Sanjana begitu menikmati percintaan itu, hingga berencana membawanya ke jenjang yang lebih serius.
Ia ingin menjadikan Vijay sebagai calon Imamnya. Tentu saja hal itu disambut gembira oleh kedua orang tua gadis berwajah blasteran tersebut.
"Apa kali ini kau serius? Pria itu mau menemui kami?" Fatima duduk di sisi Sanjana dengan memegang secangkir teh hijau yang baru saja ia seduh.
"Iya, Bu. Kali ini Vijay setuju untuk menemui kalian. Katanya sekalian mau silaturahmi," kata Sanjana antusias.
Sepertinya wanita dengan rambut tebal itu sudah tak sabar lagi untuk memperkenalkan Vijay di depan kedua orang tuanya. Mengingat setahun telah berlalu, mereka memadu kasih. Namun, tak pernah sekalipun pria itu datang berkunjung. Menunjukan etikad baiknya mempersunting Sanjana.
Entah Malaikat mana yang datang menyentuh hati Vijay, hingga pria asal India itu setuju menemui Suraj dan Fatima.
"Baguslah. Apakah kau sudah memberitahu Ayahmu?" tanya Fatima.
"Sudah, katanya Ayah sudah tak sabar lagi untuk bertemu Vijay." Sanjana terlihat sangat bahagia ketika menceritakan Vijay yang begitu ia cintai.
Sejak tadi wajah gadis itu berseri-seri. Auranya terus bersinar, seolah rona cinta terus mekar sepanjang waktu. Tanpa ia sadari, ada sesuatu hal yang buruk tengah menantinya di ujung persimpangan jalan.
**
Sementara itu, di restoran mewah. Seorang pemuda tengah asik menikmati makan malamnya bersama wanita cantik nan imut.
Keduanya saling melempar senyuman sembari memotong stik sapi kelas atas. Ada cake dan juga anggur merah, lengkap dengan buket bunga dan juga kotak kecil berbahan beludru.
Suasana seperti itu lebih tepatnya terlihat seperti seseorang yang tengah melamar kekasihnya.
"Apakah kau menikmatinya?" tanya pemuda itu.
"Tentu saja. Ini sangat nikmat. Bagaimana denganmu? apakah kau suka?" gadis berwajah oriental itu balik bertanya.
"Jelas saja aku suka. Apa lagi kalau ditemani gadis cantik sepertimu." Tak tanggung-tanggung, pemuda berjas biru itu memuji kecantikan sang wanita yang belum lama ini ia taklukan.
Dengan wajah memerah, gadis bergaun senada dengannya itu menahan malu yang begitu membuncah.
"Vijay, kau terlalu berlebihan."
"Aku tidak berlebihan. Kenyataannya kau sangat cantik, Zoyaku sayang."
Mereka adalah Zoya Taklima dan Vijay Sing Grover. Sepasang kekasih yang belum lama ini resmi berkencan.
Vijay mengkhianati cinta tulus Sanjana. Padahal gadis itu hendak memperkenalkannya kepada kedua orang tua. Namun, saat ini Vijay sedang asik bermain cinta bersama gadis bernama Zoya. Seakan melupakan janji yang belum lama ini ia sematkan di depan Sanjana, bahwa dirinya siap menemui Suraj dan Fatima selaku orang tua gadis berdarah India Pakistan tersebut.
Namun, rupanya ia lebih memilih Zoya, gadis yang katanya lebih kaya dari Sanjana.
"Kau membuatmu malu." Wajah Zoya lebih pantas disebut seperti kepiting rebus. Sebab, warnanya yang begitu merah menyala setelah mendengar untaian pujian dari mulut manis Vijay.
"Untuk apa malu? kenyataannya memang seperti itu." Lihatlah, bahkan Vijay mempertegas sanjungannya dengan menekan nada ucapan. Tanpa ia sadari Sanjana tengah menyusun sebuah rencana makan malam bersama kedua orang tuanya di rumah.
"Ibu, bagaimana penampilanku hari ini? apakah aku sudah terlihat cantik?" Sanjana mengenakan gaun putih sederhana. Ia menunjukan kepada Fatima, meminta pendapat, apakah dia sudah terlihat cantik atau belum.
"Wah, lihatlah anak siapa yang sedang berseri-seri ini. Kau terlihat sangat cantik, Sayang," sanjung Fatima, memuji putrinya setinggi langit.
"Benarkah? apakah itu artinya Vijay juga akan menyukai dandananku ini?" tanya Sanjana antusias.
Wanita itu tampak bahagia dalam menyambut kehadiran Vijay yang tak akan pernah datang ke rumahnya. Sebab, pria pengkhianat itu tengah asik memadu kasih bersama Zoya Taklima di sebuah restoran mewah di bilangan Jakarta Pusat.
Selama berjam-jam Sanjana menanti kehadiran Vijay. Bahkan makan malam yang sudah disusun dengan rapi dan epik, telah terlewatkan begitu saja.
Suraj dan Fatima pun telah makan malam lebih dulu, karena perutnya sudah sangat lapar. Sedangkan Sanjana masih tetap setia menanti kehadiran Vijay yang tak kunjung datang.
Berulang kali Sanjana menghubungi nomor Vijay, tetapi dalam waktu bersamaan panggilan itu direjec, bahkan tidak aktif sama sekali.
Hal itu tentu saja membuat Sanjana semakin kalut, walau dalam hati Suraj dan Fatima sudah bisa memastikan, bahwa putrinya itu tengah mengalami pengkhianatan. Namun, mereka memilih diam. Sebab, ini adalah jalan yang dipilih oleh Sanjana.
Tangan itu mulai berkeringat dingin. Beberapa kali saling meremas kesepuluh jemarinya, sebagai bentuk pengalihan perhatian.
Sanjana mulai resah, hatinya kalut tiada terkira, hingga tak terasa waktu telah menunjukan pukul sebelas malam. Akan tetapi, yang dinantikan tak kunjung datang, sampai hati Sanjana pun terluka.
Dia meneteskan air mata melalui isakan ringan. Namun, perlahan suara itu semakin kentara.
"Hiks, hiks," tangisnya sembari meremas jemari.
"Vijay," lirih Sanjana, menyebut nama kekasihnya dalam tangisan.
"Sudahlah, Nak. Dia tak akan datang. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Bukankah seharusnya orang-orang sudah pada tidur?" Lembut sekali Suraj berkata-kata. Seakan tak ingin menambah luka hati putrinya.
Pria itu tak membentak, apa lagi menyalahkan Sanjana atas apa yang terjadi. Walau sejujurnya sejak awal Suraj tahu, bahwa pria bernama Vijay itu tak akan pernah datang menemuinya. Hanya saja dia tak ingin membebani Sanjana dengan memberitahu isi hatinya.
Pun Fatima, wanita paruh baya yang masih tampak cantik meski tak lagi muda itu cukup tahu apa yang terjadi. Namun, dia juga mengambil langkah sama seperti sang suami.
"Ayah, mungkin saja terjadi sesuatu yang buruk pada Vijay. Kita harus mencarinya, atau kita harus ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya." Namun, ternyata Sanjana masih memiliki persepsi lain. Dia pikir Vijay sedang dalam masalah.
"Sanjana, kau jangan terlalu polos dalam menilai seseorang. Bukankah yang terjadi ini sudah sangat jelas? Dia tak akan pernah datang, Nak. Mengapa kau tidak mengerti juga?" sarkas Fatima. Memberi pemahaman kepada Sanjana yang masih terus merasa yakin pada cinta Vijay.
"Tapi, Bu. Ini pasti ada kesalahan. Vijay tak akan sanggup menyakitiku, dan--"
Ting!
"Sanjana, sebaiknya kita putus. Jangan tanyakan alasannya mengapa, karena aku juga tak memiliki alasan yang tepat. Tolong maafkan aku."
Sekujur tubuh Sanjana gemetar begitu membaca pesan masuk Vijay yang begitu menyayat hati.
Dada sebelah kirinya berkedut kesakitan. Ritmenya semakin kencang seiring dengan tetesan air mata yang kembali berderai membasahi pipi.
"Sanjana, apa yang terjadi, Nak?" Menyadari kondisi putrinya tak baik-baik saja, Suraj pun bertanya.
"Ayah," lirih Sanjana.
Gadis itu tak sanggup melanjutkan Kata-katanya. Dia terperangkap dalam lingkaran keyakinan semu. Cintanya terkhianati, hatinya patah, dan jiwanya remuk seketika.
Keputusan sepihak Vijay sungguh membuatnya terguncang. Tak ada sebab-musabab, pria itu mengiriminya pesan singkat yang sungguh memilukan.
"Kurang ajar!" Untuk pertama kalinya Suraj bereaksi secara berlebihan begitu membaca pesan singkat Vijay kepada Sanjana.
Sebagai seorang Ayah, tentu saja Suraj merasa sakit hati. Putri semata wayang yang ia jaga dan besarkan dengan susah payah, justru disakiti dengan sengaja.