Sudah jam 4 subuh lewat beberapa menit. Suara azan pun mulai terdengar. Karena jarak toko donat dan masjid berseberangan, suara azan itupun membangunkan Nadira.
Nadira sempat terkejut, melihat dirinya yang tertidur di toko donat ini hingga terdengar azan. Lantas, dia pun dengan segera melihat jam di gawai miliknya. Dan sekarang dia sadar kalau dia tertidur di kantor ini.
Dan dia juga terkejut untuk yang ke dua kalinya ketika sadar bahwa ada Hilmi yang tertidur di sampingnya. Belum lagi, laptop kerjanya yang posisi persis berhadapan dengan Hilmi.
Seketika, dia langsung ingat tugas kontennya yang tertunda semalam dikarenakan dia tertidur.
Dengan sigap, Nadira menarik laptopnya. Dan tangan Hilmi yang semula berada di atas laptop itu pun langsung tergeser dan membuat Hilmi terbangun.
Nadira membuka laptopnya, lalu dengan cepat menekan tombol turn on di laptop itu. Sambil menunggu laptopnya menyala, dia melihat ke arah Hilmi yang wajahnya tak karuan karena baru saja terbangun.
"Kamu ngapain tidur di sini?" tanya Nadira heran.
Belum sempat Hilmi berbicara, Nadira langsung berkata lagi.
"Kenapa kamu gak bangunin saya semalem? Terus, laptop saya kenapa bisa sama kamu?"
Hilmi mencoba untuk membuka mulutnya, namun lagi-lagi Nadira menghentikannya.
"Diem!" seru Nadira sambil mengacungkan telunjuk kirinya ketika melihat laptopnya sudah menyala.
Dia cek kembali tugas kontennya. Dan betapa herannya dia ketika melihat kontennya sudah selesai. Padahal, dia ingat, saat semalam dia mencoba untuk istirahat sejenak dengan memejamkan mata, konten itu masih berantakan. Dan dia ingat kalau dia langsung tertidur juga saat itu.
Dia menoleh ke arah Hilmi.
Sebelum Nadira bertanya, Hilmi langsung mengatakan hal yang sebenarnya terjadi.
"Mohon maaf sebelumnya, Mbak. Semalam saya liat Mbak Nadira keliatannya lesu dan capek banget." Hilmi menutup mulutnya yang menguap dengan tangannya.
"Terus, pas saya mau bangunin, saya liat kerjaan Mbak belum selesai."
"Berhubung dulu saya bisa bikin-bikin konten, walaupun gak terlalu jago, akhirnya saya otak-atik, deh ...," jelas Hilmi yang seketika langsung membuat Nadira merasa terbantu.
Hilmi mengarahkan pandangannya ke meja. Takut kalau Nadira marah padanya karena dia sudah berani mencampuri kerjaan Nadira tanpa meminta izin.
Nadira melihat kembali konten yang Hilmi buat. Ada enam konten yang sudah Hilmi selesaikan dan hasilnya di luar ekspektasi Nadira. Cukup bagus dan tak kalah dengan buatannya sendiri.
"Berapa jam kamu selesain ini semua?" tanya Nadira.
"Sekitar dua jam lebih, Mbak."
"Gila, dua jam bisa bikin enam konten dan hasilnya bagus semua. Kamu aja cuma bisa bikin dua konten, Nad. Belum lagi ditambah jam males-malesan ...," gumam Nadira tanpa sadar merendahkan dirinya sendiri.
"Maaf ya, Mbak. Kalau ikut campur tentang kerjaan Mbak." Hilmi merasa bersalah.
Nadira tidak menghiraukan pertanyaan Hilmi. Jika dia bilang kalau dia memaafkannya, tapi kerjaan Hilmi bagus. Tetapi, jika dia memujinya, pasti akan terasa sangat gengsi untuknya.
Akhirnya, Nadira memilih diam. Untung saja suara ikamah dari masjid sudah terdengar, kali ini bisa menjadi alasan Nadira untuk tidak menjawab permintaan maaf Hilmi.
"Udah sana, salat subuh. Nanti telat ...," seru Nadira.
"Mbak ... mau jadi makmum saya?" tanya Hilmi dengan senyuman yang sumringah.
"Saya lagi gak salat."
Hilmi pun merasa agak sedikit kecewa. Namun, karena Nadira tidak marah padanya tentang kerjaannya semalam, masih ada rasa bahagia yang menyelimutinya kali ini.
"Oh ... ya udah, Mbak. Saya salat dulu, ya. Permisi ...." Hilmi beranjak dari tempat duduknya.
Nadira melihat kepergian Hilmi hingga menghilang dari pandangannya. Tanpa sadar Nadira tersenyum, disusul dengan pandangannya ke arah konten buatan Hilmi.
"Mah ... dia baik banget," lirih Nadira lalu menghembuskan napas lelahnya sambil terus tersenyum.
***
Matahari sudah hampir tepat di atas kepala. Karena semua karyawan kecuali Tata dan Rara beragama islam, mereka diizinkan untuk meninggalkan pekerjaannya sementara dan menunaikan ibadah terlebih dahulu.
Karena Nadira sedang berhalangan, dia pun turun ke bawah menemani Rara sambil memakan donat dan kopi hangat di tengah-tengah jam istirahat.
Tak beberapa lama, Ayman dan Hilmi datang setelah selesai menunaikan kewajibannya.
"Eh, Kak Ayman, Kak Hilmi ... wajahnya cerah-cerah sekali ...," puji Rara kepada mereka berdua.
Ayman dengan gayanya yang kepedean tersenyum layaknya seorang artis baru saja pulang dari istana Cinderella. Sementara Hilmi hanya menarik ujung kedua bibirnya dengan lekukan kulit di bawah matanya.
"Kalian udah makan?" tanya Nadira seraya menoleh ke arah mereka bertiga secara bergiliran.
Ayman, Hilmi, dan Rara pun menggeleng.
"Ra ... tolong pesen nasi box yang kayak biasanya lima. Buat saya, kamu, Hilmi, Ayman, sama Tata. Nih uangnya ...." Nadira memberikan uang berwarna merah sebanyak dua lembar.
"Kalo udah dateng, tolong bawa ke ruangan saya, ya ...."
"Iya, Mbak. Beres ...," sahut Rara.
Ayman yang kelaparan dan malas untuk ke luar pun dengan senang hati mendengarnya. "Wih, ditraktir Bos Nadira, nih ...."
"Jangan panggil saya bos."
"Hehe ... iya, maaf. Maksudnya ... Mbak Nadira." Ayman tersenyum sumringah.
Nadira hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Ayman. Kemudian dia langsung melangkahkan kakinya menuju tangga.
Hilmi yang dari tadi bingung dengan sikap Nadira yang tidak ingin dipanggil dengan sebutan 'bos' itu, langsung bertanya pada Ayman dan Rara.
"Man ... emangnya kenapa kalo Mbak Nadira dipanggil bos?"
"Mbak Nadira emang gitu, Mi. Merendah untuk meroket," jawab Ayman.
"Walaupun keliatan judes, cuek, dan suka jahil ... tapi Mbak Nadira rendah hati banget, Kak." Rara menyambungkan lebih detail.
"Oh ...." Hilmi mengangguk paham.
Ayman melihat donat di etalase toko sudah hampir habis. Kini saatnya dia kembali ke dapur dan membantu Tata melanjutkan pekerjaannya.
Hal itu disusul Hilmi. Melihat meja-meja kosong penghuni namun masih ada bekas makanan. Dia pun segera pergi untuk membersihkannya.
Berbeda dengan Rara, karena belum ada pelanggan baru lagi, dia bisa dengan santai menikmati film drama korea kesukaannya. Belum lagi dengan fasilitas wifi gratis di toko ini, semakin membuat nyaman dan menentramkan hari-harinya.
***
Hari sudah malam, toko kembali ditutup. Namun, sebelum Hilmi sempat membereskan barang-barangnya, Nadira datang menghampirinya.
Hilmi merasa agak aneh ketika Nadira mendekatinya. Tumben sekali Nadira menghampirinya seperti ini. Biasanya, dia yang selalu disuruh untuk ke ruangan Nadira.
"Mi ...," panggil Nadira.
"Iya, Mbak?" Hilmi menyimpan alat bersih-bersihnya di atas meja.
Nadira menunjukkan sebuah paper bag berisi makanan. Aromanya yang tercium sangat sedap, membuat Hilmi merasa lapar dan menduga bahwa ini adalah makanan spesial.
"Ini apa, Mbak? Untuk pak bos, ya? Yah ... tadi pak bos baru aja pulang," ucap Hilmi.
"Siapa bilang buat pak bos? Buat kamu."
Hilmi langsung terdiam tak percaya. Bagaimana bisa Nadira mau memberikan sesuatu kepada pelayannya.
"Se–serius, Mbak?" Hilmi masih tak percaya. "Oh, ini semua karyawan dapet, ya? Wih ... ada acara apa, Mbak?"
Nadira mengerutkan dahinya. "Apa, sih? Orang ini saya kasih cuma buat kamu, kok."
"Ini tuh sebagai bentuk terima kasih saya karena kamu udah bantuin kerjaan saya." Tanpa basa-basi Nadira langsung mengatakan tujuannya.
Hilmi masih tak percaya. Kebaikannya pada Nadira seharusnya tak perlu dibayar seperti ini.
"Ini, cepetan ... ambil, dong. Saya mau pulang."
Hilmi masih terdiam.
"Heh? Gak mau? Kalo gak mau saya ambil lagi nih makanannya."