"Vanessa? Nama yang cantik, seperti yang punya," jawab Cok Sagara sambil menerima uluran tangan si gadis cantik.
Namun belum juga lelaki tersebut mengeluarkan kata untuk menyambung obrolan, gadis tersebut sudah saja melepaskan genggaman tangannya untuk mengalihkan perhatiannya pada Indra.
"Ndra … ih, kebangeten kamu ini …" lagi, Vanessa mengeluarkan protes yang sedari tadi belum juga ditangani dengan baik oleh si pemuda.
"Ya maaf, aku kan juga sibuk. He he …" kembali salah tingkah, si pemuda langsung manjawab sambil cengengesan. Karena, sesungguhnya ia tidak menyangka jika gadis itu benar-benar begitu sangat ingin berteman dengan dirinya.
"Sibuk ngapain?" si gadis langsung saja mengejar dengan pertanyaan lain.
"Ya ini … bantu Pak Joko betulin dinamo starter," si pemuda pun akhirnya bisa menjelaskan alasan mengapa ia lupa menghidupkan ponsel.
"Kamu nih, ya … katanya janji mau komunikasi sama aku, malah ditinggal ngebengkel gitu. Emang sampai malam juga terus-terusan begadang ngotak-ngatik mobil?" tak puas dengan jawaban yang dirasa mengada-ada, terus saja si gadis menuntut pertanggungjawaban Indra.
Jauh di dalam hatinya, kembali Indra sendiri jadi bertambah heran. Karena gadis yang bahkan baru ia kenal sekali dalam pendaftaran ulang itu, kenapa juga sampai ngotot ngejar-ngejar hanya karena ingin berteman dengan dirinya. Sementara, bahkan status serta keadaan mereka pun sangat berbeda walau sama-sama menjadi mahasiswa di fakultas tehnik.
"He he … kalau malam kan aku harus istirahat …" akhirnya, si pemuda pun menjawab dengan enak saja. Karena di depan Cok Sagara yang baru saja akrab dengannya, ia juga tak mau menunjukkan jika Vanessa adalah sesorang yang memiliki hubungan khusus.
"Eh, Ndra … tamunya diajak masuk aja, yuk … mosok mau ngobrol di halaman gini …" merasa ada sesuatu yang kurang 'beres', si lelaki yang lebih dewasa langsung saja memberikan sebuah solusi bagi Indra untuk sekedar hanya menghindar sementara.
"Eh, iya …" mendadak Indra teringat jika ia belum mempersilakan tamunya untuk menempatkan diri dengan baik. Namun pada waktu yang bersamaan, terdengar Vanessa menolak dengan halus.
"Oh, terima kasih … nggak usah, Om. Disini saja cukup …"
---
Belum juga mereka bertiga menyambung pembicaraan yang kembali terkunci, mendadak saja terdengar suara sebuah sepeda motor. Lalu saat ketiganya menoleh, dengan serta merta mata mereka tertumbuk pada sosok pria paruh baya yang tengah menebar senyum lebarnya.
"Hallooo … selamat siang. Wah wah, pada ngumpul disini. Ha ha ha … aku bilang apa, kalian pasti pacaran. Kalau ndak pacaran, mosok Vanessa ada disini?" demikian Joko Samudro langsung saja menyapa untuk memperkeruh suasana.
"Oh, pacaraann?" tanpa sadar, Cok Sagara langsung saja melempar kata.
"Eh, enggak Mas …" dengat cepat, Indra pun menukas kata itu.
"Selamat siang, Om …" Vanessa terdengar menjawab, dan ternyata hanya ia seorang saja yang membalas sapaan pria paruh baya tersebut. Hal itu pun memang sengaja ia lakukan agar mengakhiri pembicaraan antara Cok Sagara dan Indra yang sedang memperdebatkan isu tak benar dari Joko Samudro.
"He he … selamat siang. Wah wah … aku ini langsung saja cepet kemari saat adikku ngabarin kalau mobilnya sudah jadi. Eh, udah kenalan dengan adikku, to? Vanessa tahu ndak? Indra ini hebat, loh … dia nggak bohong soal bisa memperbaiki gerobak antikku itu. Adikku tadi udah nyoba, dan semuanya jadi joss gandos seperti baru lagi … ha ha ha …"
Tak mampu menyembunyikan kegembiraan jika mobilnya sudah bisa diperbaiki dengan sempurna, komandan sekuriti itu langsung saja membanggakan Indra yang ia nilai telah bekerja dengan baik.
"Halah … jangan percaya, Nes. Mosok mobil kayak gitu dibilang seperti baru," terbawa perasaan akibat dicecar kesana-kemari, langsung saja ucapan spontan keluar dari bibir Indra dengan entengnya. Dan demi menepis semua perasaaan kesal si gadis, ia pun mencoba untuk mengajaknya bersekutu.
"We lha, ngece tenan kowe … tapi mantap, kok. Gara udah bilang saat telpon tadi kalau mobilku udah tokcer, juga nggak ada bunyi kriyet-kriyet lagi … berarti benar seperti baru, to?" tak mau direndahkan, Joko Samudro langsung saja mempertahan kan pendapatnya.
"Lha ndak mungkin. Lha wong catnya saja banyak bekas korengan gitu …" tak tanggung-tanggung, Indra terus saja berusaha mengecilkan arti diri maupun kendaraan Joko Samudro. Hal itupun dilakukan agar perhatian Vanessa teralih dari masalah komunikasi yang tak sejalan.
"Ha ha ha … berarti kalau catnya diganti baru, nanti mobilnya jadi baru, le?"
"Yo ndak gitu … joknya saja udah pada mbradul, belum lagi plafonnya. Lha mbok jangan menghayal ketinggian, Pak …" seenak udel sendiri, Indra pun semakin gencar mengerjai sang komandan keamanan kampus.
"Oke oke … maksud kamu mau nantangin biar aku ngecat mobil dan permak jok, gitu?"
"Lha yo kalau mau jadi seperti baru …" dengan lebih enteng, Indra kembali menyahut.
"Emang kamu bisa ngecat?" tanya lagi si lelaki paruh baya.
"Lha wani piro?"
"We lha … malah nantang … bisa tenan, po?"
"Lha kalo ada alatnya …"
"Apa aja?"
"Sprayer, alat las, kompressor, gerinda tangan … yo modal beli dempul sama cat juga."
"Emang kamu bisa ngecat mobil beneran?"
"Yo tergantung …"
"Tergantung apa?"
"Ada yang bantu opo endak? Soalnya kan harus mreteIi semuanya, ngelas yang keropos, ngamplas, ndempul, nyemprot …"
---
Belum juga Indra menyelesaikan daftar pekerjaannya, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara yang menyahut,
"Aku bisa bantu …"
Serentak, tiga kepala laki-laki langsung saja menoleh pada sumber suara yang ternyata adalah Venessa adanya.
"Eh, kamu?" serempak, dua suara menjawab dengan tanya, namun justru Indra malah diam sambil menatap si gadis dengan bibir yang sedikit melongo.
"Emang kanapa kalau aku mau bantu? Nggak boleh?"
"Lah, kamu kan perempuan?" kali ini, Joko Samudro langsung saja mengungkapkan keheranannya.
"Emang kenapa? Dianggap nggak bisa? emangnya Pak Joko lupa kalau aku kuliah di fakultas tehnik?"
"Terus, apa hubungannya?"
"Kalau aku nggak bisa mengerjakan yang kayak gitu, pastinya akan milih sekolah sekretaris biar bisa dandan cantik, pakai gincu, jalan lenggak-lenggok …"
"Stop, udah udah … oke, kamu serius?" tak mau memperpanjang kekisruhan dengan menambahkan seorang lai yang asal bicara, langsung saja Joko Samudro menghentikan omongan si gadis.
Seseorang di tempat itu yang masih heran dan kaget dengan kejadian itu, adalah Cok Sagara. Karena dengan sendirinya, hanya laki-laki itulah yang belum mengetahui sejarah perkenalan pertama dari ketiga orang yang ada di depannya.
---
"Jadi bagaimana?" tanya Joko Santoso setelah mereka berempat bisa duduk dengan tenang di teras markas besar keamanan kampus tersebut.
"Ya udah, ayo kita kerjakan. Mumpung masih belum mulai kuliah juga, to?" dengan tegas, Indra langsung saja menyahut.
"Iya, betul … bete juga kalau nganggur gini. Kuliah belum mulai, nggak punya teman juga … eh, punya satu teman aja susah banget dihubungin!" sedikit nge-gas, satu-satunya perempuan disitu langsung saja curhat dengan terang-terangan.
"Hmmm … kalau begitu, beri aku daftar alat yang dibutuhkan. Nanti biar aku pinjam dari kantor," sahut Cok Sagara dengan gercep.
"Biayanya berapa, Le? Enak aja ngomong ngecat, jok, plafon baru tanpa ngomong biaya … ha ha ha … aku ini yo cuma pensiunan yang nyambi buruh. We lha … malah jadi ditodong buat renovasi mobil." Mendadak, Joko Samudro langsung saja teringat pada isi dompetnya.
"Lha katanya mau mobil baru? He he … cukup beli ampas, dempul sama cat saja, Pak … spon dan pelapis jok kulit imitasi biat plafon juga. Dua juta udah cukup," dengan kalem, Indra langsung saja mengkalkulasi.
"Weh, banyak itu …"
"Tenang, Mas … nanti aku yang bantu," kembali Cok Sagara menyahut.
"Beneran? Yo makasih kalo gitu. Tapi awas kalau ternyata Indra ndak bisa ngecat dengan bagus."
"Tenang aja, Pak … aku udah ahli …"
"Walah, gayamu …"
***