"Eh, iya Mbak. Maaf ... Terima kasih banyak ya, Mbak." Hilmi mengambil paper bag itu.
Nadira masih diam di tempatnya. Melirik ke arah jalanan dekat toko donat. Mengamati dari kejauhan orang-orang yang berlalu lalang di sana.
Karena tak mengerti apa yang dilakukan Nadira sekarang, Hilmi pun hanya ikut melihat ke arah jalanan itu sambil sesekali melihat ke arah Nadira.
Nadira yang merasa aneh dengan Hilmi langsung bertanya padanya.
"Ngapain kamu ngikutin saya liat ke arah sana?"
Hilmi menoleh ke arah Nadira. "Saya ngikutin Mbak. Lah, Mbak sendiri ngapain liat ke arah sana?"
"Ya ... suka-suka saya dong mau ngeliat ke arah mana. Mata, mata saya ... emangnya gak boleh?"
"Ya ... boleh, boleh," sahut Hilmi membenarkan Nadira.
Suasana pun kembali hening. Nadira masih terdiam di sini. Hilmi yang berada di dekatnya hanya bisa ikut terdiam tanpa mengatakan satu kata apapun.
Ingin bertanya dan mengobrol. Namun, Hilmi merasa segan dan takut jika Nadira merasa risih nantinya.
"Duh, nanya apa kek gitu. Masa diem aja," gumam Nadira dalam hatinya.
Karena Hilmi hanya membersihkan meja tanpa mengajak Nadira untuk bicara, akhirnya Nadira yang memulai pembicaraan ini.
"Kamu tinggal di mana, Mi?" tanya Nadira.
Akibat pertanyaan random itu, Hilmi langsung overthinking dan merasa aneh dengan Nadira. Dia merasa bahwa ini adalah mimpi. Dengan kencang, dia menampar pipinya.
Pakk!
"Aw!" Hilmi menjerit kesakitan.
Nadira kembali mengerutkan keningnya. "Ngapain kamu nabok pipi kayak gitu? Masih sehat?"
Hilmi menatap wajah Nadira seraya mengusap pipinya yang terasa panas itu.
"Eng–gak, Mbak ... Gak kenapa-kenapa. Cuma gak yakin aja."
"Gak yakin? Maksudnya?" Nadira heran.
"Ya ... gak nyangka aja, Mbak Nadira mau nanya-nanya saya. Basa-basi kayak gitu."
Nadira tersentak. Apakah dia terlalu cuek hingga Hilmi merasa sungkan dan segan dengan dirinya. Dia sadar, kalau dia terlalu bersikap judes pada Hilmi. Namun, karyawan lain tetap bisa menganggapnya teman.
Mungkin ini saatnya dia melakukan pendekatan dengan Hilmi. Agar Hilmi tidak menganggap dirinya sebagai atasan yang galak dan segan untuk diajak berteman.
"Kamu tinggal di mana? Serius nanya."
"Di ... di deket Bakso Pak Kumis, Mbak. Di sampingnya kan ada gang, nah ... saya tinggal di kosan deket situ."
"Oh! Pak Kumis yang terkenal itu, ya? Yang kuah baksonya warna hitam itu, kan?" sahut Nadira yang terlihat semangat dan ceria.
"Ih ... itu sih baksonya enak banget. Wajar aja kalo setiap hari rame terus. Saya suka makan di sana kalo lagi gabut." Nadira tertawa kecil.
"I–iya, Mbak." Hilmi hanya bisa membalas dengan senyuman kebahagiaan yang tak terhingga.
Baru kali ini dia melihat sosok Nadira yang cuek, judes, dan berwibawa, kini tertawa dan terlihat sangat ceria di hadapannya. Ditambah lagi dengan obrolan yang sangat receh dan tidak penting ini.
"Kamu pulang sama siapa nanti?" lanjut Nadira bertanyalah pada Hilmi.
"Sendiri, Mbak."
"Naik?"
"Ja–jalan kaki."
"Jalan kaki?" Nadira merasa agak kasian dengan Hilmi.
Memang tidak terlalu jauh jarak antara toko donat ini dengan Bakso Pak Kumis. Tapi, juga tidak bisa dibilang dekat.
"Emangnya gak cape?" tanya Nadira heran.
"Lumayan capek sih, Mbak. Tapi ... ya ... hitung-hitung olahraga."
"Mau bareng pake mobil saya?" Nadira berusaha memberikan tawaran.
Sontak Hilmi terkejut dan tak menyangka. Mana mungkin pelayan seperti dia duduk satu mobil, berdua dengan atasannya.
"Wah ... enggak usah, Mbak. Saya jalan kaki aja ...," tolak Hilmi dengan halus.
Rasa tidak enak Hilmi pada Nadira dan takut membuatnya repot, justru disalahartikan oleh Nadira.
"Ih ... belagu banget. Ditawarin malah nolak."
"Eh ... b–bukan gitu, Mbak. Maksud saya ...." Belum sempat menjelaskan hal yang sebenarnya, Nadira malah memotong.
"Malam ini saya anterin kamu pulang. Cepetan beres-beresnya. Saya tunggu di mobil."
"Tapi, Mbak ...."
"Gak ada penolakan, ya!" Nadira langsung pergi meninggalkan Hilmi.
"Aduh ...," lirih Hilmi.
Karena Nadira memaksa, dengan cepat Hilmi menyelesaikan pekerjaannya. Mengelap meja, kursi, dan mengangkat kursi ke atas meja.
Setelah beberapa lama berjuang sendirian di tengah gelapnya malam. Akhirnya, pekerjaannya pun selesai. Dengan cepat dia mengambil tas berisi barang-barang pribadinya dan segera keluar dari toko donat itu.
Hilmi pun menghampiri mobil Nadira. Sangat ragu dan merasa tidak enakan. Namun, jika dia tidak menuruti Nadira, pasti Nadira akan memarahinya.
Dengan perlahan Hilmi mendekati pintu depan di mana Nadira sedang memegang setir mobilnya.
Nadira yang melihat Hilmi hanya mematung di luar, kemudian membuka jendela mobilnya.
"Hilmi ... ngapain diem di sini? Buruan masuk ...," perintah Nadira.
Dengan polosnya Hilmi bertanya, "Masuknya lewat mana, Mbak?"
"Lewat panti asuhan! Ya, lewat mana aja ... pintu di samping saya juga boleh."
"I–iya, Mbak. Maaf ...."
Hilmi pun langsung beranjak dari tempatnya dan pergi ke pintu depan sebelah kiri Nadira. Membukanya dengan perlahan, dan ada rasa ragu untuk memasukinya.
Ketika hendak menutup pintu mobilnya, entah kenapa Hilmi tak bisa menutupnya.
Nadira pun menepuk dahinya karena gemas dengan tingkah Hilmi. "Yang kenceng dong Mi nutupnya ...."
"Oh ... iya, Mbak."
Jeder!
Saking kencangnya, Nadira sampai kaget.
"Ya gak se-kenceng itu juga, Mi. Kalo kacanya pecah, gimana?" ucap Nadira geregetan.
"Eh ... iya, Mbak. Maaf ...." Hilmi tersenyum kecil ketakutan.
Nadira menghembuskan napasnya.
"Ya udah ... sekarang tunjukkin arah ke rumah kamu."
Hilmi bingung dengan perkataan Nadira. Apakah atasannya itu lupa kalau rumahnya dekat dengan Bakso Pak Kumis, atau Nadira diam-diam mengidap penyakit pikunan.
"Mbak ... tadi katanya tahu Bakso Pak Kumis?"
Seketika Nadira berpikir. "Oh, iya ...," sahut Nadira dengan sedikit rasa malu.
Dia pun menginjak gas mobilnya.
Setelah beberapa lama, mereka berdua pun sampai di depan Bakso Pak Kumis. Karena penasaran, Nadira ingin mengantarkan Hilmi sampai benar-benar di depan kosannya.
"Abis ini ke mana, Mi?"
"Udah, Mbak. Sampai sini aja. Terima kasih, ya." Hilmi mencoba membuka pintu mobilnya.
Namun, terhalang oleh ocehan Nadira. "Tunggu!"
Teriakan Nadira sontak membuat Hilmi menahan tangannya.
"Kenapa, Mbak?"
"Ngapain kamu keluar? Kan belum saya suruh. Kosannya di mana? Biar saya anter sampai sana."
Hilmi benar-benar terkesima dan kagum dengan kebaikan Nadira kali ini.
"Eng ...." Baru saja Hilmi ingin menolak, Nadira langsung memotongnya. "Enggak ada enggak-enggak-an. Buruan, cepet ... di mana?" paksa Nadira.
Kali ini, Hilmi benar-benar pasrah. Hilmi pun menunjukkan jalannya.
Dan setelah sampai tepat di depan kosan Hilmi, Hilmi langsung berterima kasih pada Nadira.
"Udah sampe, Mbak. Terima kasih banyak, ya." Hilmi tersenyum manis.
Baru kali ini Nadira melihat senyuman manis dari Hilmi. Tatapannya kini tak bisa berpaling dari senyumannya. Hingga Hilmi pun merasa kikuk dan malu melihat Nadira seperti itu.
"Mbak?"
Nadira masih terdiam.
Mau tidak mau, Hilmi pun mengeraskan suaranya walaupun sebenarnya tidak enak.
"MBAK?"