Chapter 9 - Tante

Dalam hati Sanjana mengumpat serta mengutuk pria yang baru saja menabrak dirinya. Sehingga mengotori kain yang baru saja ia beli.

Insiden kecil itu sungguh membuat hatinya geram, karena baru saja mendapatkan jenis kain yang baru dipahami makna serta filosofinya.

"Tolong maafkan saya, Tante. Saya tidak sengaja." Namun, sepertinya hati Sanjana dua kali lipat lebih terluka ketika pemuda itu menyebutnya 'Tante.' Setua itukah dia?

"Apa? Tante?" tanya Sanjana sembari melongo menatap pemuda itu. Namun, dalam hati ia tak percaya, bahwa pemuda dengan topi biru tersebut menyebutnya seperti wanita paruh baya.

"Wah, mata Anak ini sepertinya sudah mulai rabun," gumamnya kemudian.

"Berapa usiamu? sampai kau menyebutku sebagai Tante. Apa aku setua itu?" pungkasnya.

"sembilan belas tahun, Tante," jawab pemuda itu sungguh-sungguh.

"Uhuk! uhuk!" Alhasil membuat Sanjana terbatuk-batuk atas jawabannya.

"Sembilan belas tahun?" sangsi Sanjana.

"Aku tak percaya ini. Hei, apa wajahku terlihat seperti Tante-tante di matamu? sampai kau menyebutku seperti itu? dasar berandal kecil!" umpat Sanjana tak terima.

Dia benar-benar merasa harga dirinya terluka ketika pemuda dengan lesung pipi itu menyebutnya sebagai 'Tante.' Padahal usia Sanjana baru menginjak tiga puluh tahun.

Memang lebih matang dibanding pria itu, tetapi tak seharusnya ia dianggap sebagai wanita tua.

"Tolong maafkan saya. Saya telah merusak barang, Anda. Saya akan mengganti rugi semuanya," kata pemuda itu sungguh-sungguh.

Jika dilihat dari mimiknya, pria dengan switer hitam itu tak main-main. Dia sangat serius dalam mengucap kata-kata.

"Usianya saja baru sembilan belas tahun, bagaimana mau mengganti rugi semua ini? apakah dia pikir harganya murah?" gumam Sanjana. Namun, masih bisa didengar olehnya.

"Tidak perlu cemas, Tante. Saya tetap akan mengganti rugi semuanya. Saya janji," tegas pemuda itu tak main-main.

"Hei, sebaiknya kau per--"

"Sanjana, sudahlah. Biarkan saja dia melakukan apa yang dia katakan. Setidaknya kau tidak mengalami kerugian. Lagi pula pemuda itu berusaha untuk menunjukan tanggung jawabnya," seloroh Anjali, berusaha membuat Sanjana mengerti. Sebab, sejak tadi dia terus menolak kebaikan pria itu. Bahkan caranya berkata-kata terlalu arogan dan dingin selayaknya seorang pembenci.

"Baiklah, Dek. Kami akan menerima ganti rugi darimu. Terimakasih untuk itu." Kemudian Anjali beralih pada pria tersebut dan membiarkannya mengganti rugi sesuai dengan yang ia katakan tadi.

"Terimakasih, Kak," kata Pemuda itu seraya membungkukan tubuhnya. Pertanda ia merasa senang, karena akhirnya Anjali memberinya kesempatan untuk mengganti rugi.

"Apa? Kakak? kau menyebutnya 'Kakak,' sedangkan aku 'Tante.' Tidakkah kau melihat wajah kami seumuran?" Namun, lain halnya dengan Sanjana. Bukannya merasa tenang dengan ganti rugi yang baru saja pria itu katakan, ia justru merasa harga dirinya cedera.

"Sanjana, tenanglah. Dia hanya Anak kecil yang polos. Jangan diperpanjang lagi," bisik Anjali, berusaha melerai Sanjana yang hendak mendorong tubuh pria itu.

Entah mengapa setelah beberapa hari menjadi pribadi yang pendiam dan dingin, setelah berjumpa pemuda asing itu, adrenalin Sanjana kian berpacu. Seolah menemukan identitas baru.

"Tolong maafkan teman saya. Ini kartu namaku, silahkan hubungi nomor itu jika kau ingin mengganti rugi," pungkas Anjali, memberitahu lelaki itu.

"Ayo kita pergi dari sini." Kemudian ia membawa Sanjana pergi dari tempatnya tersebut sebelum segalanya semakin runyam.

"Akhirnya aku menemukanmu," gumam lelaki itu setelah Sanjana dan Anjali berlalu pergi.

Dia tersenyum tipis. Namun, terkesan bahagia. Seolah menemukan harta bendanya yang sekian lama menghilang dari pandangan.

Sementara itu, dilain kisah. Vijay dan Zoya tengah melangsungkan pernikahan setelah empat bulan berkencan.

Vijay seakan menunjukan niat tulusnya dalam mencintai Zoya dengan menikahi gadis cantik tersebut.

Disaksikan oleh keluarga besar dan para rekan kerja, Vijay mengikrarkan janji suci pernikahan di depan para saksi dengan satu kali tarikan nafas.

"Sah!" Hingga semua orang yang ada di sana berteriak kegirangan. Seolah menegaskan hubungan itu telah resmi di mata hukum dan agama.

Betapa bahagianya Zoya kala itu. Menjadi Nyonya Vijay Sing Grover adalah impiannya setelah memutuskan mengencani pria asal India tersebut.

Tak henti-hentinya dia tersenyum. Menunjukan jejeran gigi yang putih rapi nan bersih.

"Apa kau kau bahagia?" Sehingga Vijay tak dapat menahan diri untuk tak bertanya.

Sepanjang hari berdiri di depan para tamu selayaknya Raja dan Ratu, Vijay terus menyaksikan keceriaan itu di wajah Zoya, wanita yang kini resmi menjadi istrinya.

"Apakah begitu kentara?" tanya Zoya malu-malu. Wajahnya seketika memerah begitu menyadari Vijay mengetahui isi hatinya.

"Tentu saja kentara. Tidakkah gigimu mengering, karena terus menyeringai?" bisik Vijay, menggoda istrinya yang kian malu.

"Is, kau ini. Tidak bisakah kau berpura-pura tak tahu? kau terlalu jujur," ucap Zoya, membalas bisikan Vijay.

Dan pria itu pun hanya bisa tersenyum melihat tingkah polos sang istri.

**

Sementara itu, di maladewa. Sanjana masih merasa sakit hati pada pemuda asing yang telah menyebutnya 'Tante' tadi.

Sejak tiga jam lalu dia terus mengoceh tak jelas, hingga Anjali merasa heran. Sebab, selama hampir tiga bulan menjalin pertemanan, tak pernah sekalipun ia melihat Sanjana bereaksi secara berlebihan atas sesuatu.

Ini adalah kali pertama ia menemukan sosok lain dari Sanjana. Gadis itu terlihat lebih banyak mengumbar kata dari biasanya.

Selama berada di maladewa, Sanjana sungguh irit bicara. Bahkan pada karyawan atau manager resort yang mereka tempati saat ini.

"Ya ampun Sanjana, slowdown, Sayang. Tidak perlu mempersoalkan siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda. Toh remaja tadi tak mengenali kita. Haruskah kau memakinya sepanjang hari ini?" Lama-lama Anjali merasa jenuh juga setelah tiga jam duduk diam dalam mendengarkan ocehan Sanjana yang membuat sakit telinga.

"Anjali, dia menyebutku 'Tante.' Apakah aku setua itu?" Namun, alih-alih diam, Sanjana justru semakin memperpanjang masalah.

"Iya, kau terlihat tua!" sahut Anjali semakin kesal.

"Apa?"

"Ya, kau terlihat tua. Apa lagi dengan wajahmu yang cemberut begitu. Kau semakin terlihat tua," seloroh Anjali penuh penekanan.

"Hei, apa baru saja kau membelanya?" tanya Sanjana kesal.

"Aku tidak membelanya. Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa sebaiknya kau jangan terlalu membenci pria itu, atau dia akan menjadi suamimu suatu saat nanti!" tukas Anjali masih dengan menekan tiap bait kalimatnya.

"Uhuk! uhuk!" Tak ayal membuat Sanjana tercekat air liurnya sendiri, hingga membuatnya terbatuk-batuk.

"Apa? suamiku? maksudmu kami berjodoh?" tanya Sanjana tak percaya.

"Hu'um," sahut Anjali singkat, padat, dan jelas.

Plak!

"Bicaralah yang masuk akal atau aku tak mau berteman lagi denganmu!" Sanjana memukul lengan Anjali.

Kali kata-kata gadis itu terdengar menyeramkan. Ditambah lagi dengan tatapannya yang begitu tajam. Sungguh menusuk ulu hati Anjali.

"Hais, kau ini. Baiklah, kita lupakan masalah lelaki tadi. Sekarang katakan padaku, apa rencanamu setelah ini? apakah kau akan memberitahu Ayahmu, bahwa kau siap membantunya di kantor?" ucap Anjali, mengalihkan pembicaraan. Agar perhatian Sanjana kembali fokus pada pekerjaan.

"Sepertinya begitu, tapi setelah aku kembali dari sini." Dan berhasil. Sanjana tak lagi menyebut lelaki tadi. Perhatiannya berfokus pada Sang Ayah yang berada di tanah air.

"Kapan kau akan kembali ke Indonesia?" tanya Anjali.

"Mungkin dua minggu lagi," lirih Sanjana, menatap kosong ke jendela kamar.

Entah mengapa hatinya kembali dingin begitu mengingat negara kelahirannya itu. Seperti ada setitik luka yang masih menggores di dalam sana. Sehingga membuat Anjali melihat duka yang begitu besar lewat mata Sanjana.

"Sanjana, tidak tahu apa masalahmu yang sebenarnya, dan aku juga tak tahu alasanmu datang ke negara ini. Namun, apapun itu, kau tak perlu merasa takut dalam menghadapi dunia. Seberat apapun masalah yang menindih hatimu, dunia tak akan berakhir hanya karena kau terluka. Kau masih punya impian dan orang tua yang begitu mencintaimu. Pikirkan itu."

Sanjana memang tak bercerita pada Anjali tentang patah hati yang ia alami. Dia hanya bercerita tentang latar belakangnya yang sederhana, tanpa mau menyebut nama Vijay, pria yang menyebabkan hatinya terluka dan berubah menjadi beku.

"Anjali, terimakasih. Kau sanggup memahamiku, walau aku tak pernah bercerita apa masalahku," kata Sanjana tulus.

Persahabatan itu memang tak berlangsung lama. Namun, cukup berkesan bagi Sanjana.

Tiga bulan di maladewa, membuatnya mengenali budaya serta hal-hal baru lainnya. Terlebih lagi dia memiliki sahabat baik seperti Anjali yang begitu memahami dukanya, meski tanpa mengatakan apa-apa.