Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatnya, lagi-lagi Indra Perkasa hanya bisa geleng-geleng kepala karena gemas dan juga sedikit kesal. Karena tak jauh berbeda dengan kakaknya yang bernama Joko Samudra, Cok Sagara memang selalu saja menyederhanakan masalah apapun yang ada di depan dirinya. Meski anehnya, selama ini mereka berdua malah justru mendapatkan kebahagiaan yang sangat nyata dengan selalu tak mengambil pusing sebuah masalah.
Namun belum juga Indra mampu menyerap semua benturan norma yang ditawarkan oleh lelaki itu, kembali ia terdengar berpidato dalam bahasanya yang enteng tapi masuk akal,
"Ndra … kamu itu sudah aku anggap sebagai adikku sendiri, demikian juga Miranti yang semenjak kecil sudah layaknya saudara perempuan bagiku. Aku ngomong seperti itu sama kamu, bukanlah hanya sekedar ngomong kosong dan ngawur untuk menjerumuskan kalian berdua." Demikianlah si lelaki ugal-ugalan itu mulai bicara serius.
"Aku juga tahu itu, Mas. Tapi tetep aja bingung bagaimana harus menghadapi sikap Mbak Mira yang mendadak saja berubah kayak gini." Masih saja pusing, si anak muda terus saja mencurahkan isi hatinya.
"Ya nggak usah bingung."
"Maksud Mas Gara?"
"Ikuti saja permainan istrimu."
"Mbak Mira?"
"Emang istri kamu ada berapa?"
"Oh, iya … terus, gimana dengan Vanessa?" kembali, si pemuda langsung saja teringat pada gadis yang ia tafsirkan sebagai cinta pertamanya itu.
"Bukannya Vanessa sudah tahu kalau kamu punya istri?"
'Iya, tapi dia tahunya kalau pernikahan itu sandiwara saja."
"Hmmm … terus, apakah Miranti pernah melarangmu menjalin hubungan dengan gadis lain?"
"Hal itu nggak masuk dalam perjanjian. Tapi Mas Gara kan tahu sendiri, pernikahan kami juga membebaskan masing-masing pribadi layaknya seorang yang tak memiliki ikatan apapun. Karena sifatnya sementara, Mbak Mira memang tidak pernah mengkhususkan untuk membahas itu." dengan lancar, Indra langsung saja menjabarkan penilaian terkait penikahannya dengan Miranti.
"Nah … kalau memang tidak masalah, berarti kamu juga bisa tetep pacaran, dong …" Seenak sendiri saja. Cok Sagara langsung memberi solusi.
"Yo nggak bisa gitu, Mas."
"Lah, kenapa juga? Katamu, pernikahan kalian itu hanya sandiwara saja?"
"Tapi yo jangan terus main-main gitu, aku nggak bisa. Pernikahan itu juga disaksikan ibuku. Dengan begitu, tentu saja aku harus menjadi seorang suami setia ketika masih terikat dalam pernikahan." Begitu naif, Indra mengatajkan hal itu pada Cok Sagara.
"Oh, begitu? Berarti, selama ini kamu sudah berusaha menjalankan kewajiban kamu sebagai suami?"
"Aku berusaha, Mas. Walaupun mungkin akan ditertawakan oleh Mbak Mira, tapi selama ini akau sudah berusaha keras menjalankan kewajibanku sebagai seorang suami." Sangat serius, Indra langsung saja menjelaskan perjuangannya selama menjadi suami Miranti.
"Hmm … contoh nyatanya apa?" langsung saja si lelaki yang lebih tua memancing.
"Ya, umpama saja aklu selalu memberi nafkash tiap bulannya. Walaupun lucu karena gajiku dari perusahaan Mbak Mira malah kuberikan sebagai jatah nafkah baginya."
"Wah, ya bagus itu. Kamu memang laki-laki sejati, Ndra. Sikap seperti itulah yang bisa dijadikan teladan bagi laki-laki manapun." Secara jujur, Cok Sagara memberikan komentar pujian.
"Ah, aku kan hanya berusaha memenuiu tanggung jawab sebagi suami yang baik saja, Mas." Tak mau dianggap terlalu serius, Indra pun berkilah.
"Iya, aku tahu. Dan aku juga menyatakan rasa salut padamu akan itu. hanya saja sayangnya …" setelah mengucapkan kata-kata pujian, Cok Sagara malah menggantung kalimat seperti memiliki satu hal yang mengganjal dalam pikirannya.
"Sayangnya apa, Mas?" merasa penasaran, Indra pun menayakan hal tersebut.
"Sayangnya, kamu setengah-setengah saja Ndra. Seperti nanggung gitu."
"Nanggung gimana, Mas?"
"Bukankah seorang suami bukan hanya berkewajiban memberi nafkah lahir saja?" dengan seketika, terbukalah kedok akal bulus si lelaki yang lebih dewasa itu. Karena tanpa dinyana, sepertinya Cok Sagara telah kembali menyeret Indra Perkasa untuk mengikuti alur yang kini tengah diprakarsai oleh Miranti.
---
Apa yang dikatakan oleh Cok Sagara, dengan seketika telah saja menohok kesadaran Indra Perkasa. Karena sejujurnya saja, selama ini ia memang sudah berusaha menghayati dalam menjalankan perannya sebagai seorang suami. Hingga meskipun mengetahui jika apa yang terjadi pada dirinya dan Miranti adalah sebuah pernikahan sandiwara, namun ia selalu menepiskan hal itu dengan berbagai pertimbangan.
Utamanya adalah karena alasan kehadiran sang ibu yang sudah memberikan doa serta restu, dimana bahkan wanita itu telah dengan suka cita menyediakan rumahnya untuk digunakan sebagai sebuah tempat terselenggaranya prosesi pernikahan.
Namun yang lebih menjadikan Indra tak dapat mengingkari adanya pernikahan tersebut, adalah beberapa pesan serta permintaan sang ibu yang dengan tegas menitahkan dirinya agar selalu menghormati serta menyayangi istrinya.
"Cintai dia, Ndra … perlakukan dengan lembut serta penuh sayang. Dan ingat, janganlah sekali-kali kau kecewakan harapan istrimu itu. Miranti cantik, dan tak perlu mengenal lama pun ibu langsung tahu jika ia memiliki hati yang baik." Demikian sang ibu membisikkan kata di telinga Indra saat pemuda itu melakukan sebuah prosesi sungkeman.
"Iya, bu … apapun perintah ibu, aku akan berusaha melaksanakannya."
"Berjanjilah, Nak … jangan sakiti hati istrimu. Mengalahlah bila perlu, karena itu tak akan merugikan dirimu."
"Saya berjanji, Bu …" dengan sungguh, si pemuda langsung saja mengucap janjinya.
Saat teringat pada pesan sang ibu, mendadak saja Indra juga teringat bagaimana awal mula keruwetan hidupnya mendatangi. Dimana dengan jelas kini, ia jadi paham jika kegundahan hatinya telah saja datang seiring pernyataan Vanessa yang dengan terus terang telah menyatakan cintanya.
Namun, apa yang dilakukan Vanessa bukanlah hanya sebatas mengakui isi hatinya saja. Karena dengan pernyataan yang sedemikian terbuka serta jujur, gadis itupun telah saja menuntut untuk mendapatkan sebuah balasan cinta yang setimpal. Dimana, hal itulah yang lalu saja membuat dirinya jadi merasa kelabakan akibat terjepit diantara dua hati.
Sampai akhirnya saking tak kuat lagi, Indra Perkasa telah saja meminta sebuah solusi pada seorang lelaki yang dianggapnya lebih berpengalaman.
---
"Iya, Mas … andai saja pernikahan itu tidak salah semenjak awal, aku pasti juga akan mengutamakan pemberian nafkah secara lahir dan batin." Demikian akhirnya Indra menjawab taktis saat merasa sedikit dipojokkan mengenai pembegian nafkah bagi sang istri.
"Loh, salah bagaimana? Bukankah semua sudah sesuai dengan prosedur? Kalian mau sama mau, bahkan kamu juga sudah mendapatkan restu dari ibumu. Lalu hanya karena selembar surat yang berisi catatan perjanjian omong kosong, mengapa juga kamu jadi meragukan kesakralan pernikahan kalian?" dengan sedikit ngeyel, lelaki itu langsung saja menegur Indra.
Mengingkari jika pernikanan Indra dan Miranti hanya demi mengejar status saja, nampaknya Cok Sagara lebih senang jika sahabatnya tetap mempertahankan pernikahannya dengan mengikuti alur yang sedang dimainkan oleh Miranti. Namun karena Indra masih saja terpatri pada masalah Vanessa, iapun belum juga bisa beranjak dari pemikiran terkait satu hal tersebut.
"Terus aku harus bagaimana, Mas?" tanya si pemuda untuk mendapatkan sebuah penguatan lagi.
"Jalani saja, Ndra … karena baik aku sendiri ataupun kamu dan juga Miranti, tentu saja tak akan pernah tahu bagaimana hal ini akan berakhir. Jadi menurut hematku, akan lebih baik jika untuk sementara kamu mengikuti alur yang sedang digariskan oleh istrimu."
"Tapi … Mbak Mira …"
"Jangan kuatir, aku sangat paham dengan dia. Meskipun terkesan galak dan judes, tak pernah sekalipun aku tahu ia berniat jahat pada orang lain."
"Terus, bagaimana dengan Vanessa?"
"Kalau untuk itu, aku sarankan kamu berani berbicara dengan Miranti."
"Apakah Mbak Mira tidak akan marah?"
"Kalau masalah marah, tentu saja tidak. Karena seperti yang kita ketahui bersama, dasar pernikahan kalian bukanlah dilatarbelakangi oleh sebuah cinta yang menggebu. Sejujurnya saja, kalian berdua menikah dengan aasan akal sehat dan pemikiran matang. Jadi, jangan kau kawatirkan kemarahan Miranti akan cinta monyetmu itu." dengan sedikit menyepelekan arti hubungan cinta Indra dengan Vanessa, Cok Sagara langsung saja menjamin jika Miranti akan bisa menerima apa yang akan dikatakan oleh Indra.
"Seumpama, Mas … seumpama Mbak Mira marah?" belum juga puas, pemuda itu langsung saja mengejar dengan pertanyaan bersayap.
"Kalaupun marah, Miranti tak akan pernah mau menunjukkannya dengan terus terang pada dirimu."
"Mengapa bisa begitu?"
"Karena wanita sekelas Miranti, dia pastilah tak akan sudi mengurus hal yang remeh temeh seperti itu dengan menuruti emosi saja. cemburu? No way!" dengan pasti, sahabat Miranti semenjak kecil itu langsung saja mengatakan apa adanya.
"Terus?"
"Terus, tentu saja ia hanya akan bertindak. Eh, jangan salah menduga. Tak seperti yang kau pikirkan, wanita yang menjadi istrimu itu pastilah akan menerima kehadiran wanita lain dengan menganggapnya sebagai sebuah tantangan."
"Mas, bahasanya disederhanakan dikit, aku nggak paham."
"Ndra, Miranti itu wanita yang memiliki harga diri. Dengan sifat yang seperti itu, tentu saja ia tak akan main labrak untuk mengimbar cemburu. Kalaupun ia akhirnya jadi ingin memilikimu, aku jamin Miranti pastilah akan melakukan semuanya dalam sebuah kompetisi yang fair."
"Mas Gara, aku ndak paham …"
"Nikmati saja, Ndra … ikuti alur Miranti dengan juga menjalankan strategimu dalam mempertahankan hubungan bersama Vanessa, lalu nikmati proses bagaimana wanita itu akan melakukan aksinya. Dengan begitu, akhirnya engkau pun akan menemukan satu hakekat hubungan antar pribadi dewasa yang sebenarnya belum kau ketahui dengan sungguh-sungguh."
***