Arka terperanjat kaget saat Adel menutup pintu kamarnya dengan keras, laki-laki itu hanya bisa menelan salivanya susah payah. Niat hati ingin mengajak Adiknya nonton agar dia merasa senang namun justru membuat mood Adel semakin buruk.
"Dek," panggil Arka dari depan pintu kamar Adel karena adiknya itu mengunci pintu kamarnya.
"Aku mau tidur, Kak. Capek!" teriak Adel dari dalam kamarnya membuat Arka mengurungkan niat untuk bertanya. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tahu dari Adiknya itu. Namun Arka menahannya karena mengetahui Adel tidak sedang dalam kondisi mood yang baik.
Gadis itu segera merebahkan tubuhnya di tempat tidur dan menutup wajahnya dengan bantal, lantas Adel berteriak sekencang mungkin meluapkan segala emosi yang berada di dalam hatinya. Gadis itu berpikir sebenarnya siapa dia bagi Revan, dan siapa Revan bagi dirinya. Mereka ini hanya anak-anak korban dari masa lalu mereka yang Adel sama sekali tidak ingat bagaimana kejadian masa lalu itu.
Akan tetapi mengapa hatinya sangat sakit mendengar Revan mengatakan hal itu dengan menggandeng orang lain di sebelahnya, hatinya rasanya sangat hancur padahal dirinya sudah memiliki Daffa.
"Aku harus belajar melupakan Revan dan lebih mencintai Daffa," gumam Adel di sela isak tangisnya, namun air matanya belum bisa berhenti menetes sejak tadi hingga bantalnya basah karena air mata.
Hingga di pagi hari pun Adel tidak memiliki semangat untuk bangun dan bragkat ke sekolah, mungkinkah ia hanya akan melihat kemesraan antara Revan dan Ayu. Adel merasa sangat malas jika harus menyaksikan mereka berdua.
"Dek,"panggil Arka. Kakaknya itu tidak pernah bosan untuk memanggilnya.
"Iya, Kak."
"Ka-kamu kenapa?" tanya Arka saat melihat wajah Adel yang menyeramkan, sebuah lingkaran hitam tercetak jelas di kulit pucatnya, sementara kelopak mata sembab Adel membuat matanya terlihat menyipit.
"Adel gak bisa tidur semalam, Kak," jawab Adel pelan, gadis itu merasakan tubuhnya lemas karena kurang tidur.
"Kamu kenapa, Dek? Coba cerita ke Kakak kalau kamu punya masalah!" ucap Arka merasa tidak tega dengan Adiknya.
"Siapa yang sudah bikin kamu nangs sampai kaya gini? Bilang ke Kakak!" tambah Arka.
"Hah? Siapa yang nangis, aku coba begadang streaming semalaman," jawab Adel mengelak.
"Sudahlah, tak perlu berbohong lagi dengan kakak. Kamu sebenarnya cemburukan dengan Revan, kamu sebenarnya menyimpan rasa, 'kan sama dia. Kenapa kamu tidak mau jujur dengan hatimu sendiri, dan kamu baru merasakan itu setelah dia bersama orang lain."
Manik hazel Adel kembali tertutup oleh air mata yang berkca-kaca karena ucapan Arka. Kakaknya itu sangat benar, selama ini Adel tidak pernah mau mengakui rasa yang tersimpan di hatinya.
"Siapa bilang, Adel sudah punya Daffa, Kak." jawab Adel belum ingin mengaku di hadapan kakaknya.
"Kamu yakin mencintai laki-laki bernama Daffa itu?" tanya Arka yang lagi-lagi membuat Adel merasa di skakmat.
"Iya," jawab Adel tanpa berpikir lama.
Saat ini Adel merasa harus segera belajar mencintai Daffa, laki-laki itu adalah orang yang baik dan sering kali membuat dirinya nyaman saat bersama.
Setelah sarapan selesai Adel segera berangkat ke sekolahnya dengan diantar Arka karena laki-laki itu sekalian jalan menuju kampusnya.
"Loh, Kak Arka mana?" tanya seorang gadis yang berdiri menunggu Adel.
Gadis itu adalah sahababAdel. Lina memang sengaja menunggu Adel di depan gerbang sekolah karena ingin melihat Arka, namun laki-laki itu telah pergi melajukan mobilnya.
"Sudah pergilah."
Adel melangkahkan kakinya tanpa menyapa Lina terlebih dahulu, sementara LIna yang sejak tadi telah menunggunya segra berlaroi menyusul langkah Adel yang telah berjalan lebih dulu darinya.
"Del, Kak Arka sudah punya pacar belum, sih?" tanya Lina penasaran, sementara Adel hanya menggeleng lemah, entah jawabannya belum memiliki pacar atau tidak tahu Lina tidak bisa memahami maksud sahabatnya itu.
Lina sendiri menatap Adel yang terlihat ,urung, gadis itu yang biasanya cerewet tetapi hari ini ia sangat pendiam, Lina sudah curiga sejak awal jika ada sesuatu terjadi dengan sahabatnya ini.
Tak lama menunggu bel masuk telah berbunyi dan pelajaran segera dimulai, namun Adel sama sekali tidak bisa fokus terhadap materi yang sedang dijelaskan oleh guru di depan kelas.
Gadis itu hanya menatap kosong ke arah jendela mambuta Lina penasaran setengah mati terhadap temannya ini. HIngga pelajaran selesai pun Adel masih diam tak bersuara, Lian melirik buku yang berada di hadapan Adel, masih sama. Gadis itu tidak menyentuh buku pelajaran di hadapannya sama sekali, karena terlihat dari halamannya yang masih sama.
"Del, ke kantin nggak? Laper, nih!" ucap Lina membat Adel menoleh.
"Mau ke kantin nggak?" tanya Lina sekali lagi.
Akhirnya Adel beranjak dari tempat duduknya mengikuti Lina yang berjalan menuju kantin, mkereka berjalan berirignan hingga pingutkanti yang sduah dipenui oleh lautan sisa itu.
Lina segera antri mengambil makan siang mereka, sementara Adel bingung mencari tempat duduk yang masih kosong, hingga manik hazelnya manatap sebuah bangku kosong di sudut ruangan.
Adel makan dengan lahap bersama Lina, saat banyak pikiran seperti ini justru nafsu makannya semakin meningkat.
"Lo laper atau gimana, Del?" tanya Lina.
Sahabatnya itu setelah menghabiskan nasi goreng semangkuk ia kembali memesan bakso jumbo dan kembali melahapnya. Sementara Lina sudah kenyang terlebih dahulu melihta Adel sebelum ia menyantap makanannya sendiri.
"Lin, gue duluan ke kamar mandi, yua! Perut gue rasanya gak enak," ucap Adel segera pergi.
SEmentara Lina hanya geleng-geleng kepala, tentu saja Adel sakit perut ia terlalu banyak makan, Lina kembali melanjutkan ritual makannya sebelum bel kembali berbunyi. SEmentara Adel berjalan menuju kamar mandi terdekat,
HIKS HIKS
Akan tetapi langkah kakinya tiba-tiba tertahan saat ia mendengar sebuah suara. Langkah Adel mendekat saat mengetahui suara itu di gudang tempat menyimpan peralatan olahraga.
Suara itu seolah semakin jelas saat Adel mendekat, gadis itu perlahan mengintip sii ruangan itu. Namun begitu mengejutkannya Adel saat melihat seorang laki-laki yang memeluk erat seorang gadis lain.
Adel sangat mengenali dua orang itu, entah mengapa bukan sebuah rasa cemburu yang ia rasakan saat ini namun justru sebuah rasa kecewa rasa telah dikhianati membuat Adel ingin sekali melenyapkan laki-laki itu dari muka bumi.
BRAK
Gadis itu sengaja membanting pintu membuat dua orang yang berada di dalam sana terperanjat kaget dan menoleh ke arah pintu.
"A-Adel!" panggil laki-laki itu saat melihat Adel berlalu dari hadapannya.
Daffa mengejar Adel yang sudah pergi dari hadapan mereka.
"Daffa, bairin saja gadis itu pergi!" ucap Bianca menahan Daffa. Namun laki-laki itu mengibaskan tangannya agar terlepas dari Bianca.
Ia berlari menyusul Adel, gadis itu merasa dikhianati. Kesempatan kedua yang ia berikan kepada Daffa telah laki-laki itu sia-siakan.
"Adel, tunggu! dengarkan dulu penjelasanku!" Daffa menghadang Adel membuat langkah kaki gadis itu terhenti.
"Mau jelasin atau mau kasih undangan pertunangan?" tanya Adel dengan sinisnya, gadis itu tidak bisa lagi menahan gejolak amarah di dalam hatinya.
"Bukan seperti itu, Del, Adel—"
Gadis itu kembali berjalan dan menghiraukan Daffa, saat ia sudah muak dengan laki-laki itu. Semua laki-laki sama saja bagi Adel.
"Adel, dengarkan dulu!" Daffa menarik tangan Adel dengan paksa karena gadis itu sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk memberinya penjelasan.
"Akhhh … sakit!" pekik Adel saat merasakan tangannya ditarik paksa.
"Lepasin dia!" suara seorang laki-laki yang baru saja muncul membuat Daffa menoleh ke arah sumber suara.
Laki-laki itu adalah Revan, ia menatap tajam ke arah Daffa.