Chaca yang terbangun dan menangis rewel, ternyata tak kunjung berhenti menangis walau sudah digantikan popoknya dan juga disusui oleh sang ibu. Bayi perempuan itupun baru mau mengakhiri aksi protesnya setelah sang Papa ikut campur untuk memberikan pelukan. Dan sepertinya, si kecil hanya mau tenang saat dia digendong oleh Indra.
Sang Mama yang nampaknya sudah banyak kehilangan energi akibat pijatan suami mudanya, pada akhirnya malah tertidur dikala ia berbaring untuk menunggui Indra yang sedang menina-bobokkan si kecil. Bahkan sewaktu si pemuda menyelimuti tubuh indahnya yang hanya berbalut daster, wanita itu tetap saja bergeming untuk tengelam dalam mimpi indah penuh warna.
Malam itu, tertuntaslah semua gundah yang telah sekian lama menggerogoti seluruh energi. Dan saat akhirnya semua tertumpah dalam puncak rasa yang seolah membetot seluruh sukma bersama segenap kegelisahan hati, sepertinya malam ini ia akan dapat tertidur dengan nyenyaknya.
Selelapnya Miranti yang kini terlihat semakin genit dan berusaha terus menggoda dirinya, Indra kembali merenungkan apa yang kini sedang ia risaukan. Tentu saja, semua pikirannya kini terfokus pada sebuah masalah pelik terkait wacana sang istri yang ingin mengajak ibundanya untuk tinggal bersama mereka.
***
Pada pagi keesokan harinya, Indra Perkasa benar-benar diperlakukan layaknya seorang raja. Bagaimana ia tidak akan mengganggap demikian? karena entah mengapa, acara sarapan pagi mereka telah saja tercipta dalam sebuah nuansa kehidupan sepasang pengantin baru.
"Nambah lagi, Mas? Enak, kan? Nasi goreng ini aku bikin sendiri, loh … bukan Bibik yang menyiapkan seperti biasa." Begitu ceria dan banyak bicara, pagi itu Miranti terus saja berkicau sambil melayani suaminya makan.
"Uh, cukup. Udah kenyang, kok … enak, emang enak nggak seperti biasanya." Secara jujur, Indra bicara apa adanya untuk mengakui jika nasi goreng buatan istrinya memang sangat istimewa lezatnya.
"Hi hi hi … pasti aja enak. Bumbunya juga beda, aku tambahin dengan rempah spesial agar semakin lezat dan nikmat," merasa senang dengan komentar suaminya, wanita itu langsung saja tertawa dengan sinar mata yang menyorotkan cahaya kemilau bahagia.
"Oh, emang bumbu spesial apa?" tak mau mengecewakan hati wanita yang nampak begitu memuja dirinya, Indra langsung saja mempertanyakan bumbu istimewa nasi goreng pagi itu.
"Hi hi hi … rempah-rempah cinta, itulah tambahan bumbunya. Lalu, semua aku masak dengan ketulusan kasih serta penyerahan bagi sebuah persembahan. Karena itulah, semua pasti akan terasa nikmat."
Mendengar jawaban sang istri yang sedemikian terang-terangan menyatakan perasaannya, mendadak saja Indra jadi kesulitan untuk menelan. Tak hanya itu saja, karena kunyahannya yang tadinya terasa nikmat, belakangan malah jadi seperti keras dan agak alot.
Hingga tiba-tiba,
"Uhuh huk huk … uh, maaf … huk huk …" terbatuklah si pemuda saking ia terkejut dengan apa yang ia dengar dan rasakan dari ucapan sang istri.
"Eh, hati-hati, Mas … nih, minum dulu. Ayo, nggak boleh bicara dulu kalau lagi makan. Uh, sayaangg … keselek, ya?" dengan sigap, sang istri langsung menyodorkan segelas air putih agar suaminya terbebas dari kesulitan menelan.
---
Setelah batuk-batuk mendadak Indra berhenti, mereka melanjutkan sarapan dalam hening. Hanya sesekali, Miranti nampak melirik ke arah wajah suaminya yang terus saja menunduk. Lalu disaat kedua pasang mata tanpa sengaja bersipandang, seulas senyum manispun langsung saja dilemparkan oleh Miranti.
Hingga selesai acara makan pagi yang sarat dengan aura mesra, keduanya tak membicarakan apapun lagi yang cukup penting. Hanya saja ketika sang suami berpamitan untuk segera ke kantor, sang istri langsung saja meraih tangan Indra dan menciumnya dengan begitu takzim.
Meski ingin menghindari perlakuan yang tak seperti biasa itu, namun sepertinya semua sudah terlambat. Karena wajah ayu yang memancarkan cinta tulus dari sorot matanya, tentu saja telah menjadikan Indra terlalu berat untuk menolak penghormatan tersebut.
"Hati-hati, Mas … selamat bekerja, semoga selalu dilancarkan dan dimudahkan urusannya."
"Iya, amin … makasih, Mbak. Aku berangkat."
"Berangkatlah … tapi nggak boleh nakal lirak-lirik gadis lain. Terus, pulangnya juga nggak boleh malam-malam. Di rumah, aku dan Chaca akan selalu menunggu sambil merindukanmu. Malam nanti, aku juga udah nggak pengin tidur sendiri lagi," demikian ucap sang wanita sembari sedikit mengerling pada suaminya.
Bak seorang gadis yang tengah kasmaran berat, Miranti tanpa malu mengucapkan kata-kata yang sedemikian mesra penuh cinta. Sementara si lelaki, dengan canggung terus saja membuang pandang disaat menemukan kerlip binar mata yang seakan menagih sesuatu pada malam nanti.
"Eh, uh … ya udah, aku berangkat."
"Iya, Mas … jangan lupa telpon ibu."
"Ibu? Ada apakah?"
"Loh … kita kan udah sepakat mau mengajak ibu tinggal disini."
"Eh, anu … kan kita belum bicara tuntas." Merasa sedikit keberatan, si pemuda mengajukan sebuah komplain.
"Ohh … lupa dengan pembicaraan panjang kita tadi malam?" langsung saja, Miranti memperdengarkan ancaman khas seperti layaknya sedang melakukan negosiasi dengan seorang mitra yang rewel.
Mendengar nada bicara yang mengingatkan pada ancaman si wanita malam tadi, akhirnya Indra pun jadi tak berkutik lagi.
"Iya, nanti aku coba telepon ibu."
"Awas kalau malah membujuk ibu supaya nggak mau diajak kesini. Jadi anak durhaka kita nanti," merasa belum cukup melempar ancaman, Miranti langsung saja menebar sebuah ketakutan akan rasa bersalah.
"Iya, aku akan ngajak ibu."
"Nah, gitu … jangan sampai kamu menyesal kalau ibu kenapa-kenapa tanpa kamu ada di sisinya. Kamu anak laki-laki sulung, loh …" merasa harus semakin membuat suaminya agar merasa berdosa, wanita itupun kembali menambahkan kata yang cukup seram terkait tanmggungjawab si anak sulung.
"Iya, uh … aku berangkat." Tak mau terus saja tertekan, pemuda itupun terus saja berniat untuk secepatnya pergi.
"Hmm … hati-hati, mas. Eh, sun dulu …"
***
Tanpa bisa lepas dari pandang mesra sang istri, mobil mewah keluaran terbaru itu meluncur untuk meninggalkan sebuah rumah besar yang terletak pada sebuah komplek permukiman elite di daerah kota Jogjakarta. Dibalik kemudi, tampaklah seorang lelaki muda tampan yang tengah fokus untuk waspada mengoperasikan kendaraannya.
Indra Perkasa yang empat tahun lalu hanya mengendarai sebuah sepeda jengki saat pertama kali menginjak kota itu, kini terlihat sedemikian sukses dalam penampilan serta kehidupan mapannya sebagai seorang direktur pengganti dalam perusahaan sang istri. Mobil pun terus melaju, lalu bergerak dengan semakin lambat saat mulai berbaur dalam padatnya lalu-lalang kendaraan pada pagi itu.
Setelah sebentar menyusur jalur Ring Road utara Jogjakarta, Indra perkasa membelokkan kendaraan untuk memasuki gerbang halaman bangunan megah yang merupakan kantor pusat operasional PT. KARYA MEGAH GEMILANG milik Miranti.
Dengan lahan luas di samping serta belakangnya yang merupakan garasi kendaraan serta peralatan berat, lingkungan kantor tersebut benar-benar menunjukkan kesuksesan perusahaan yang sudah beroperasi semenjak puluhan tahun lampau.
Menurut kronologi sejarah, perusahaan tersebut adalah milik suami pertama Miranti. Dimana kala itu, wanita tersebut baru berusia delapan belas tahun saat dipersunting oleh seorang lelaki paruh baya pemilik perusahaan. Hingga setelah sang suami meninggal, Miranti meneruskan perusahaan tersebut sebagai seorang pewaris yang sah secara hukum.
Dalam perusahaan tersebut pula, selama beberapa tahun Indra Perkasa telah menjadi seorang karyawan yang bekerja sambil kuliah. Lalu dalam jalan cerita sekarang, mendadak saja ia sudah menjadi direktur utama untuk sementara menggantikan istrinya yang sedang cuti melahirkan.
---
"Selamat pagi, Pak Indra …" seorang tamu nampak sudah menunggu dalam ruangan Indra.
"Selamat pagi, Mas Gara. Cukup panggil dengan Indra saja …" demikian, si pemuda lagi-lagi mengingatkan lelaki tersebut yang kembali memanggilnya dengan sebutan kehormatan.
"Ha ha ha … kamu ini, Ndra. Tetap saja tak berubah."
"Mau berubah jadi apa juga, Mas? He he … kita kan sama-sama tahu kalau semua ini hanya semu belaka," jawab Indra yang terus saja mengajak lelaki berperawakan tinggi besar itu untuk duduk di kursi tamu ruang kantornya.
"Ngopi ya, Mas …"
"Kamu mau ditemani ngopi?"
"Iya …"
"Memangnya di rumah belum ngopi?"
"Sudah, kok … sarapan juga."
"Ah, iya … bagaimana kabar Bu Mira dan Chaca?"
"Baik, Mas … biasa, bayi kan suka rewel bangun tengah malam gitu."
"Kamu yang gantikan popok?" sedikit heran, laki-laki itu bertanya.
"Eh, iya … ya bareng-bareng sama Mbak Mira …" demikian jawab Indra dengan sedikit gugup.
"Wah, jadi tambah mesra saja …"
"Ah, Mas Gara ini …" sambil sedikit tersipu, Indra hanya menukas kata tanpa mau melanjutkan bicaranya lagi.
Pria yang dipanggil dengan sebutan Mas Gara itu memiliki nama lengkap Cok Sagara. Ia adalah adik kandung dari Joko Samudro, dimana nama yang disebut terakhir adalah seseorang yang telah saja menjadi sosok pahlawan dalam hidup Indra Perkasa di perantauan.
Dari lelaki paruh baya purnawirawan militer yang mengabdikan diri menjadi komandan sekuriti kampus itu, Indra pun berkenalan dengan Cok Sagara yang merupakan karyawan kepercayaan Miranti. Sehingga meskipun saat ini Indra sudah menjadi layaknya owner perusahaan, tidaklah ia akan mungkin merubah pribadinya untuk menjadi berbeda di hadapan seorang sahabat. Karena setelah cukup mengenal keluarga besar Joko Samudra, Indra Perkasa pun telah saja merasa menjadi bagian dari keluarga itu.
***