Chereads / Renjana Di Penghujung Cakrawala / Chapter 28 - BAB 28 – Gadis Tomboy dan Bengal

Chapter 28 - BAB 28 – Gadis Tomboy dan Bengal

Sejak saat itulah, hubungan kedua muda-mudi tersebut bisa terjalin dengan akrab dan mengalir begitu saja. Indra Perkasa yang pada dasarnya memiliki sikap sedikit pendiam, ternyata jadi menemukan sebuah warna lain dalam dunia mudanya. Karena Vanessa yang baginya merupakan sosok 'the have' dan jauh berbeda dari kondisi hidupnya, dalam kesehariannya justru terlihat begitu 'merakyat' serta apa adanya. Sehingga, hal itupun telah saja menghadirkan sebuah perasaan yang nyaman dalam hati si pemuda.

"Hi hi hi … kamu hebat, Ndra … pantesan saja dapat beasiswa penuh di fakultas tekhnik mesin." Demikian komentar si gadis di sela kegiatan santai mereka dalam merenovasi mobil Joko Samudro. Tentu saja jadi santai, karena hujan yang turun telah saja membuat mereka menepi ke teritis bangunan sembari mengerjakan hal-hal kecil yang tak memakan ruang.

"Ah, nggak gitu …" si pemuda menjawab merendah dalam malu hatinya.

"Loh, nggak gitu gimana? Buktinya, kamu terlihat ahli dan menguasai banget pekerjaan seperti ini." tak mau dipatahkan pendapatnya, Vanessa tetap saja bersikukuh.

"Itu kan karena kebiasaan saja. Sejak masuk SMA, kebetulan aku kerja bantu-bantu bengkel mobil. Karena itulah aku jadi tahu bagaimana cara bongkar pasang, ngulik mesin dan juga main dempul serta cat kayak gini." Demikian kilah si pemuda dengan tetap saja merendahkan diri.

"Justru disitulah letak bukti bakat dan kemampuan kamu. Hanya membantu selama sekian tahun, tapi kamu udah terlihat begitu ahli dan sangat paham bagaimana membuat sebuah kendaraan menjadi seperti baru lagi …" tanpa basa-basi, Vanessa langsung saja menjawab dengan telak.

Mendengar pujian setinggi langit yang seperti itu, akhirnya Indra pun hanya bisa terdiam sambil berpura asyik untuk melakukan pekerjaannya. Namun seperti tak mau kalah, beberapa saat kemudian ia pun balas mengatakan hal yang hampir sama pada si gadis sahabat barunya.

"Aku juga kagum sama kamu …" demikian ujar Indra mengawali.

"Kagum kenapa?"

"Ya kagum aja. Bayangkan, cewek secantik kamu malah dengan santainya bersedia bantuin berkotor-kotor begini kena dempul, oli dan debu cat yang sepertinya nggak cocok dengan pekerjaan seorang gadis cantik seperti kamu." Lanjut kembali si pemuda setelah mendapatkan perhatian dari gadis tersebut.

Tapi bukannya menanggapi tentang kekotoran debu cat serta dempul dan oli yang memang menodai pakaian serta kulitnya, gadis itu justru balik bertanya dengan mengatakan suatu hal yang tak terduga,

"Eh, apa katamu tadi? Aku cantik?" demikian tanya si gadis dengan sok lugu dan tanpa dosa.

Seolah tak ingin membuat si gadis kecewa dan juga bermaksud memberikan sebuah apresiasi terhadap jasa-jasanya, langsung saja Indra menyahut untuk menambah kata pujian.

"Iya, kamu ini cantik. Dan bukan hanya itu saja … kulit kami juga lembut, wangi, halus …" tanpa disadari sedikitpun, si pemuda yang selalu saja canggung dihadapan lawan jenisnya itu langsung saja menjawab dengan jujur.

Dan tentu saja, si gadis memanfaatkan momen tersebut untuk mendapatkan pujian yang lebih banyak lagi. Karena dengan begitu gercep dan tanpa mau melewatkannya, Vanessa langsung saja mengejar dengan pertanyaan lanjutan,

"Eh, emang kulitku halus dan wangi? Apa iya, sih? Emang kamu pernah menyentuh dan membaui kulitku?" jelaslah kini, si gadis adalah seorang mahluk pemangsa yang memiliki keberanian beberapa level diatas si pemuda. Karena tanpa malu-malu lagi, perkataannya telah langsung saja mengarah pada sebuah kedekatan fisik yang terkesan memberi pancingan serta peluang.

Seketika itu jugalah, si pemuda pelonco pun jadi tersadar jika ia telah saja menurut untuk memasuki jebakan kata-kata sang gadis. Walaupun belum lama dekat, namun Indra sudah sedikit banyak mengetahui bagaimana keras dan teguhnya kemauan si gadis dalam mendapatkan sesuatu.

"Eh, maksudku … kamu ini memang cantik. Dan maaf, aku nggak bermaksud apapun saat mengatakan keharuman dan kehalusan kulitmu … uh, semuanya hanya karena pikiranku saja." dengan cepat, si pemuda langsung saja mertalat ucapannya.

"Hik hik hik … kamu ini aneh. Belum juga pernah menyentuh dan membaui tubuhku, kok bisa mengatakan halus dan harum?" tak juga mau melepaskan mangsanya, Vanessa tetap saja memberikan sebuah tekanan pada si pemuda.

"Uh, hanya kira-kira saja, kok …"

"Nggak bisa gitu … Kamu jahat, tau nggak?" langsung saja si gadis menukas.

"Loh, kok aku jahat?"

"Iya, jahat ... karena dengan sengaja kamu sudah berusaha mengucapkan fitnah."

"Lah, kok fitnah? Bagian mana? Kamu kan emang cantik …" mendadak tak berdaya, si pemuda langsung saja mengucap argumentasi dalam pembelaan lemahnya.

"Makasih kalau kamu mengatakan aku cantik. Tapi kalau itu sih udah tahu, dan aku juga suka kalau dikatain cantik sama kamu. Hmmm … tapi …" sampai disitu, si gadis kembali menggantung kata untuk menebarkan sedikit aura ancaman dalam kalimatnya.

Lalu mendadak saja, bulu roma Indra Perkasa pun jadi merinding saat sekilas menatap lirikan maut yang kini tengah dipancarkan dari mata Vanessa.

---

Saat itu gerimis malah terasa semakin deras, sehingga pekerjaan mereka pun harus terhenti karena tempat yang kurang memadai bagi pengerjaan perbaikan kendaraan yang hanya bernaung dibawah selembar atap terpal di belakang bangunan markas sekuriti.

Kedua muda -mudi itu memang telah saja duduk semakin menepi di sudut teritis bangunan, sementara sore telah saja semakin gelap dengan dihiasi rintik air yang mendinginkan sekujur pori.

"Ya maaf kalau aku udah bicara lancang. Ta-tapi aku nggak bermaksud menjelekkan kamu, apalagi memulai sebuah fitnah. Ah, kamu ini suka nanggapi aneh kalau aku ngomong." Demikianlah akhirnya Indra membela diri.

"Nggak bisa! ingat-ingat, tadi kamu ngomong apa?" berubah menjadi galak, si gadis pun terus saja memaksa Indra untuk mengakui kesalahannya.

"Eh, aku ngomong kalau kamu cantik …" sama sekali tanpa rasa percaya diri, Indra menjawab dengan takut-takut.

"Oke, kalau itu bisa aku terima. Karena matamu juga bisa menilai bagaimana ujud wajahku. Tapi dua yang lainnya? Coba sebut lagi kamu ngomong apa?" masih saja penuh dengan kegalakan, si gadis pun memaksa Indra untuk menjawab dengan tanpa rasa belas kasih.

"Oh, yang mana?"

"Hah, yang mana? Yang kamu tadi bilang, Ndraaaa … kamu lupa apa pura-pura lupa?" meningkat naik satu level, tekanan darah si gadis langsung saja dilampiaskan dalam sebuah jerit tertahan yang terdengar sangat gemas.

"Eh, uh … oh, tentang ku-kulit?" semakin ragu dan tak percaya diri, pemuda itupun terpaksa menjawab dalam tekanan.

"Nah, itu ingat … kamu ngomong apa tentang kulitku?" sekali lagi, sang tuan putri langsung saja bertanya dengan penuh ancaman.

"Oh, ha-halus dan harum … hanya itu …" lamah lunglai dan tak berdaya, si bocah lelaki pun mengakui kelepasan bicaranya tadi yang akhirnya membuat Vanessa jadi emosi.

"Nah!!! Itu kamu sadar. Sekarang aku mau tanya … itu fitnah apa bukan?" tanpa mau mengasihani sedikit pun, langsung saja Vanessa mencecar kembali dengan pertanyaan.

"Eh, bukan. Uh, kulit kamu memang begitu … dimana salahku? Dimana fitnahnya?" entah bagaimana, jawaban Indra benar-benar mencerminkan suatu kelemahan. Karena disadari atau tidak, bahkan dari semenjak awal perkenalan pun ia belum pernah bisa memanangkan perdebatan dengan gadis bandel tersebut.

"Lah, kok malah nanya dimana fitnahnya? Apa kamu belum tahu penjabaran fitnah?"

"Ness … kok sampai merembet kemana-mana?" kembali, si pemuda mempertanyakan hal itu dengan perasaan yang bercampur aduk.

Namun sepertinya si gadis sudah tak mau perduli, karena dalam kemarahannya ia langsung saja menjabarkan teori yang dimaksud secara bersemangat,

"Yang namanya fitnah itu, adalah memberikan sebuah stigma pada seseorang," demikian ia mengawali pidatonya dengan mengkorupsi sebuah fakta penting.

Karena dimaksud dengan fitnah, tentu saja terkait pemberian sebuah stigma dengan fakta palsu untuk pemberian anggapan negatif pada seseorang. Sementara bagi Indra, justru ia malah bermaksud memberikan pujian saat mengatakan hal tersebut pada Vanessa.

Namun agaknya situasi memang telah saja menjadi kompleks, atau bisa jadi memang sengaja dibuat kompleks dengan sebuah urgensi yang dilebih-lebihkan. Sementara tendensi serta tujuan utama dibaliknya, hanya Vanessa dan Tuhan sajalah yang tahu tentang itu.

Merasa harus menyelamatkan reputasinya sebagai seorang pemuda baik-baik dan jujur, Indra pun kembali menyanggah.

"Ness, maafkan jika aku memang salah. Tapi perlu kau ketahui, apa yang kuucapkan itu bukanlah suatu hal yang mengada-ada dan dimaksudkan untuk melecehkan dirimu," dengan lebih tenang dan hati-hati, pemuda itupun mencoba kembali untuk mengajak bicara gadis yang sedang berada dalam kemarahannya itu.

"Memberikan maaf itu gampang, Ndra. Tapi, aku hanya nggak suka saat ada seseorang yang ngomong tanpa bukti. Dan jujur aja aku kecewa, karena justru kamu yang sudah kuanggap sebagai sahabat malah melakukan itu."

"Ah, aku nggak menyangka kalau masalah ini jadi berkembang jauh begini. Aku udah minta maaf, tapi sepertinya kamu tetap saja nggak terima. Terus, aku harus melakukan apa agar kamu bisa memaafkan?" menyerah kalah, si pemuda pun memasrahkan nasibnya pada gadis yang baru ia kenal selama dua minggu saja.

Mendengar kata-kata yang diucapkan secara memprihatinkan dan nada penuh permintaan belas kasih itu, sepertinya hati Vanessa jadi sedikut melembut. Karena setelah terdiam beberapa saat, gadis itupun kembali berucap dengan suara yang terdengar lebih lunak.

"Aku nggak menuntut apapun, asal apa yang kamu omongkan itu punya dasar." Vanessa pun berujar seperti sedang menyesali kejadian tersebut.

Saat merasa jika si gadis sudah mulai melembut, dengan seketika Indra terseret untuk menjadi semakin merasa bersalah. Sementara, ia bahkan tidak tahu jika sikap yang seperti itu malah akan memasukkan dirinya ke dalam sebuah lubang jebakan yang lebih dalam lagi.

"Oh, omonganku harus ada dasarnya, ya?" demikian si pemuda mencoba berbaik-baik dengan menuruti nalar si gadis.

"Iya, apalagi kamu ini termasuk dalam golongan cendikiawan muda."

"Ah, maafkan kelancanganku …"

"Memberi maaf itu gampang, Ndra …"

"Iya, aku tahu … kamu ini baik. Terus, bagaimana aku harus memperbaikinya?"

"Ya tentu saja dengan mencoba mencari fakta sebagai dasar dari topik pembicaraanmu tadi." Kembali ngegas dengan gemas, si gadis pun mulai nampak kembali menaikkan tensi.

"Caranya?" entah lugu atau bodoh, Indra malah bertanya.

"Ya buktikan kalau perkataanmu itu benar."

"Perkataan apa?"

"Ihhhh … kamu ini gimana, sih? Ya tentang kamu yang ngomongin halus dan harumnya kulitku!"

"Ohh …"

"Kok hanya ngomong Oh? Emang kamu sudah punya buktinya?"

"Eh, belum …"

"Ya udah …" kembali ngegas, si gadis pun memberikan jawaban pendek yang terdengar menuntut.

"Ya udah apa?"

"Maksudku … kamu harus bisa buktiin itu, Ndraaaa … kalau emang bener halus dan wangi, berarti itu jatuhnya bukan fitnah …" aneh bin ajaib, karena kata-kata yang disampaikan secara sedikit jutek itu telah saja membuat wajah Vanessa jadi memerah dengan tanpa disadari oleh dirinya sendiri.

"Oh, terus aku harus raba dan cium kulit kamu?" sangat bodoh, si pemuda langsung saja menanyakan suatu hal yang sama sekali tidak penting.

"Bodoooo … terserah apa mau kamu, Ndra … yang jelas, sekarang aku jadi bener-bener marah sama kamu!!"

"Kenapa?"

"Kenapa urusan gitu aja mesti nanya, Ndraaaa …???"

***