Chereads / GAME is OVER / Chapter 16 - Senam jantung

Chapter 16 - Senam jantung

Minggu 09:00

Sebuah motor matik melaju perlahan dijalanan menanjak jalur Kintamani via Ubud - Payangan.

Hawa sejuk khas daerah pegunungan segera menyergap menyentuh pori.

Dengan suguhan pemandangan kebun jeruk yang terhampar di kanan dan kiri jalan, hijau seolah menyegarkan mata, tak jarang ketika jalanan melewati tepi jurang, pemandangan deretan bukit nun jauh di sana semakin membuat suasana pagi merangkak siang itu semakin syahdu.

Ditambah lagi motor itu berjalan tak hanya membawa sang pengendara saja, ada makhluk cantik yang anggun turut serta dalam perjalanan itu, hingga keindahan alam yang di suguh kan menjadi sangatlah sempurna.

"Aku boleh coba ngga Ken!" Seru Maya tiba - tiba, jalanan yang sepi dan menanjak landai, sepertinya telah membuat Maya tergoda untuk mencoba memegang stang kemudi.

"Hah! memang kamu bisa naik motor May?" Tanya Kendra dengan sedikit khawatir, bukan apa - apa, trek ini bukan untuk pemula.

"Bisa, dulu pernah naik motor sekali, terus lama ngga pernah lagi, sini biar ku coba," Kalimat Maya tentu saja membuat darah Kendra berhenti mengalir, motor terlihat menepi, karena Maya terus saja merengek ingin mencoba.

Meski dengan perasaan was - was, Kendra akhirnya meluluskan permintaan Maya dengan menyerahkan kemudi motor matik-nya ke Maya. Ngeri - ngeri sedap rasanya, karena Kendra belum tahu pasti apakah Maya benar - benar mahir atau hanya sekedarnya saja bisa mengendarai motor.

Motor Kendra mulai berjalan kembali dengan pelan, dan kali ini Maya sebagai pengemudinya, jalannya sedikit zig - zag, karena Maya terlihat gugup, mungkin setelah sekian lama, baru kali ini dia kembali mencoba naik motor, di trek menanjak pula.

Kendra tampak pucat, dia sudah tak bisa mencegah keinginan Maya,

"M-May ... hati - hati, May pelan - pelan saja," Kendra tanpa sadar memegang pinggul Maya karena reflek, rasa takutnya mengalahkan semuanya.

Haduh mati aku, kalau sampai nyemplung kekiri, gumam Kendra resah, meski tak terlihat dalam, tapi tentu sakit kalau sampai jatuh kesana.

"Tenang! Jangan banyak gerak!" seru Maya.

Tenang gimana, motor saja jalannya zig - zag, kadang pelan kadang tersentak kencang, Kendra tak berhenti berteriak histeris, keputusan bodoh juga tadi kenapa kemudi dia pasrahkan ke Maya.

Perjalanan horor itu Kendra nikmati hampir lima belas menit lebih, hingga di sebuah jalanan yang semakin menanjak, dan menikung tajam, motornya berhenti. Kendra yang sedari tadi tak henti meracau doa keselamatan, akhirnya bernapas dengan lega.

Maya terlihat turun dari motor, meski begitu dia masih sempat terlihat tertawa, Kampret! rutuk Kendra, kalau sampai nyungsep ke parit atau kejurang, bisa benjol nih kepala, dan Maya malah terlihat senang.

"Lain kali saja ajari aku lagi, kamu berisik sekali , aku ngga bisa fokus," ujar Maya dengan enteng, dia tak tahu bahwa Kendra sudah habis darah merahnya, terlihat wajahnya kini berubah menjadi pucat pasi.

Keringat dingin di udara yang dingin, sepertinya tak bisa di bendung untuk keluar dari pori - pori kulit Kendra.

Kendra hanya mengelus dada, sambil menggelengkan kepala, menatap Maya dari kaca spion dengan gemas, gara - gara Maya jantungnya sedikit bersenam barusan.

***

"Selama di Bali Maya pernah main ke mana aja?"Tanya Kendra, suatu sore di sebuah warung dekat tempat kos mereka, seminggu kemarin.

Warung Jawa adalah warung langganan Kendra untuk menyembuhkan rasa laparnya, lokasinya di jalan arah ke pantai Petitenget.

Sudah sebulan lebih dua puluh hari, waktu berjalan sejak malam itu. Malam ketika mereka jalan berdua ke toko buku. Sejak itu pula Kendra kini terlihat lebih akrab dengan Maya.

Rasa canggung dan kikuk perlahan hilang meski tak sepenuhnya, tapi mereka sekarang terlihat lebih nyaman dalam berbincang, layaknya seorang teman.

"Pernah sekali diajakin ke pantai Sindu, terus ke Dreamland sekali, itu juga pas manajer ku yang dari Jakarta ngajakin jalan - jalan saat pertama kita tiba disini. " Terang Maya sambil masih menggigit pipet di ujung bibirnya, ia hanya memainkan pipet itu tanpa berusaha mengeluarkan cairan teh dingin yang terpenjara di dalamnya.

"Cik Linda ?" Tebak Kendra.

Maya terkejut, mengetahui Kendra mengenal siapa nama manajernya dan yang mengajak nya jalan-jalan waktu itu.

"Kok tahu?"

"Bagas yang ngasih tahu waktu pertama Maya datang kekosan." Kata Kendra, berdua saja mereka duduk di kursi yang terletak di beranda samping warung, yang kebetulan sore itu agak sedikit lengang, mungkin hanya ada enam orang termasuk Kendra dan Maya yang berkunjung.

Dahi Maya mengernyit tajam, mengingat-ingat awal dia datang kekosan empat bulan lalu.

Waktu itu dia diantar manajernya, Cik Linda, yang sengaja ikut mengantarkannya ke Bali untuk sekalian liburan.

"Ah iya aku ingat, ada cowok gondrong tampang ndeso, menatap ku dari atas, Gondes kalo di singkat ... , " Maya tersenyum sambil melihat Kendra, menunggu reaksinya.

"Masak tampang keren ala anggota geng jepang gini di panggil Gondes?" Kendra pura-pura merengut, dia tahu Maya sedang menggodanya, Maya tertawa.

"Gondes!" Lidahnya menjulur, Kendra hanya tersenyum.

"Terus kemana lagi?" Tanya Kendra mencoba mengalihkan candaan Maya.

"Belum pernah lagi? " Jawab Maya pendek kepalanya menggeleng.

"Yah rugi dong kerja di Bali tapi ngga pernah main ke tempat wisata." ejek Kendra.

"Ya kan niatnya ke sini emang kerja, bukan wisata ?" Kilah Maya.

"Bali, BAnyak LIbur, bukan banyak kerja," cibir Kendra.

Seolah ingin menegaskan, bahwa kerja di Bali itu untungnya banyak, di mana di luar sana orang harus rela mengeluarkan duit banyak untuk biaya akomodasi selama berwisata di Bali, dengan waktu yang tentu saja terbatas sesuai budget yang mereka punya.

Sedang mereka yang sudah bekerja di Bali selain bisa langsung berwisata, mereka juga mendapatkan gaji dari hasil kerjanya. Bekerja sekaligus berwisata.

"Kamu enak bisa ngomong gitu karena kendaraan sudah ada, tinggal gas kalau mau main ke mana, lah aku?"

"Tinggal ngomong aja sih maunya main ke mana?" Kendra melirik Maya dengan bibir seolah bersiul.

"Ngga mau ah nanti ada yang marah."

"Ya kalau ada yang marah sudah kemarin - kemarin kali Maya di labrak." Kendra tertawa lirih.

"Yee ... kan bukan aku yang sering minta air panas?" Maya menjulurkan lidahnya.

Mampus ! Ucapan Maya seolah menjabarkan 'aku tahu kamu modus '

Kendra tersenyum kecut, seperti tertampar oleh ucapan Maya

"Udah sore pulang yuk?" Ajak Maya, Kendra hanya mengangguk, dia seperti maling yang ketahuan maling, mati kutu!.

Padahal bisa saja Maya tadi hanya asal ucap.

Setelah membayar pesanan masing-masing, mereka segera keluar berjalan ke tempat parkir, Kendra terdiam tak ingin ada kata-kata yang semakin membuatnya jauh terungkap, tapi bukannya sudah kepalang tanggung, toh sekarang mereka sudah berteman, tak akan ada yang menyalahkan apakah itu hanya modus atau murni alasan untuk tujuan tertentu. Nyatanya kini mereka sudah akrab.

"Kok diam?" Maya sampai heran, tumben - tumbenan Kendra jadi pendiam.

Selama perjalanan menuju kos memang tak ada obrolan yang terjadi.

"Eh apa ? Terus harus ngomongin apa dong?" Kendra fokus ke jalan, ya memang tak ada yang ingin dan harus dibahas saat itu.

"Kendra marah?" Wajah Maya menampakkan penyesalan.

"Hah? Marah kenapa?"

"Maya ngga sopan ya nyebut Kendra sering minta air panas, tadi kan cuma bercanda, maaf ya?"

Nah kan, Kendra jadi merasa bersalah akibat dia berprasangka yang tidak - tidak, imbas nya mood nya jadi turun dan akhirnya jadi malas untuk bersuara.

"Ish apa sih, Kendra lagi fokus kejalan ini," kilah Kendra

"Bohong!"

"Ntar kalo ngobrol dan ngga fokus, terus jatuh, Maya lecet-lecet terus ngga cantik lagi, aku yang disalahin?" Goda Kendra

Auch!, Kendra segera merintih ketika pinggangnya di cubit Maya.

"Mampir mini market dulu ya, ada yang mau aku beli?"

"Oke."

Kendra menghentikan motornya di area parkir mini market nama bulan, kemudian masuk menyusul Maya yang telah duluan masuk.

Langsung menuju ke lemari pendingin tempat display minuman, mengambil satu kaleng kopi rasa alpukat, dan satu lagi rasa tiramisu yang keduanya adalah rasa favorit nya.

Kemudian berjalan menuju kasir untuk melakukan pembayaran, dan Maya rupanya sudah berada di depan kasir, terlihat hanya ada tissu dan kapas saja dihadapannya.

Kendra mengantri di belakangnya, meletakkan barang yang ingin ia beli di meja kasir bersebelahan dengan barang yang akan di beli Maya.

"Ada lagi kakak? Sekalian isi pulsa nya kakak? Kita ada promo beli satu gratis satu ... ." Maya hanya menggeleng menolak.

"Eh iya ini sekalian."

Dua kaleng kopi milik Kendra ia geser mendekat ke barang yang akan ia beli.

Reflek Kendra mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan lembar limapuluh ribuan ke Maya.

"Pake ini aja dulu," dia menunjukkan seratus ribuan miliknya.

"Ya udah ini bawa." Kendra sodorkan kembali limapuluh ribuan miliknya.

"Udah biarin." Maya menolak.

Kendra mengalah.

"Eh iya Kendra merokok?" Maya menoleh kebelakang.

Entah ingin menawarkan untuk membelikan nya atau hanya sebuah pertanyaan biasa.

"Kadang, tapi lebih sering engga."

"Bagus, karena aku ngga suka cowok perokok."

Sialan! Ternyata hanya sebuah pernyataan, Kendra tersenyum setidaknya kriteria tak merokok nya masuk klasifikasi.

Selesai penotalan, Maya menyerahkan lembar seratusannya ke kasir, sambil menunggu uang kembalian, Kendra mengambil satu kaleng kopi dengan rasa advocadonya, mengelap debu yang mungkin menempel di tutup atasnya dengan ujung dalam t-shirt.

"Ih jorok!" Ujar Maya saat melihat Kendra melakukan itu.

"Nih pake ini," sigap ia buka box tissunya, mengambil beberapa lembar isinya dan menyerahkan ke Kendra. Kendra hanya bengong dibuatnya, bukan kah sudah biasa ia melakukan itu tanpa pernah ada yang protes? Tapi tetap saja ia menurut, menerima dan mengganti me-lap tutup kaleng minumannya dengan tisu pemberian Maya.