"Lo gak tahu ini sekolah? Jangan seenaknya!" sebelah tangan Revan menahan tangan Bianca yang hampir menampar Adel.
"Siapa lo? Pacar keduanya si Adel? Banyak juga cowok yang kepincut sama cewek kecentilan ini," sinis Bianca.
"Jaga omongan lo, ya!"
"Akhh … " Bianca mengerang karena Revan memutar tangannya membuat gadis itu kesakitan dibuatnya.
"Lepasin gue!" teriak Bianca tidak bisa menarik tangannya yang semakin sakit.
"Awas kalau sampai lo berani gangguin Adel, gue akan patahin tangan lo!" ancam Revan mendorong tubuh Bianca. Gadis bersurai maron itu segera pergi meninggalkan Adel dan Revan, sedangkan Lina masih ingin melempari gadis itu dengan sepatunya. Namun Adel menahan Lina agar bersabar.
"Kamu nggak papa?" tanya Revan setelah lengang di koridor, para siswa yang menonton pun ikut pergi dan masuk ke dalam kelas masing-masing.
"Lain kali nggak perlu ikut campur urusan gue, terima kasih!" jawab Adel sebelum gadis itu melenggang pergi meninggalkan Revan yang mematung di tempat.
"Terima kasih ya Revan, jangan diambil hati, dia emang sifatnya gitu!" ucap Lina yang dibalas anggukan kepala oleh Revan, ia lebih tahu dari siapa pun jika sifat Adel sejak kecil memang seperti itu.
Suasana kelas ramai karena perbincangan siswa yang berada di kelas, doa Lina terkabul dan kelas mereka kembali jam kosong. Hari ini benar-benarnya surganya para murid. Namun riuhnya kelas tidak dapat mengusik Adel yang duduk termenung menatap luar jendela, gerimis mulai turun di luar sana, matahari tidak lagi terlihat dan bersembunyi di balik awan hitam.
"Lo mikirin apa, Del? Si Bianca?" tanya Lina karena sejak tadi teman sebangkunya ini hanya diam dan tidak seceria biasanya.
Gadis itu hanya terdiam tak menjawab pertanyaan Lina.
"Jangan pikirin dia, kalau lo suka sama Daffa lanjutin aja terus hubungan kalian! Jangan terkecoh dengan ancaman orang lain!"
Gadis itu masih terdiam mendengar ucapan dari Lina, entah apa yang Adel pikirkan saat ini. Kejadian tadi memang diluar pemikirannya, selama ia sekolah di SMA belum pernah ia mendapat labrakan dari salah satu teman maupun guru. Hal ini benar-benar baru pertama kali Adel alami.
Namun yang mengisi pikiran Adel bukanlah labrakan dari Bianca, melainkan Revan. Laki-laki itu pasti menertawakannya sekarang.
"Oi, lo mau pulang nggak? Ngelamun aja terus!" ucap Lina.
Jam pulang masih lima belas menit lagi, namun para teman sekelas Adel sudah hilang entah kemana. Biasanya mereka menunggu di parkiran sepeda motor agar jika pintu gerbang dibuka mereka bisa langsung pergi.
"Hari ini gue nebeng, Lin!"
"Lo nggak pulang bareng Daffa?" tanya Lina.
Gadis itu menggeleng. "Males," jawabnya.
"Yes, gue bisa apel abang kesayangan," ucap Lina pembuat Adel menjitak kepala sahabatnya itu.
"Jangan macam-macam, Lo!"
Lina meringis merasakan perih di keningnya.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran, Lina membawa motor sendiri sedangkan Adel diantar oleh Kakaknya, Arka. Biasanya ia akan naik taksi atau nebeng Lina jika kakaknya itu tidak bisa menjemputnya.
Motor yang dikendarai Lina masuk ke pekarangan rumah Adel, bertepatan dengan sebuah mobil yang juga masuk membuat Lina berseru girang. Tentu saja mobil itu adalah mobil milik Arka yang baru saja pulang dari kampus.
"Eh, siapa ini? Ngapain ke sini?" ucap Arka saat ia baru saja keluar dari mobilnya dan melihat Lina, membuat gadis itu berubah cemberut karena ucapan laki-laki itu.
"Ngeselin banget sih lo, Kak. Sambut gue dengan pelukan kek."
Arka tertawa mendengar jawaban Lina, gadis itu sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Ia tahu jika Lina yang setiap hari bersama dengan Adel dan selalu ada buat adiknya.
"Ayo masuk!" ajak Adel.
Mereka bertiga langsung masuk ke dalam rumah Adel.
"Kalian bertiga datangnya kenapa bisa barengan? Pada janjian ya?" tanya Rossa-- Mama Adel dan Arka.
"Kebetulan saja kok tante," jawab Lina.
"Kebetulan sekali, tante bikin seblak kesukaan kamu, Lin. Makan bareng yuk!" ucap wanita paruh baya itu yang sedang membersihkan meja makan.
"Wahhh, kebetulan yang sangat pas, Tante. Aku sudah sangat lapar." Lina mengusap perutnya seolah ia telah dilanda kelaparan.
"Dasar tukang makan!" Gadis itu melirik kesal ke arah Arka yang baru saja keluar dari dalam kamarnya.
"Ada yang pedas gak, Ma?" tanya Adel yang juga baru saja keluar dari kamarnya.
"Tentu saja ada, Mama tahu selera kamu, Sayang!" Adel terkekeh, mamanya ini memang sangat pengertian, ia sangat tahu jika Adel-- anak bungsunya tidak bisa makan makanan tanpa ada rasa pedas. Ia merasa makanan yang ia makan itu kurang mantap jika tidak pedas.
Ketiga pasang mata menatap antusias saat Rossa membawa sepanci seblak dari dapur, aroma masakan itu membuat perut Adel keroncongan pertanda jika cacing di dalamnya telah berteriak minta diisi.
Mereka bertiga telah siap dengan mangkuk masing-masing dan menunggu jatah.
Dering ponsel Adel membuat gerakan tangannya yang hendak menyendokkan kuah seblak ke mulutnya berhenti.
"Halo!" ucap Adel menjawab telepon.
["Del, kamu sudah pulang? Aku cari kamu ke kelas gak ada."] suara dari seberang ponselnya.
"Iya, aku sudah pulang bareng Lina," jawab Adel.
"Dari Daffa?" tanya Lina yang dijawab anggukan kepala oleh Adel.
["Syukurlah kalau kamu sudah pulang, kalau begitu aku juga mau pulang dulu ya, selamat istirahat!"]
Adel mengangguk menjawab ucapan Daffa dari telepon yang tidak mungkin dilihat oleh laki-laki di seberang sana.
"Dia ngomong apa?" tanya Lina ingin tahu.
"Cuma tanya sudah pulang apa belum, dia nyari gue ke kelas."
"Dia gak ngomongin tentang insiden tadi siang? Apa jangan-jangan dia gak tahu?" Adel menggeleng sebagai jawaban, ia tidak tahu dan tidak peduli apakah Daffa mengetahuinya atau tidak.
"Insiden apa?" tanya Arka penasaran, sejak tadi laki-laki itu mendengarkan ucapan Adel dan Lina.
"Bu-bukan apa-apa kok, Kak," jawab Adel berbohong. Bisa bahaya jika kakaknya ini tahu.
Drrrttt Drrttt
Ponsel Adel kembali bergetar membuat gadis itu segera meraihnya dan meninggalkan mangkok seblaknya menuju ke kamar karena Daffa meneleponnya. Ia belum bercerita kepada Arka tentang dirinya dan Daffa, bisa-bisa ia di introgasi langsung oleh kakaknya itu di meja makan, dan Adel tidak mau itu terjadi.
Gadis itu menghela napas kesal, mengapa laki-laki ini mengganggunya di saat..
"Halo!" ucap Adel menjawab telepon.
["Hai cewek kecentilan,"] jawab suara seorang gadis di seberang sana. Adel menjauhkan ponselnya dan melihat nama kontak yang bertuliskan Daffa. Benar nomor laki-laki itu yang menelpon akan tetapi mengapa suara perempuan yang ia dengar.
["Aku penasaran dengan bagaimana ekspresi wajahmu saat ini, hahaha,"] suara seberang sana tertawa, suara itu dengan mudah dapat Adel kenali.
"Apa yang lo lakuin, hah?" Adel geram mendengar suara gadis itu.
["Lihat aja foto yang gue kirim!"] Bianca memutuskan sambungan teleponnya disusul getaran di ponsel Adel.
Ada pesan dari Daffa, foto laki-laki itu sedang makan malam bersama Bianca membuat Adel mengepalkan tangannya kesal.