Tiga hari setelah melamar kerja, Al mendapat panggilan untuk wawancara. Prasetyo memberi informasi tersebut lewat via SMS.
"Yes! akhirnya aku dipanggil juga untuk wawancara." Al bersorak ria di kamar apartemennya.
Hampir setiap hari pemuda yang dikenal kalem itu menghabiskan waktu di tempat tersebut. Seolah ingin menikmati sesuatu di sana, atau memang ada hal lain yang tengah ia rencanakan. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Aku harus gunakan baju apa untuk wawancara besok, ya? apakah kemeja putih ini?" Al sangat antusias menghadapi wawancara besok. Seolah yakin, bahwa ia akan diterima di perusahaan Sanjana tempatnya melamar kerja.
Dia membuka lemari, mencari serta mencoba baju yang sekiranya pantas ia kenakan untuk esok hari.
"Hais, sepertinya aku harus beli kemeja baru." Namun, tak ada satupun yang dirasa cocok. Alhasil Al berencana membeli kemeja baru setelah merasa pakaian itu tak ada satupun yang dianggapnya pantas.
Setelah bergumam, Al pun benar-benar pergi ke mall dekat apartemennya. Di sana ia mencari pakaian kesukaannya.
Meski berpenampilan sederhana, sejujurnya Al dapat membeli banyak pakaian. Bahkan beserta mall itu sekalipun.
Bug!
Namun, ditengah asiknya mencari kemeja, lagi-lagi Al menabrak Sanjana. Sehingga membuat wanita itu kesal.
"Kau?" ucap Sanjana dengan raut tak percaya.
Ini adalah kali ketiga mereka bertemu, meski dengan kesan tak mengenakan.
"Tante," gumam Al.
"Apa? Tante?" Namun, masih bisa didengar oleh Sanjana.
Wanita itu marah ketika Al selalu saja menyebutnya 'Tante' tiap kali bertemu.
"Apa aku setua itu sampai mau menyebutku, Tante?!" tanya Sanjana penuh penekanan.
"Ah, maafkan saya. Saya tidak sengaja menabrak, Anda," sahut Al sembari tersenyum tipis. Bahkan senyuman itu Hampir tak kentara sama sekali.
Entah mengapa tiap kali bertemu Sanjana, pria itu hampir tak dapat menyembunyikan perasaan. Selalu saja menarik kedua sudut bibirnya, walau Sanjana kerap menatapnya tak suka.
Ibarat bertemu dengan seseorang yang telah merebut hati serta perhatiannya.
"Apa? tidak sengaja?" sarkas Sanjana tak percaya.
"Kau menabraku sudah tiga kali selama ini, dan kau bilang tidak sengaja? apa kau sudah gila?!" pungkas Sanjana semakin meninggikan suara.
Sementara Al yang mendengar ucapan Sanjana, seketika membeliakan mata. Pemuda itu tak menduga jika Sanjana mengingat berapa kali pertemuan mereka.
"Anda mengingatku?" tanya Al, seketika membungkam Sanjana.
Raut wajahnya seketika berubah drastis. Dari yang emosional menjadi canggung.
Melihat itu, Al pun tak dapat menahan senyuman. Dia menunjukan jejeran giginya yang putih bersih kepada Sanjana.
"Tidak juga, itu hanya kebetulan saja." Lihatlah, bahkan Sanjana berpura-pura seolah tak seperti yang dipikirkan Al.
"Benarkah?" sangsi Al masih menunjukan giginya.
"Hei, Bocah! apa kau pikir aku ini seorang pembohong? dasar menyebalkan!" sarkas Sanjana, mengalihkan pembicaraan dengan menghardik Almukaram. Namun, tak membuat pemuda tersebut marah.
Setelah itu Sanjana pun meninggalkan Almukaram.
"Kau masih saja terlihat cantik, dan aku suka caramu berbicara. Tegas dan manis," gumam Al, merasa terpukau pada kecantikan Sanjana yang tak pernah berubah.
Sayangnya wanita tersebut tak mengingat dirinya lagi, pria yang sembilan tahun silam ia selamatkan dari penculikan Sang Pengasuh.
"Hem, baiklah. Aku harus memilih kemeja ini untuk besok. Kira-kira yang mana, ya?" Kemudian Al kembali memilih kemeja untuknya.
Sementara itu, di luar mall. Sanjana masih terus mengoceh perihal Al.
"Mengapa aku terus saja bertemu pria menyebalkan itu? dan ya, dia terus saja menyebutku, Tante. Apakah aku ini mirip Tantenya di rumah?" tukas Sanjana kesal di dalam mobil.
"Hati-hati, biasanya kalau kita terlalu membenci seseorang, bisa jadi dia adalah jodoh kita." Mendadak Sanjana mengingat ucapan Anjali sewaktu masih berada di maladewa.
Wanita asal India itu mewanti-wanti Sanjana agar tidak terlalu membenci seseorang. Takutnya perasaan tersebut berubah menjadi cinta dan berakhir ke pernikahan.
"Hais, mengapa aku jadi mengingat kata-kata Anjali?" Sanjana bergidik ngerti begitu ingatan tentang sahabatnya itu memenuhi benaknya.
"Sepertinya aku sudah mulai gila," pungkasnya.
Kemudian wanita tersebut berlalu pergi meninggalkan mall, tempat ia belanja tadi.
**
Keesokan harinya, Al berdandan rapi untuk menghadapi wawancara hari ini.
Pemuda berusia sembilan belas tahun tersebut mengenakan kemeja biru navy serta dipadukan dengan celana kain berwarna hitam.
Tak lupa pula Al mengenakan jam tangan bermerk sebagai penunjang penampilan. Maka bertambahlah poin ketampanan lelaki tersebut.
"Sempurnah!" gumam Al, memuji diri sendiri di depan cermin.
"Kau sudah mau berangkat kerja?" Tak lama datanglah Soraya di kamarnya.
"Hari ini aku masih menjalani tes wawancara. Kalau lolos, ya artinya aku udah bekerja dong," sahut Al masih bercermin.
"Apa kau benar-benar tak ingin mempertimbangkan kembali permintaan Ibu kemarin, Nak?" Hati-hati sekali Soraya membujuk Al untuk mempertimbangkan opininya agar bekerja di perusahaan Musa, membantu Sang Ayah di sana.
"Bu, kita sudah membahas ini beberapa kali. Apakah kita harus mengulanginya lagi?" balas Al tak kalah hati-hatinya.
Meski pemuda itu tak menurut apa kata Sang Bunda, tetapi ia tak ingin membuat wanita yang telah melahirkannya itu kecewa terlalu dalam.
Sejak awal Al memang tak berniat untuk bekerja di perusahaan Ekstraktif milik Ayahnya. Dia mempunyai rencana lain di luar sana.
"Apakah kau masih mengingat wanita itu?" tanya Soraya akhirnya.
Selama beberapa tahun ini, wanita paruh baya tersebut selalu memikirkan niat Al yang selalu berencana mencari seseorang.
"Aku tidak akan melupakan jasa wanita itu, Bu. Bahkan sampai mati sekalipun. Walaupun dia tak mengingatku lagi. Namun, aku ingin dia dapat mengenangku untuk di masa lalu yang pernah kita lalui, walau hanya sesaat saja," lirih Al, mengenang wajah Malaikatnya di masa lalu.
"Apakah itu artinya kau sudah menemukannya, Nak?" Soraya merasa curiga pada Al. Apakah putranya itu telah menemukan yang ia cari selama ini.
"Sudah, Bu. Akhirnya aku menemukannya." Jauh Al menerawang, mengenang awal mula ia menemukan Sanjana di maladewa.
Ya, selama sembilan tahun ini Almukaram mencari Sanjana. Berbekal ingatan di masa lalu, pemuda itu berusaha untuk menemukan gadis yang ia beri nama 'Malaikatku' itu.
Setelah menemukannya, Al begitu bahagia. Kendati Sanjana telah melupakan lelaki tersebut.
Selama bertahun-tahun ini Al hidup dalam bayang-bayang Sanjana. Bahkan ia bertekad untuk menjadikan wanita tersebut sebagai satu-satunya wanita yang berharga dalam hidupnya selain Soraya dan Zoya.
Meski begitu, Al masih belum bisa menerka perasaan yang ia miliki terhadap Sanjana. Apakah itu bisa disebut cinta, atau sebatas obsesi semata.
"Apakah dia mengenalmu?" tanya Soraya sekali lagi.
Sepertinya wanita paruh baya yang masih tampak cantik, meski tak lagu muda itu sangat penasaran pada kehidupan asmara putranya. Seolah tak ingin ketinggalan kereta.
"Entahlah," sahut Al lirih.
"Ah, sudahlah. kenapa kita jadi bahas ini? Aku pergi dulu, nanti telat lagi wawancaranya." Buru-buru Al mengalihkan pembicaraan, karena tak ingin membuat Ibunya cemas. Sebab, jika wanita itu tahu, bahwa Sanjana tak mengingat Al. Maka sudah bisa dipastikan, bahwa Soraya akan membuat Putranya itu berhenti terhadap niatnya dalam menemukan Sanjana.
"Hei, sarapan dulu," tukas Soraya, menghentikan Al yang terkesan buru-buru, hingga melewatkan sarapan.
"Aku sudah telat, Bu," sahut Al tergesa-gesa.
Lalu kemudian pria tersebut meninggalkan Ibunya seorang diri di dalam kamar.
"Anak itu," gumam Soraya.
Sementara di ruang makan, Vijay tengah sarapan. Sedangkan Zoya dan Putri mereka tengah berada di luar kota. Sementara Musa sudah lebih dulu berangkat kerja.
"Apakah kau ingin berkeliaran lagi di luar rumah seperti gembel?" Datar sekali nada pertanyaan Vijay kepada Al. Namun, cukup melukai harga diri pemuda tersebut.
Hubungan Al dan Vijay memang tak begitu dekat. Mereka kerap kali saling menatap sinis.
Sejak awal bertemu Vijay, Al sudah tak menyukainya. Seolah tahu watak asli dari Kakak iparnya tersebut.
"Setidaknya aku masih mau berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Ketimbang menjadi benalu di rumah Mertua!" sahut Al datar. Namun, sukses menyentil harga diri Vijay. Tak ayal Ayah satu anak tersebut seketika menghentikan aktivitas sarapannya.
"Baiklah, aku buru-buru. Tak ada waktu untuk melakukan hal yang tak penting, permisi," imbuh Al. Meninggalkan Vijay seraya tersenyum puas.
"Berbesar kepala lah kau Anak muda. Namun, waktumu tak akan lama," gumam Vijay penuh maksud.