Arka menatap pintu kamar Adiknya itu dengan tajam, raut wajahnya datar tak berekspresi. Sejak kemarin sore Adel tidak keluar dari kamarnya, tidak makan dan tidak ada sahutan setiap ia memanggilnya. Arka paling tahu jika Adiknya itu sedang memiliki masalah yang bertumpuk-tumpuk. Namun jika seperti ini terus-terusan ia sendiri tidak tega dengan Adel.
"Kamu sudah berjam-jam memelototi kamar Adel, tidak ada gunanya seperti itu, Ka!" ucap Rossa yang sejak tadi memperhatikan anak sulungnya itu.
"Sejak kemarin sore Adel tidak keluar dari kamarnya," ucap Arka.
"Biarkan saja dia, jika lapar pasti dia akan keluar!" jawab Rossa sebelum melenggang pergi.
"Tetapi Mama jangan terlalu keras terhadap Adel, bagaimanapun dia adalah seorang perempuan. Mama juga seorang perempuan, 'kan? Pasti Mama tahu bagaimana rasanya menjadi Adel!" ucap Arka membuat langkah kaki Rossa berhenti sejenak, namun tanpa membalas ucapan Arka, Rossa segera masuk ke kamarnya.
Arka hanya menghela napas lemah melihat sifat Mamanya yang menurun pada Adeknyua itu, Rossa dan Adel sama-sama memiliki sifat keras kepala.
Laki-laki itu beranjak dan berjalan mendekati pintu kamar Adiknya itu.
Tok Tok Tok
Perlahan Arka mengetuk pintu kamar Adel, namun tidak ada jawaban dari Adiknya. Arka mencoba kembali mengetuk pintu cokelat di hadapannya itu, walaupun ia tahu tidak akan ada jawaban tetapi ia tidak akan pernah lelah mengetuk pintu kamar Adel.
"Dek, Kakak mau bicara sama kamu!" ucap Arka sedikit berteriak agar Adel mendengar suaranya.
"Adel, tolong bukain pintu buat Kakak!" teriak Arka lagi.
"Kalau kamu tidak mau buka kakak dobrak pintunya!" ancam Arka membuat seorang gadis yang berada di dalamnya menghela napas kesal dan segera berjalan menuju ke arah pintu kamarnya.
"Ada apa?"
Arka menghela napas lega saat melihat Adel akhirnya mau membuka pintu kamar untuknya walaupun hanya kepalanya saja yang melongo keluar namun ia sangat lega.
"Kak, apa-apaan sih?" teriak Adel saat Arka menerobos masuk ke dalam kamar.
Arka menatap kamar Adel yang gelap, laki-laki itu segera menuju jendela dan menarik tirainya agar ada sinar matahari yang masuk, Arka kembali berjalan menuju tempat tidur Adel daan melipat selimut gadis itu yang berantakan.
Adel hanya diam mematung menatap kakaknya yang juga membereskan beberapa bukunya yang berserakan di lantai dan tempat tidur. Bahkan meja belajar gadis itu yang tadinya seperti kapal pecah sekarang sudah sangat rapi berkat Arka.
"Abang ngapain sih?" tanya Adel setelah melihat Arka selesai membereskan kamarnya dan duduk di tempat tidur gadis itu.
"Cuma sedikit merapikan kamarmu agar sedap dipandang."
Arka menepuk kasur di sebelahnya memberi kode kepada Adel agar duduk di sana, gadis itu menutup pintu kamarnya terlebih dahulu sebelum mengikuti perintah Arka.
"Bagaimana?" tanya Arka setelah Adel duduk di sebelahnya, laki-laki itu menaikkan sebelah kakinya ke tempat tidur dan memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Adiknya itu.
"Bagaimana apanya?" tanya Adel tidak tahu arah pertanyaan dari Arka. Sementara laki-laki itu justru tersenyum melihat wajah adiknya itu.
"Bagaimana hubunganmu dengan Daffa?"
Adel terdiam sejenak memilih kalimat yang tepat untuk ia bercerita kepada Arka.
"Entah," jawab Adel.
"Aku tidak tahu bagaimana hubunganku saat ini dengan Daffa, dan akupun tidak ingin memikirkan itu," tambahnya.
"Mau sampai kapan kamu mau melarikan diri dari masalah ini, lebih baik kamu tanyakan lagi pada hatimu. Jika sekiranya dia masih bisa dipertahankan maka tahan. Jika kamu merasa dia tidak bisa lagi dipertahankan maka lepas!" Adel mendengarkan kalimat kakaknya ini dengan seksama.
"Mungkin akan aku lepas."
"Hah? Secepat itu kamu membuat keputusan?" Arka justru kaget sendiri dengan adiknya itu.
"Iya, Kak. Ka-karena—" ucapan Adel terhenti, gadis itu berpikir sejenak.
"Karena apa?"
"Karena …."
"Karena kamu tidak mencintainya."
Adel langsung menoleh menatap wajah kakaknya itu setelah mendengar ucapannya. Tatapan mata Adel sudah mengisyaratkan semua yang ada di dalam hatinya.
"Ba-bagaimana bisa Kak Arka berpikir seperti itu?"
Arka justru tertawa mendengar pertanyaan Adel.
"Bagaimana bisa aku tidak tahu jika tatapan matamu sudah mengisyaratkan ini semua, dan rasa cintamu itu hanya untuk satu orang, 'kan?" tanya balik Arka yang justru membuat Adel semakin diam dan tak bisa mengutarakan perasaannya.
"Lebih baik Kak Arka jangan sok tahu," jawab Adel dengan semu merah di pipinya yang membuat Arka hampir tertawa melihat Adiknya itu.
"Dasar, Adik Kakak yang paling menggemaskan ini ternyata sudah gede dan sudah tahu apa itu cinta," ucap Arka dengan sebelah tangannya yang mengusap lembut puncak kepala Adel.
Namun laki-laki itu terbelalak saat Adiknya itu justru memeluk tubuhnya erat, Adel menyembunyikan wajahnya di dada bidang laki-laki itu membuat Arka balas memeluk tubuh mungil Adiknya.
"Aku lebih suka tidak mengenal apa itu cinta, cinta itu hanya rasa sakit."
Arka baru tersadar jika suara Adel serak karena ia telah menumpahkan air matanya yang selama ini ia tahan.
"Tidak ada bahagianya sama sekali, aku menyesal pernah mengenal apa itu cinta!"
"Sssttt, jangan bilang seperti itu. Tanpa cinta kita tidak akan pernah terlahir dan tumbuh besar dengan penuh kasih sayang. Tetapi cinta itu memang beragam, bisa membuatmu sangat bahagia namun saat itu juga ia bisa membuatmu menjadi sangat menderita. Itu semua sudah menjadi satu bagian yang tidak akan pernah terlewatkan dari cinta. Tergantung bagaimana kita akan menyikapi ini semua, Dek."
Arka mendengar suara Adel yang sesenggukan di bawah dagunya, ia tidak menyangka Adel yang terlihat sangat kuat dan tegar saat ini ternyata masih sama dengan Adel yang dulu. Adik kecilnya yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian darinya.
Arka merasa bersalah karena belum bisa menjaga adiknya ini dengan baik sebagaimana Ayahnya dulu menjaga mereka berdua.
"Maafkan, Adel!" ucap gadis itu disela isak tangisnya.
"Mengapa kamu meminta maaf?"
"Karena Adel belum bisa menjadi dewasa dan bijaksana, Adel justru menjadi anak pembangkang yang selalu membuat Mama dan Kak Arka khawatir," ucap Adel membuat Arka semakin mengeratkan pelukannya.
"Tidak sama sekali, Adel yang dulu maupun yang sekarang tetap Adik Kakak yang imut dan kuat. Jadi jangan minta maaf karena ini sudah menjadi tugas Kakak dan Mama untuk menjagamu. Sekarang berhentilah menangis, wajahmu jadi jelek," ucap Arka. Perlahan ia mengendurkan pelukannya dan menatap Adel lamat-lamat.
Perlahan tangannya menyeka air mata yang membasahi pipi gadis itu.
"Terima kasih, Kak."
"Iya, apapun keputusanmu Kakak tahu itu adalah pilihan terbaik yang kamu putuskan." Adel hanya mengangguk mendengar ucapan Arka, gadis itu merasa lega karena sudah menumpahkan beban yang selama ini ia simpan seorang diri kepada kakak laki-lakinya ini.
"Lebih baik sekarang kamu mandi! Dari kemarin kamu tidak mandi, 'kan? Asem tau!"
"Isshhhh, enak saja. Aku mandi terus, kemarin sore mandi, tadi pagi pun aku mandi!" teriak Adel menimpuk kakaknya itu dengan bantal yang berada di sampingnya. Arka tertawa mendengar teriakan Adel, senang sekali ia jika berhasil membuat Adel ngambek seperti ini.
"Baiklah, cepat keluar! Kakak siapkan makan siang untukmu!" ucap Arka sebelum beranjak keluar dari amar Adel dan berjalan menuju dapur. Gadis itu sangat bersyukur karena memiliki seorang kakak yang sangat menyayanginya.