Beberapa siswa berkerumun di tengah lapangan untuk membantu Revan, akan tetapi laki-laki itu seolah mencoba untuk menyembunyikan rasa sakitnya dan selalu berkata jika ia baik-baik saja. Padahal kaki kanannya sulit untuk digerakan.
"Revan, kamu harus beristirahat terlebih dahulu!" ucap seorang gadis yang tak pernah laki-laki itu sangka membuat manik elang laki-laki itu membulat sempurna.
"Kamu tidak dengar? Cepat menepi!" ucap Adel lagi karena laki-laki itu justru menatung di tempat dan tak kunjung melakukan apa yang gadis itu perintahkan.
Revan berjalan tertatih menuju pinggir lapangan, karena tak tega Adel mendekati laki-laki itu dan menarik sebelah tangannya untuk ia letakkan di bahunya. Gadis itu membantu Revan untuk berjalan, sebuah senyum simpul muncul di bibir manis laki-laki itu.
"Kita seharusnya ke UKS!" ucap Adel saat mereka telah berada di pinggir lapangan.
"Aku baik-baik saja," jawab Revan.
"Baik-baik saja, tapi tidak bisa berjalan dengan benar. Apakah itu yang dibilang baik-baik saja?"
Revan tak bisa menjawab ucapan Adel, karena yang gadis itu ucapkan emang benar. Kakinya memang tidak bisa dibilang baik-baik saja karena ia kesulitan untuk berjalan.
"Ayo, kuantar ke UKS!" ucap Adel dengan wajah yang iab buat sedatar mungkin.
"Aku mau kemanapun asalkan bersamamu," jawab Revan yang mendapat pelototan dari gadis itu.
Perlahan Adel kembali memapah Revan untuk berjalan menuju UKS, ruangan itu tak begitu jauh dari tempatnya saat ini. Hanya harus melewati lorong dan belok kekiri, maka mereka telah sampai di UKS.
"Ehh, Adel. Bukannya kamu pacarnya Daffa, kenapa kamu malah bermesraan dengan laki-laki lain seperti ini?" celetuk salah seorang gadis yang melihat Adel sedang membantu Revan.
"Memang membantu orang itu perlu melihat aku jomblo atau sudah punya pacar, hah?" jawab Adel membuat gadis itu langsung bungkam.
Ia tak lagi berani menjawab ucapan Adel karena nada sinis gadis itu dan Adel pun sebagai anggota OSIS. Jarang ada anak yang berani menetang anggota organisasi itu. Sementara Revan tersenyum senang mendengar jawaban gadis di sampingnya ini.
Sesampainya mereka di UKS salah seorang siswa yang bertugas menunggu UKS segera menghampiri Adel dan membantunya untuk membawa Revan untuk duduk di salah satu kursi di sana.
"Revan, kamu kenapa?" tanya gadis yang bertugas di UKS itu.
" Tidak apa-apa, hanya cedera saja saat bermain bola tadi, Yuk," jawab Revan.
Gadis yang bertugas di UKS itu bernama Ayu—salah satu teman sekelas Revan.
"Adel, terima kasih karena sudah membawa Revan ke sini, sekarang kamu boleh pergi. Aku yang akan mengobati lukanya."
Adel mengernyitkan keningnya saat mendengar ucapan dari gadis bersurai navi dengan panjang sebahu itu.
"Baiklah, tidak perlu bertindak lembut pada laki-laki ini!" ucap Adel sebelum pergi.
"Tunggu!" ucap Revan membuat langkah kaki Adel berhenti melangkah, gadis bersurai hitam panjang itu kembali menoleh menatap Revan.
"Aku tidak ingin kamu pergi, tolong temani aku di sini, Adel!" pnta Revan. Ayu menatap teman sekelasnya ini dengan tatapan tak suka, mengapa dia meminta Adel yang sudah memiliki pacar ini untuk menemaninya, batin Ayu.
"Tidak bisa, aku harus segera kembali ke penelitianku yang belum selesai, aku meninggalkan Lina sendirian di sana," jawab Adel menolak.
"Tolonglah, hanya sebentar saja!" mohon Revan kepada Adel.
Adel menghela napas pasrah dan mengangguk perlahan membuat Reva tersenyum seketika saat melihat Adel menuruti permintaannya.
"Ayu, aku boleh minta tolong?" tanya Revan pada teman sejkelasnya Ayu.
"Apa?" tolong keluarlah dari UKS ini sebentar saja, aku ingin berbicara empat mata dengan Adel," pinta Revan membuat Ayu dengan berat hati mengangguk.
Setelah gadis bersurai navy itu keluar dari UKS, leheningan melanda runagan selebar enam kali delapan meter itu. Adel yak berniat untuk membuka suara, sementara Revan bingung ingin memulai percakapan dari mana.
"Sorry," ucap Adel dan REvan bersamaan.
"Kamu dulu!" ucap mereka lagi bersamaan.
"Oke, kamu duluan!" ucap Adel.
"Tidak, kamu duluan saja!" balas Revan.
Akhirnya Adel menghela napas panjang terlebih dahulu sebelum ia mulai berbicara.
"Maaf untuk yang kemarin," ucap Adel ambigu.
"Yang kemarin? Apa itu?" tanya Revan tidak mengerti apa maksud ucapan gadis di hadapannya.
"Kamu datang ke rumah, 'kan? Dan Mama mengusirmu."
"Tenang sajam, aku baik-baik saja." jawab laki-laki itu dengan senyum emngembang di bibirnya. Berbeda dengan Adel yang sebisa mungkin menahan wajah datarnya agar terus bertahan.
"Bagaimana kondisimu, sudah baikan?" tanya balik Revan yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.
"Terima kasih, Adel."
Gadis itu menatap Revan lamat-lamat, ia tidak mengerti mengapa laki-laki itu tiba-tiba berterima kasih kepadanya, padahal selama ini perlakuannya kepada Revan sangatlah buruk. MUngkin ia yang seharusnya mengatakan kalimat itu.
"Untuk?"
"Karena sudah mau berbicara denganku lagi, aku rindu masa-masa seperti ini. Sudah lama sekali bukan kita tidak saling mengobrol berdua, aku berharap hubungan kita bisa membaik seperti dulu," ucap Revan dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Maaf Revan, sepertinya kamu salah. Di sini aku ingin bilang jika, lupakan kedekatan kita dulu, dan lupakan juga jika kita berbicara di sini saat ini. Aku ingin melupakan semua itu dan aku mohon, menjauhlah dari kehidupanku!" ucap Adel membuat hati Revan perih seketika, sakitnya seolah dihujam ribuan duri beracun yang setiap saat bisa membuatnya berhenti berdetak.
"Kenapa? Apakah ada alasan dibalik semua permintaanmu itu?" tanya Revan meminta penjelasan.
"Tidak. Aku hanya lelah selalu menghindar darimu, aku merasa risih dan tidak tenang, aku hanya ingin menjalankan kehidupanku dengan normal tanpa takut di kejar-kejar olehmu!"
Revan merasa hatinya tersayat sembilu mendengar ucapan Adel, jadi selama ini keberadaannya membuat gadis itu tidak tenang. Padahal Ia hanya ingin berteman baik bersama Adel seperti dahulu, sebesar itukah kesalahannya hingga Adel tidak mau sama sekali menerimanya kembali.
"Ku harap kamu bisa mengerti!" ucap Adel segera keluar dari ruang UKS.
Sejak tadi gadis itu menahan diri untuk tetap tegar, namun tetap saja hatinya sangatlah lemah. Adel segera berlari menuju tempat yang sepi. Air matanya telah luluh, entah kenapa ia mengucapkan hal semenyakitkan itu kepada Revan. Apakah hati laki-laki itu juga merasa sakit seperti hatinya, batin Adel.
Gadis terisak di bawah pohon besar di halaman belakang sekolah. Adel menggigit bibir bawahnya untuk menyembunyikan isak tangisnya. Entah mengapa hatinya terasa sangat sakit saat mengucapkan hal itu kepada Revan.
"Adel, apa yang terjadi?" tanya seorang laki-laki, perlahan Adel mengangkat wajahnya dan menemukan Daffa yang telah berdiri di hadapannya.
"Ada apa?" tanya laki-laki itu. Bukannya menjawab, namun isak tangis Adel semakin menjadi-jadi membuat Daffa tidak tega melihat kekasihnya menangis seperti ini.
"Tenanglah, Sayang!" ucap Daffa mencoba menarik Adel ke dalam pelukannya.