"Bangun, Dek" Arka menggoyangkan bahu Adel untuk membangunkan gadis itu.
"Ngghhh." Sementara Adel hanya menggeliat dan kembali menarik selimutnya untuk menutupi tubuh gadis itu, Arka hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya itu.
"Dasar si Kebo," kesal Arka.
Sebelah tangan laki-laki itu ia tempelkan ke kening Adel untuk mengecek suhu tubuh Adiknya apakah demamnya sudah turun atau belum. Arka menghela napas lega saat merasakan demam Adel sudah tidak separah kemarin.
"Kamu harus bangun, sarapan lalu minum obat, Dek!" ucap Arka. Namun Adel masih bergelung di balik selimut.
Laki-laki itu melirik arloji yang berada di pergelangan tangannya, masih ada waktu satu jam sebelum kelas pertamanya di mulai. Arka kembali menatap Adel yang masih tidur terlelap.
"Kamu mau bangun nggak, sih?" tanya Arka tepat di telinga Adel.
"Kalau nggak mau bangun, ayam goreng jatah sarapanmu aku makan ya!" tambah Arka yang membuat Adel seketika bangun terduduk.
"Kak Arka, awas saja kalau kakak berani menyentuh ayam goreng milikku!" ucap Adel segera beranjak dan berjalan cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Dasar anak kurang ajar dia, giliran soal makanan di bisikin aja langsung bangun."
Arka mendengus kesal, langkah kakinya pergi keluar dari kamar Adel dan menuju meja makan karena Rossa telah menunggunya untuk sarapan bersama.
Sekitar dua puluh menit berlalu, Adel telah keluar dari kamarnya dengan memakai seragam sekolah putih abu-abunya membuat Rossa menatap Adel tak suka.
"Kamu mau berangkat sekolah hari ini? Yakin sudah sembuh?" tanya Rossa kepada anak bungsunya.
"Adel sudah sembuh, Ma."
Gadis itu segera mengambil piring yang langsung ia isi dengan nasi dan ayam goreng, itu pun Adel memilih daging ayam bagian paha. Perutnya keroncongan setelah seharian kemarin hanya makan bubur yang sangat mudah dicerna dan kurang mengenyangkan bagi Adel.
"Jika belum sembuh sepenuhnya jangan dipaksakan, Sayang! Mama nggak mau kamu sakit lagi!" Rossa menatap anaknya dengan perasaan khawatir.
"Mama tenang saja, Adel sudah sembuh beneran, kok."
Gadis itu mencoba meyakinkan Mamanya jika ia benar-benar telah sembuh. Rossa mempercayai ucapan Adel karena melihat anak perempuannya itu makan dengan lahap, berbeda dengan kemarin yang hanya bisa makan bubur saja.
Acara sarapan selesai setelah tiga puluh menit, Arka dan Adel berpamitan kepada Rossa untuk segera berangkat ke sekolah masing-masing.
"Kalian hati-hati, ya!" ucap Rossa yang di jawab anggukan kepala oleh Arka dan Adel. Namun saat Adel menyalami tangan Rossa, Mamanya itu menahan tangannya sejenak membuat Adel heran dengan wanita yang telah melahirkannya ini.
"Ada apa, Ma?" tanya Adel karena Rossa menatap Adel dengan tatapan yang sulit untuk dimengerti.
"Tolong turuti kata Mama! Jangan dekat-dekat dengan Revan!" ucap Rossa yang seketika membuat jantung Adel merasa sesak.
"Memangnya kenapa, Ma? Kenapa Mama selalu melarangku untuk berdekatan dengan Revan? Bukankah Revan adalah teman masa kecilku?" tanya gadis itu meminta alasan atas perintah dari Mamanya.
"Suatu saat nanti kamu akan mengerti, Sayang. Tapi Mama mohon, untuk kali ini tolong turuti apa permintaan Mama!" ucap lagi Rossa sedikit memohon kepada anak bungsunya.
Adel sendiri pun tidak tahu mengapa Mamanya sering kali melarangnya untuk berdekatan kepada Revan, ini bukan pertama kalinya Rossa berkata seperti itu kepada Adel.
"I-iya, Ma!" jawab Adel, gadis itu segera menyusul Arka yang sudah berada di dalam mobil.
Adel menatap keluar jendela mobil dan menatap lalu lintas jalanan yang macet sepagi ini, namun Adel tidak fokus melihat kendaraan yang mengantri itu. Yang berada di dalam otaknya sepenuhnya tentang ucapan Mamanya tadi, sejak lama Adel telah menuruti permintaan Mamanya itu, dan sering kali juga Adel meminta alasan mengapa ia harus menjauhi Revan dan keluarganya.
Di dalam hati Adel, gadis itu seolah membenci Revan, namun ia sendiri tidak tahu apa penyebab ia sangat membenci laki-laki itu. Karenanya Adel selalu menuruti perintah Rossa untuk menjauhi Revan meskipun hal itu sangat sulit dilakukan bagi Adel.
"Nanti pulang jam berada, Dek?" tanya Arka, namun Adel masih menatap lurus ke jendela mobil seolah tak mendengar pertanyaan dari kakaknya itu.
"Dek!" panggil Arka, tetap tidak ada jawaban dari gadis itu.
"Adel!"
Gadis itu terperanjat kaget saat Arka memanggil namanya untuk yang ketiga kali.
"A-ada apa, Kak?" tanya Adel.
"Kamu ngalamunin siapa, sih?" tanya Arka dengan memicingkan sebelah alisnya.
"Bu-bukan siapa-siapa, memang kenapa? Kakak tadi tanya apa?" tanya balik Adel.
"Kamu lagi mikirin Daffa atau …."
Arka menganggantungkan ucapannya membuat Adel menunggu kalimat lanjutan dari kakaknya.
"Atau apa?"
"Atau kamu sedang memikirkan Revan?" tanya Arka.
"Tidak keduanya," jawab Adel cepat.
"Haha, kamu berbohong."
Adel menghela napas kesal, ia sangat heran mengapa Arka bisa mudah sekali mengetahui jika ia memang sedang berbohong.
"Kamu pasti sedang memikirkan Revan, 'kan?" tanya Arka yang membuat Adel seketika menatap tajam ke arah kakaknya itu.
"Untuk apa aku memikirkan laki-laki itu, lagi pula Mama melarangku untuk berdekatan dengan Revan," ucap Adel.
"Yang dibilang Mama memang ada benarnya juga, sih. Tapi menurutku kamu harus memperbaiki hubunganmu dengan Revan!"
Adel menoleh menatap kakaknya yang fokus mengemudi, gadis itu tidak paham dengan ucapan Arka. Dan mengapa pendapatnya dan Mamanya sangat bertolak belakang.
"Apa maksud, Kakak?" tanya Adel.
Namun Arka hanya tersenyum mendengar pertanyaan dari Adel.
"Sudah sampai, sana turun!" ucap Arka tak ingin menjawab pertanyaan Adiknya. Sementara Adel mengerucutkan bibirnya merasa kesal dengan kakaknya yang seringkali memberikan informasi setengah-setengah seperti sekarang ini.
Adel segera turun dari mobil dan masuk ke dalam sekolah, hari ini adalah mata pelajaran IPA dan ada tugas praktik penelitian pada tumbuhan putri malu. Akhirnya semua siswa di dalam kelas berjalan keliling sekolah untuk mencari tumbuhan putri malu yang tumbuh sembarang di tanah lapang.
"Adel, di sini banyak!" teriak Lina memanggil Adel.
Gadis itu segera mendekati Lina dan menatap takjub tumbuhan berduri itu yang ternyata memang tumbuh banyak di pinggir lapangan.
"Aku akan menyentuh tumbuhan putri malu ini dan kamu coba hitung berapa detik lamanya hingga ia menutup daunnya!" ucap Adel pada Lina, gadis itu mengangguk segera menyiapkan kertas, pulpen dan stopwatch sebagai alat pengukur waktu. Adel segera menyentuh ujung daun dahan tumbuhan itu, mungkin hanya dalam satu detik semua daun langsung menutup.
Lina segera mencatat hasil penelitian mereka.
"Lin, cepat nyalakan stopwatchnya, kita harus menghitung berapa lama daun putri malu ini kembali terbuka!" Lina segera melaksanakan perintah Adel.
Menunggu daun putri malu untuk kembali terbuka ternyata sangatlah lama, Adel sudah beberapa kali menguap karena terlalu lama menunggu.
Dari kejauhan gadis itu bisa menatap laki-laki yang selama ini ia hindari sedang melaksanakan pelajaran olahraga. Laki-laki itu terlihat sangat tampan dengan rambut dan kulit yang basah akan keringat. Tanpa ia sadari kedua sudut bibir Adel tertarik ke atas saat melihat laki-laki itu tersenyum dan tertawa bersama teman-temannya.
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Lina merasa aneh dengan Adel.
"Hah? Siapa?" tanya Adel tak mengerti.
"Kamu, Del. Kenapa tiba-tiba tersenyum, tidak ada hal lucu di sini!" ucap gadis itu.
Namun Adel tetap tidak menyadari jika ia baru saja tersenyum.
"Akhh," teriakan dari tengah lapangan membuat fokus Adel beralih. Gadis itu langsung berlari saat melihat Revan terjatuh memegangi kakinya yang cedera.
"Revan!" teriak Adel segera berlari ke arah laki-laki itu di tengah lapangan.