidur. Dan tak lama kemudian pria itu tertidur, akhirnya ia bisa mengembuskan napas lega dan segera menyusul Pragma memasuki alam mimpinya.
Tetapi ia dikejutkan dengan Pragma yang meracau tidak jelas dalam tidurnya.
"Kamu masih di sini?" tanya Pragma linglung berhasil menarik Gelora dari lamunannya.
Tangan besar pria itu menyentuh pipi Gelora, mengelus pelan dan ini nyata, Gelora masih bersamanya.
"Tadi itu cuma mimpi," sahut Gelora berusaha menenangkan Pragma yang sudah bermandikan keringat.
Lantas saja Gelora setengah bangkit dari tempatnya, membuka baju Pragma setelah berhasil dia mengambil tisu di atas nakas dan mengelap badan pemuda itu.
"Memangnya kamu memimpikan apa, hingga menangis seperti itu?" tanya Gelora di sela-sela kegiatannya menepuk-nepuk punggung Pragma.
Pria itu semakin mengeratkan pelukannya pada Gelora.
"Mimpiku sangat mengerikan. Kamu memiliki suami dan sedang mengandung anaknya," adu Pragma semakin ketakutan saat membayangkannya kembali.
Tangan Gelora terhenti di udara saat ingin menepuk punggung Pragma lagi.
To Be Continue