Kamu sebuah misteri
"Emang enak ya?" Tanya Maya melihat Kendra masih sempat-sempatnya menyesap kopi rasa alpukat sebelum ia menstater motornya di parkiran depan mini market.
"Mau?" intonasi nada yang sedikit ragu – ragu, toh itu hanya basa basi, karena ia tahu tentu saja Maya tak akan mau berbagi bekas bibir dengannya.
"Mana coba?" Maya meraih kaleng yang tadi sempat pura - pura disodorkan oleh Kendra.
Kendra tentu saja di buatterkejut, dia sampai menoleh ke belakang karena tak percaya, dan melihat Maya tanpa rasa canggung dan jijik mulai mendekatkan kaleng minuman kebibirnya.
Maya menyesapnya sekali, merasakan dan mengecapnya sebentar di lidah, kemudian ia ulangi utnuk kedua kali, yang kali ini dia malah meneguk isinya yang tadi memang tinggal seperempat hingga benar - benar habis.
"Enak ... yah habis?" Ucapnya lucu, seolah meledek Kendra.
"Yah ... kok dihabisin sih?" Sungut Kendra pura - pura, karena selain isinya yang memang tinggal sedikit, ada perasaan senang di sana, Maya tak risih atau pun jijik dengan bekas bibirnya yang menempel pada kaleng, tentu berbanding terbalik dengan apa yang sering ia ucapkan, sedikit sedikit jorok. Apakah itu juga yang jadi pertimbangan atas pertanyaannya tadi, soal Kendra perokok atau bukan?
"Mau beli lagi?" Maya menawarkan dengan rasa bersalah
"Ngga usah lah, kan masih ada satu?" Kendra menolak
"Oke." jawab Maya pendek.
Dan motorpun melaju menyebrangi jalan, kemudian masuk kedalam gapura perumahan.
***
Beberapa pasang mata menyaksikan kedatangan keduanya, ketika motor yang mereka kendarai memasuki bangunan dua lantai yang berisi duabelas kamar.
Sore yang sejuk membuat sebagian penghuni duduk santai di depan teras kamarnya.
Sisanya, kemungkinan ada yang masih tidur atau acara keluar seperti Kendra dan Maya lakukan. Setelah motor terparkir mereka pun berpisah.
"Ajakannya masih berlaku ngga ya?" Seolah bertanya ke dirinya sendiri, sekaligus mengingatkan Kendra soal tawarannya yang bersedia mengantarkannya jalan - jalan wisata.
Maya berjalan pelan meninggalkan Kendra yang masih membereskan helm untuk ia bawa naik.
Kendra hanya tersenyum
"Nomor telpon sudah punya, tinggal WA orangnya kapan dan ke mana? " sahut Kendra yang paham akan apa dimaksud Maya.
Tanpa menoleh, Maya melanjutkan langkahnya, senyumnya pun ter kembang lebar.
***
Dan di sinilah mereka sekarang.
"Mirip di puncak pemandangan nya." kata Maya dari belakang.
"Iya kah? Aku belum pernah ke sana soalnya?" Kendra fokus kejalanan yang semakin tajam menanjak. Vegetasi disekitar adalah hutan pinus dengan jalan tanjakan naik yang lumayan ekstrem, dengan belokan yang kadang sangat menikung.
"Bedanya kalau di sana pemandangan nya hamparan kebun teh, disini pohon jeruk" kata Maya tertawa kecil.
Beruntung jalanan pagi itu agak sepi, kalau pun ada kendaraan, kebanyakan mobil - mobil pribadi atau pun rental itu juga laju nya cepat mendahului mereka.
"Masih jauh ya?" Tanya Maya.
"Kalo Penelokan-nya masih 10 menit-an. " jawab Kendra.
"Jalannya begini terus ?" sepertinya Maya merasa ngeri dengan kondisi jalan yang mereka lalui.
"Ngga, didepan sana tanjakan terakhir, emang itu yang paling ekstrem, habis ini baru sampe ke puncaknya."
"Gunung batur?"
"Bukan," Kendra tertawa.
"Ya kan aku ngga tau?" Pinggang Kendra pun jadi sasaran cubitan Maya.
"Aduh!" Kendra merintih menahan sakit. meski begitu senyumnya terhias puas di bibirnya
Benar saja setelah tanjakan dan belokan yang cukup terjal tadi, jalanan agak landai meski masih menanjak tapi tak terlalu curam.
Lima menit setelahnya terdapat persimpangan, di mana jika arah ke kiri adalah jalan menuju ke Singaraja yang jalannya masih naik lagi dan berkelok. Jika arah ke kanan, dengan kondisi jalanan menurun landai, mereka akan sampai ke Penelokan, dan jika terus lagi akan kembali ke Denpasar Via Tampak Siring, atau bisa juga ke Pura Besakih dengan mengambil jalur kiri di persimpangan.
Motor berbelok ke kanan menyusuri jalan yang menurun landai, pemandangan lembah yang luas sesekali terlihat di kiri dan kanan jalan, ketika tak ada bangunan yang menghalangi pandangan.
Jauh di dasar lembah sebelah kiri yang meng-hijau, terlihat gunung Batur berdiri dengan agungnya, bekas letusan karderanya menyebar menyelimuti sebagian kaki gunungnya, dengan warna abu-abu kehijauan diterpa sinar matahari dari timur yang saat itu baru menampakkan seperempat jalan dari titik terbitnya.
Surga bagi para penambang pasir tentunya.
Di kaki gunung sebelah kanan, hamparan air dari danau Batur yang luas dengan ujung sebelah timur adalah gugusan bukit di mana desa Trunyan berada, airnya berkilau bak hamparan kaca memantulkan sinar surya, gugusan bukit yang berjajar hingga ke utara gunung. Seperti sebuah benteng kokoh di mana di tengahnya berdiri gunung yang masih aktif.
Maya tak berhenti memalingkan wajahnya ke arah kiri, seperti takjub dengan pemandangan yang disuguhkan dan pertama kali ia saksikan. Mungkin pernah sekali atau dua kali ia melihatnya di internet. Tapi tak membayangkan kalau melihatnya langsung jauh lebih indah dari pada yang terlihat di laman browser internet.
Sementara di sebelah kanan adalah bangunan - bangunan rumah penduduk dan beberapa hamparan kebun sayur, yang terus melandai ke bawah hingga jauh di ujung cakrawala selatan sana, samar terlihat laut selatan pulau Bali berwarna abu kebiruan.
"Berhenti!... Berhenti! ... Berhenti!" Perintah Maya sekonyong-konyong, sepertinya dia sudah tak sabar untuk segera menikmati pemandangan itu.
"View nya lebih bagus di Penelokan lho ?" kata Kendra.
"Di sini aja dulu," Ucap Maya memaksa.
Kendra mengalah, ada benarnya juga karena momen langka seperti itu bisa berubah dengan cepat, dia menepikan motornya ke bahu jalan, di dekat pelataran sebuah bangunan yang belum jadi, bangunannya sedikit menjorok ketengah lembah dengan pilar - pilar pondasi penopang yang kokoh menancap jauh di bawahnya.
Maya benar - benar tak sabar, dia segera berjalan tergesa menuju ujung pelataran yang berupa pagar beton setinggi perut, dengan ponsel nya ia mulai mengabadikan momen itu.
Beruntungnya hari itu gunung Batur benar - benar sempurna menampakkan sosok cantik nya, karena biasanya ketika ia tak percaya diri untuk menampilkan kecantikannya, kabut tebal akan menyelimuti nya hingga ke puncak, menjadikan tempat mereka berdiri sekarang seolah berada di atas awan. Tapi memang harus di musim kemarau kalau ingin berkunjung ke sini, karena jika musim peng-hujan tiba, selain gerimis yang tiada henti mengguyur, pemandangan gunung akan selalu tertutup awan kabut.
"Bagus!" Maya tak henti-hentinya berswafoto, mengabadikan momen indah itu
Kendra hanya tersenyum, membiarkan Maya sendiri dengan kekaguman nya.
Awal pertama dulu Kendra ke sini mungkin perasaannya sama dengan apa yang dirasakan Maya saat ini, jika Maya dengan ekspresi nya Kendra lebih dengan hayalannya.
Dulu ketika dia ke tempat ini untuk pertama kali dan melihat pemandangan yang menakjubkan, Kendra mengkhayal andai pemandangan itu bisa ia nikmati bersama seorang cewek mungkin feel-nya sedikit beda, kala itu Kendra motor-an bareng Fajar, Niko dan Beni.
Dan khayalan itu kini menjadi nyata, meski cewek itu hanyalah sebagai teman, tapi feel-nya memang sedikit berbeda.
Mungkin akan lebih berbeda lagi andai yang di ajak nya adalah seorang kekasih.
Mungkin ... suatu saat nanti. Saat ia kembali kesini lagi, menikmati pemandangan ini lagi, ia bersama sang kekasih. Dan ia berharap itu Maya!
Ah khayalan yang terlalu tinggi, bertemu dan berkenalan saja baru beberapa bulan, jangankan meramalkan, mengkhayalkannya saja masih buram, Maya sulit di terka, keramahan, kesupelan dalam bergaul serta sikap pendiam nya yang kadang muncul membuat Kendra susah menerka perasaan hatinya.
Kendra tersenyum sendiri, berteman baru beberapa bulan harapannya sudah ia gantungkan tinggi - tinggi, andai meleset, jatuhnya pasti akan sangat sakit.
"Nge-lamun-in cewek nya ya? Senyum - senyum sendiri aja dari tadi." kata Maya , mengagetkan Kendra.
"Iya nge-lamun-in kamu!" Goda Kendra.
"Gombal!" Maya mencibir.
"Serius, dulu pertama kali ke sini kami bertiga, bareng teman se kantor temen se-tongkrongan juga, dan waktu itu aku mengkhayal, andai ke sini bareng cewek mungkin feelnya beda. Dan emang terasa beda saat ke sini lagi sama kamu, nah sekarang aku berkhayal, mungkin suatu saat bisa ke sini lagi bareng pacar mungkin feelnya akan lain lagi ... , " kata Kendra sambil tersenyum, ingin rasanya dia sebut nama Maya, tapi urung ia lakukan karena takut Maya tak berkenan
Maya hanya senyum, tapi diam tak menyahut, pandangannya ia alihkan ke tempat lain, seolah ada perasaan yang ingin dia sembunyikan.
"Sudah yuk jalan. " Benar saja, seperti tak mau membahas khayalan Kendra, Maya mengajak Kendra untuk melanjutkan perjalanan.
Ini yang dimaksud Kendra jalan pikiran Maya susah ditebak, terkadang dia duluan yang memancing obrolan untuk bisa tahu perasaan masing-masing, dan begitu umpan-nya di tangkap, dia langsung membuangnya dengan mengalihkan pembicaraan ke hal yang lainnya.
Maya adalah misteri di atas misteri yang penuh dengan misteri.