Adel melempar tasnya ke atas kasur, napas gadis itu menderu menahan kesal di hatinya. Ia sangat menyesal menerima sebatang cokelat itu dari Revan.
"Bisa-bisanya aku kena sogokan." Adel mengacak surainya frustasi, hancur sudah harga diri dan egonya yang ia pertahankan sejak lama.
Dalam hati Adel sangat membenci Revan karena kejadian sepuluh tahun yang lalu, namun kejadian apa yang membuat gadis itu membenci Revan. Adel sendiri tidak ingat apa yang membuatnya sangat membenci laki-laki itu.
Rasa benci itu telah terpendam di dalam hatinya seolah telah mendarah daging. Ia tak ingin lagi berurusan dengan laki-laki itu. Namun takdir sangat tidak adil bagi Adel, saat ia mencoba menjauh, justru ia dipertemukan kembali dengan Revan di sekolah menengah atas ini dan di organisasi yang sama pula.
"Apa-apaan sih dia!" teriak Adel seorang diri.
"Ishhh, dasar cowok nyebelin!"
BRAKK
Pintu kamar Adel terbuka dengan kencang, membuat gadis itu menoleh ke sumber suara.
"Aku baru mau masuk tapi udah kamu teriakin, Dek? Semenyebalkan itukah kakak?" Seorang laki-laki yang menggunakan celana panjang hitam dan hodie dengan warna senada berdiri di ambang pintu kamar Adel.
"Bukan Kak Arka yang aku maksud. Tetapi emang semua cowok ngeselin, sih!" jawab Adel yang belum bisa meredam amarahnya.
"BTW, Kakak mau kumpul sama temen-temen, mau ikut gak? Mama pulang malem hari ini," ajak Arka.
"Sama siapa saja?" tanya Adel. Manik hazelnya menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul lima sore. Jika mamanya pulang malem dan kakaknya ini pergi, maka ia akan berada di rumah sendirian.
"Sama teman-teman kakaklah, ikut gak?"
"Kak Arka gak usah pergi aja gimana, sih?" Adel tidak ingin ikut kakaknya pergi namun ia juga tidak berani jika harus ditinggal di rumah sendirian saat malam hari.
"Enak saja, aku tetap pergi, kalau nggak mau ikut aku tinggal nih!"
Arka melangkahkan kakinya meninggalkan kamar Adel.
"Bentar, Kak. Adel ikut!" teriak gadis itu mengejar langkah kaki kakaknya.
"Ya sudah, buruan!"
"Bentar, Adel belum mandi. Tungguin bentar!"
Arka memutar bola matanya malas, adik ceweknya ini sangat lama jika mandi membuat Arka terasa seperti menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menunggu adiknya ini mandi.
Laki-laki itu duduk di sofa ruang tamu dan menyalakan televisi selagi menunggu Adel bersiap-siap.
"Del, cepetan!" teriak Arka karena adiknya ini sangatlah lama.
"Sudah siap, kok." Arka melihat Adel yang baru saja keluar dari kamarnya dengan menggunakan celana panjang hitam dan kaos hitam tanpa lengan dengan warna senada.
"Kamu mau pakai baju gituan?" ucap Arka melihat penampilan adiknya.
Seketika Adel menepuk keningnya, ia melupakan jaket kulitnya. Gadis itu kembali masuk ke kamar mengambil jaket kulit berwarna cokelat dan segera ia kenakan.
"Maaf, Kak. Namanya juga buru-buru."
Gadis itu hanya mengeluarkan cengiran khasnya sebelum berjalan mengikuti langkah kaki Arka.
Matahari hampir tumbang saat mereka berdua keluar dari rumah, Arka mengemudikan mobilnya dan melaju di tengah padatnya jalan raya. Manik hazel Adel menatap keluar jendela kaca mobil dan menatap semburat jingga di ujung barat yang sebentar lagi akan menghilang digantikan oleh kegelapan malam.
"Di mana tempatnya?" Adel memecah keheningan di dalam mobil.
"Di caffe dekat taman kota," jawab Arka singkat.
Tak lama mobil yang mereka tumpangi telah menepi ke sebuah halaman luas, di salah satu sisi halaman itu terlihat pintu kaca sebuah cafe yang banyak dikunjungi oleh para anak muda. Walaupun belum akhir pekan, namun caffe itu tetaplah ramai.
"Ayo masuk!" ajak Arka.
Gadis itu hanya mengikuti langkah kakaknya yang berada di hadapannya. Surai hitam Adel bergoyang saat gadis itu berlari menyusul Arka yang berjalan terlalu cepat hingga dirinya tertinggal jauh di belakang.
"Pelan-pelan aja kenapa, sih?" ucap Adel saat gadis itu berhasil melangkah menyejajari langkah Arka.
"Gak bisa, aku sudah telat dan itu gara-gara nungguin kamu yang mandinya satu jam baru selesai." Adel mendengus kesal mendengar omelan kakaknya itu.
Saat mereka memasuki caffe, terlihat pengunjung memenuhi meja dan kursi yang tersedia di sana. Namun Adel melihat kakaknya yang terus berjalan menuju ke sebuah meja panjang yang dikelilingi oleh berapa orang laki-laki.
"Hai, Bro. Bawa cewek cantik, nih!" sapa seorang laki-laki bersurai cokelat yang duduk di salah satu kursi.
"Diam, Lo. Dia adik gue," balas Arka.
"Yaelah, sinis amat. Gue juga tahu kali kalo dia adik lo,"
"Hai, Adel," gadis itu mengangguk sekilas balas menyapa teman-teman kakaknya.
Adel beberapa kali ikut kakaknya nongkrong seperti ini dan teman-teman Arka juga sering ke rumah. Jadi Adel sudah banyak mengenal teman-teman kakaknya ini, bahkan ada yang sangat akrab dengan Adel.
"Gimana sekolah lo, Del?" tanya salah seorang dari mereka yang telah Adel kenali.
"Baik kok, Kak," jawab gadis itu.
"Ngapain lo tanya-tanya, kayak emaknya aja lo," sahut seseorang yang duduk di sampingnya.
"Yaelah, basa-basi ini daripada diem aja."
"Sorry, gue telat."
Seorang laki-laki datang mendekat dan duduk di kursi sebelah Adel. Namun tatapan gadis itu bukan kepada laki-laki itu, namun seorang laki-laki lain yang ternyata mengikutinya di belakang dan ikut mendudukkan pantatnya di hadapan Adel.
"Hai, Rik. Dari mana aja, Lo?" sapa Arka pada temannya yang baru saja datang.
"Biasalah, kuliah sudah mau skripsi."
"Ini Revan kan, adik Lo? Hai Bro, lama tidak bertemu," sapa Arka pada Revan, laki-laki itu membalas tos dari Arka.
Mereka saling kenal karena dulu keluarga mereka sangatlah dekat, selain Adel dan Revan, Riko─ kakak Revan, juga berteman dekat dengan Arka. Walaupun orang tua mereka tidak sedekat dulu namun tidak mempengaruhi pertemanan Riko dan Arka sampai sekarang yang masih sering nongkrong bareng.
"Ehh, Adel 'kan? Gila, sekarang cantik banget." Adel hanya tersipu malu saat mendengar ucapan Riko, sedangkan Arka menjitak kepala laki-laki itu tidak terima jika ia menatap Adel dengan mata berbinar.
"Awas aja Lo deketin adek gue." Riko dan beberapa teman Arka yang berada di sana tertawa mendengar ucapan laki-laki itu. Berbeda dengan Revan dan Adel yang hanya diam tak menggubris pembicaraan orang-orang di sekitarnya.
Suasana canggung Adel rasakan di tengah para laki-laki yang saling mengobrol dan sesekali bersenda gurau. Gadis itu sedikit menyesal karena mengikuti kakaknya untuk ikut ke tempat ini karena ia bertemu Revan. Kejadian tadi siang di perpustakan masih membuat Adel kesal, lebih tepatnya harga dirinya yang telah runtuh seolah semakin runtuh saat melihat Revan yang duduk di hadapannya dan sesekali mencuri pandang pada gadis itu.
"Kalian ini satu sekolahan 'kan? Berarti kalian sering bertemu dong?" ucap Riko yang membuat Adel reflek menoleh.
"Iya, kita setiap hari ketemu," jawab Revan yang membuat mood Adel semakin memburuk. Entah mengapa mendengar suara laki-laki dihadapannya ini sudah membuat hatinya merasa dongkol
"Kak, aku ke kamar mandi dulu!" pamit Adel pada Arka karena malas menanggapi pembicaraan Riko.
Adel mendengus kesal menatap dirinya sendiri di kaca toilet. Gadis itu membasuh mukanya di wastafel mencoba melarutkan rasa kesal yang berada di dalam hatinya. Setelah beberapa saat ia berada di depan wastafel gadis itu memutuskan untuk kembali.
Tubuh Adel mematung saat mendapati seorang laki-laki yang telah menunggunya di depan pintu toilet wanita.
"Ngapain Lo, disini?"