Happy Reading.
Seorang gadis baru saja menyeka peluh yang mengalir di pelipisnya, tubuhnya tersengal seolah baru saja berlari maraton. Padahal malam ini hujan dan udara terasa dingin, namun entah apa yang terjadi pada gadis itu hingga membuatnya berkeringat.
"Kamu gak papa, Sayang?" seorang wanita paruh baya yang diyakini adalah ibunya khawatir menatap anak gadisnya yang bangun tengah malam dengan keringat dingin di tubuhnya.
"Tidak apa-apa, Ma. Lebih baik Mama kembali ke kamar! Maaf, karena aku mengganggu tidurmu, Ma." Wanita paruh baya itu membelai lembut surai hitam anak gadisnya, merasa khawatir. Anaknya ini sering kali bermimpi buruk dan berteriak di tengah malam karena mimpinya.
"Baiklah, kembalilah tidur!" Gadis itu mengangguk menaati perintah ibunya. Wanita paruh baya itu menutupi tubuh anak gadisnya dengan selimut sebelum ia kembali ke kamarnya sendiri.
***
Adellia, itu nama yang diberikan wanita paruh baya itu kepada anak gadisnya. Gadis ini telah menginjak bangku sekolah menengah atas, namun pikirannya telah penuh dengan banyak hal.
Kegiatan sekolahnya semakin hari semakin padat, begitu juga dengan kegiatan organisasi yang ia ikut.
"Kamu jadi sekertaris ya, Del!" ucap guru pembimbing organisasi OSIS.
Adel hanya mengangguk, dalam hati gadis itu ingin sekali menolak, namun apa daya ia tidak berani mengatakan pada Pak Pembimbing untuk menolak.
Acara pesta ulang tahun sekolah ini dilakukan rutin setiap tahun dengan organisasi OSIS sebagai panitianya, namun yang menjadi panitia selalu saja berbeda karena anggota organisasi akan selalu berganti setiap tahunnya karena dilanjutkan oleh generasi-generasi seterusnya.
"Uhuyyy, jadi sekretaris." ucap Lina, sahabat baik Adel yang juga ikut bergabung dengan organisasi OSIS.
"Gantiin gue deh, Lin!"
"Eits, enak saja. Gue gak mampu jadi sekretaris, 'kan lo yang dipilih," ucap Lina menolak.
Adel menghela napas malas, mau tidak mau ia harus menjalankan tanggung jawab ini.
Ruang kelas yang sudah disulap menjadi ruang rapat OSIS ini riuh dengan para anggota yang saling berbincang dan berdiskusi tentang persiapan pesta ulang tahun sekolah. Di tahun biasanya mereka akan mengadakan pentas seni dan unjuk bakat, semua siswa diperbolehkan untuk ikut dan akan mendapat hadiah bagi yang mendapat daya tarik terbanyak dari penonton.
"Sekarang kita bagi tugas," ucap seorang laki-laki yang menjadi ketua organisasi maupun ketua panitia. Si Ketos yang terkenal baik dan ramah ini bernama Revan.
Sebelumnya Revan telah membagi anggota menjadi empat tim dari tim A hingga tim D, dan semua memiliki tugas masing-masing. Secara singkat Revan menjelaskan apa saja yang perlu dilakukan dan yang perlu disiapkan. "Karena kita adalah sebuah organisasi maka kekompakkan dan kerjasama yang baik menjadi sebuah pegangan bagi kita untuk menjalankan seluruh tugas dari sekolah ini," ucap Revan memberi petuah di akhir pertemuan.
"Semua boleh bubar dan melaksanakan tugas tim masing-masing," tambah Revan menutup rapat.
Adel berkemas memasukkan buku catatannya ke dalam tas, akan tetap aktivitasnya terhenti saat sebuah suara terdengar.
"Del, kita haru membuat laporan pengajuan anggaran ke bendahara sekolah." Revan mendekat Adel yang telah siap pergi.
"Kita? gak lo aja?" tanya Adel sinis.
"Kok gue? Lo 'kan sekertarisnya."
"Ya sudah, gue kerjain nanti malem."
Adel beranjak dari kursinya dan hampir keluar dari ruangan yang telah sepi ini sebelum sebuah tangan menahannya.
"Lo kenapa sih kayak gini sama gue, Del?"
Revan dan Adel sudah berteman sejak kecil, dulu keluarga mereka sangat dekat. Namun entah mengapa sebuah kecelakaan yang terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu membuat keluarga mereka menjadi renggang.
Kecelakaan itu telah merenggut nyawa ayah Revan dan juga ayah Adel, dan sejak hari itu keluarga mereka tak pernah lagi bertemu. Dan Adel pun tidak pernah lagi bertemu dengan Revan, dan gadis itu membenci Revan sejak saat itu.
Akan tetap takdir kembali mempertemukan mereka di sekolah menengah keatas. Gadis itu seolah acuh saat Revan selalu mendekatinya, entah apa yang membuat Adel sangat membenci Revan.
"Entahlah, gue cuma males aja lihat muka lo." Adel melenggang pergi meninggalkan Revan yang berdiri mematung di dalam kelas yang telah sepi.
"Lo, punya dendam apa sama Revan, Del? Kurasa setiap hari kalian seolah kucing-kucingan." Lina yang merupakan satu-satunya sahabat Adel menyadari kelakuan kedua temannya ini.
"Gak tau, jangan bahas dia!" Lina mendengus, setiap kali Ia membahas Revan pasti Adel akan berkata demikian.
Adel saat ini memasuki perpustakaan, akhirnya ia mengerjakan laporan pengajuan anggaran saat ini juga. Sedangkan Lina pergi bersama timnya untuk mengurus perijinan tempat, karena OSIS berencana ingin membuat panggung walaupun hanya kecil.
Manik hazel Adel menatap fokus ke layar komputer, namun fokusnya terganggu saat seseorang tiba tiba meletakkan sebotol air mineral di hadapannya. Gadis itu mendongakkan wajah dan mendapati Revan yang telah berdiri di hadapannya.
"Minum! haus 'kan?" ucap laki-laki itu.
Kali ini Adel menerima botol air mineral itu dan menegakkan karena kebetulan gadis itu merasa haus.
"Sudah sampai mana?"
Adel diam tak menanggapi laki-laki itu.
"Masih kurang banyak?" tanyanya lagi karena tak kunjung mendapat jawaban dari Adel.
"Masih lumayan," jawab gadis itu singkat.
Suasana perpustakaan saat ini sepi karena para siswa masih berada di kelas mengikuti pelajaran, namun khusus anggota OSIS mereka diperbolehkan izin dari pelajaran karena menjadi panitia acara yang akan diselenggarakan oleh sekolah.
Manik hazel gadis itu masih fokus dengan komputer di hadapannya, diam-diam Revan memperhatikan wajah Adel yang telah lama sekali tidak pernah ia berada sedekat ini dengan Adel. Sejak kejadian yang terjadi sepuluh tahun lalu hubungan mereka menjadi renggang, padahal dulu mereka adalah seorang sahabat yang sangat dekat.
Raven menyodorkan sebatang cokelat kepada Adel, seketika manik hazel itu terlihat antusias saat melirik cokelat itu, namun Adel buru-buru kembali memasang wajah acuh kepada cokelat itu apalagi pada Revan.
Laki-laki itu tersenyum geli saat melihat tingkah Adel, ia tahu jika gadis di sampingnya ni tidak akan pernah bisa menolak cokelat. Namun ia berlagak jual mahal membuat Revan sedikit geli melihatnya.
"Kamu gak mau ini?" Tanya Revan pada Adel. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.
"Yakin," ucap Revan memastikan.
Adel melirik batang coklat yang saat ini telah berada di genggaman Revan. Adel itu menelan ludah sangat ingin mencicipi cokelat itu. Namun egonya sangat besar.
"Aku bukan anak kecil yang bisa kamu sogok pakai cokelat." Gadis itu mengelak tak ingin mengalahkan egonya.
"Yasudah, aku kalau gak mau, aku juga doyan. Gak Cuma kamu aja yang suka cokelat."
Adel menggigit bibir bawahnya saat melihat tangan Revan yang mulai membuka bungkus coklat.
"Keliatannya enak banget, kamu mau coba?"
Manik hazel Adel menatap cokelat yang berada tepat di depan matanya. Entah perintah dari mana gadis itu meraih cokelat itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Revan tertawa geli saat melihat tingkah gadis di sampingnya itu. Ia sangat hafal jika sejak dulu Adel tidak akan pernah bisa menolak jika diberi coklat. Sekali pun ia sedang marah.
"Ternyata kamu masih sama," ucap laki-laki itu yang membuat Adel menaikkan sebelah alisnya.
"Apa maksudmu?" Tanya Adel sinis.
"Kamu masih sama kayak Adel si gadis kecil yang gak akan bisa menolak cokelat. Aku kangen kamu, Del."
Sorot manik hazel gadis itu menatap mata elang milik Revan.