Hari itu Al tak mengendarai mobilnya. Dia naik taksi seperti rakyat biasa. Pria itu tak merasa risih sama sekali. Apa lagi canggung untuk duduk bersama supir yang tak dikenal.
Al merasa lebih baik jika tak menunjukan identitasnya sebagai Anak seorang Konglomerat.
Kesederhanaan yang dimiliki oleh lelaki berusia sembilan belas tahun tersebut sangat dikagumi oleh Ayahnya. Sebab, dianggap tak menunjukan keangkuhan.
Dahulu Musa berasal dari keluarga sederhana. Bahkan jauh dari kata layak. Namun, karena bekerja keras, dia mampu membuktikan pada dunia, bahwa sesuatu yang sederhana dapat mengubah nasib asal mau berusaha.
Meski demikian, Musa tak pernah melupakan masa lalunya yang begitu menderita.
"Kita sudah sampai, Tuan," kata Supir taksi.
"Iya, terimakasih, Pak," sahut Al seraya memberikan selembar uang kertas berwarna merah jambu kepada Supir taksi tersebut.
"Kembaliannya, Tuan," kata Supir taksi itu lagi. Memberikan kembalian ongkos taksi.
"Tidak perlu, untuk Bapak saja. Terimakasih ya, Pak." Sembari melempar senyuman, Al merelakan uang kembaliannya untuk Supir taksi tersebut.
Al ibarat cerminan Sang Ayah. Kesederhanaan serta jiwa sosial yang begitu tinggi, telah melekat lama di dalam sanubari dua insan beda generasi tersebut.
"Terimakasih, Tuan." Sedangkan Supir taksi itu tersenyum bahagia begitu menerima upah yang tak biasa dari sebelumnya.
"Sama-sama," sahut Al.
Kemudian pemuda gagah itu memasuki perusahaan yang ia tuju untuk melamar pekerjaan.
"Permisi, Nona. Kalau boleh tahu, di mana ruang HRD?" tanya Al kepada salah satu karyawan di sana.
"Lantai tujuh, belok kiri. Nanti kamu akan melihat papan namanya," terang Karyawan tersebut.
Setelah itu Al pun memasuki lift sesuai petunjuk Karyawan tadi.
Tok! Tok! Tok!
Begitu menemukan ruang HRD, Al langsung mengetuk pintu.
"Silahkan masuk." Dan dia pun dipersilahkan untuk masuk.
"Selamat pagi, Pak. Saya hendak melamar pekerjaan di perusahaan ini. Dengar-dengar sedang membutuhkan karyawan baru, bukan?" papar Al. memberitahu niatnya datang ke kantor tersebut.
"Oh iya benar. Silahkan letakan di atas meja berkasnya. Nanti saya akan menghubungi, Anda," sahut Kepala HRD yang bernama Parsetyo.
Selama sepuluh menit berada di ruangan tersebut, akhirnya Al keluar. Berencana mampir ke apartemennya yang terletak tak jauh dari kantor tersebut.
Bug!
Namun, di perjalanan menuju lift, tak sengaja ia menabrak seseorang.
"Kalau jalan itu lihat-lihat!" hardik orang yang ditabrak Al itu.
"Maafkan saya, Tante," sesal Al sungguh-sungguh.
"Kau?"
"Nona Sanjana," kata Hayati, mengalihkan perhatian wanita itu setelah ditabrak oleh Al.
Ya, yang ditabrak oleh Al adalah Sanjana, Wanita yang sama ketika berada di Maladewa.
Al juga menabrak gadis tersebut sewaktu berada di pasar tradisional ketika mencari bahan pakaian.
"Hayati, tolong sampaikan kepada Pak Pras untuk secepatnya merekrut karyawan baru. Aku ingin kepala Admin itu secepatnya diganti!" tukas Sanjana, memerintah kepada Hayati.
"Dan kau!" Kemudian wanita cantik tersebut beralih kepada Al.
"Iya," sahut Al sejenak terkesiap.
"Bukankah kau pria yang ada di Maladewa itu?" tanya Sanjana penuh selidik.
Semula Al mengira, bahwa gadis itu tak akan mengenalinya lagi. Namun, ternyata ingatan Sanjana cukup jeli. Dia tak melupakan pemuda tersebut.
"Ha? oh iya, benar. Itu saya," sahut Al seraya melempar senyuman manis. Sehingga membuat Sanjana terkesiap untuk beberapa detik.
Sepertinya senyuman itu telah menghinoptis dirinya. Terbukti dari kedua sudut bibir Sanjana yang tertarik sempurna.
"Astaga, ada apa denganku. Mengapa aku tersenyum pada remaja ini? dasar payah," batin Sanjana. Menyalahkan diri yang khilaf.
"Jadi, benar itu kamu?" ucap Sanjana sedikit menekan nadanya.
"Lain kali hati-hati. Gunakan mata untuk berjalan. Jangan menunduk atau memejamkan!" sarkas wanita itu kemudian.
Lalu meninggalkan Al yang masih menatap kagum padanya.
"Tatapan itu masih tetap sama, meski sikapnya yang sedikit berbeda. Dia menjadi lebih dingin. Mungkin karena usianya semakin bertambah. Namun, kecantikan itu tak pernah pudar," gumam Al, menyanjung Sanjana secara diam-diam.
Kemudian lelaki dengan kemeja coklat tersebut melanjutkan niatnya ke apartemen.
"Mengapa aku harus bertemu Anak itu lagi di sini? sedang apa dia di kantor ini? apakah Ibunya adalah salah satu karyawanku?" Sementara itu, Sanjana terus mengoceh. Bertanya-tanya sedang apa Al di kantornya.
"Ah, sudahlah. Bukan urusanku juga. Mau dia anak dari karyawanku kek, atau pembeli celana dalam, itu urusannya. Sebaiknya sekarang aku harus menemui kepala Admin dulu. Aku harus memberinya pelajaran!" tukas Sanjana. Menyudahi imajinasinya tentang Al. Lalu beralih pada Kepala Administrasi.
"Selamat pagi, Pak Bagus," kata Sanjana begitu memasuki ruangan kepala Administrasi.
"Selamat pagi juga, Nona Sanjana." Sementara Bagus yang melihat Sanjana memasuki ruangannya, sejenak terkesiap.
Dia gemetar ketakutan, karena sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh wanita berusia tiga puluh tahun tersebut.
Peluh itu membasahi dahi. Sembari menundukan kepala, Bagus meremas kesepuluh jemarinya.
"Mengapa kau gemetar, Pak Bagus? bukankah selama ini kau selalu menegakan kepala tiap kali melihat saya? lalu mengapa sekarang kau seperti enggan untuk menatap mataku? apakah kau merasa takut?" ucap Sanjana datar. Namun, penuh penekanan.
"Maafkan saya, Nona Sanjana. Saya bersalah, saya telah memakai uang perusahaan untuk kepentingan pribadi. Tolong ampunilah saya, Nona. Jangan lapor ke polisi. Anak saya masih kecil," pinta Bagus sambil berlutut kepada Sanjana.
Dia mengiba serta memohon ampun kepada wanita yang tengah menatapnya muak itu.
"Sepertinya ide bagus. Tadinya aku tak berniat untuk melaporkanmu ke Polisi. Tapi, karena kau mengeluarkan ide baru, maka bersiap-siap lah untuk masuk ke dalam penjara!" Namun, tak meluluhkan hati Sanjana.
Wanita tersebut tetap pada pendiriannya untuk menghukum Kepala Admin tersebut. Meski Bagus telah menyebut usia Anaknya yang masih kecil sebagai bentuk pertimbangan Sanjana.
"Tolong jangan lakukan ini pada saya, Nona. Saya bersalah. Kalau saya masuk penjara, nanti Anak dan Istri saya makan apa, Nona?" lirih Bagus.
Pria bertubuh pendek itu kembali mengiba pada Sanjana seperti manusia tak tahu diri.
"Seharusnya kau berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan bodohmu itu, Pak Bagus! aku menghargaimu sebagai orang yang lebih tua. Aku pikir dengan memberimu kesempatan kau akan berubah. Tapi tidak, kau masih tetap sama. Apa kau pikir hanya kau saja yang membutuhkan uang? karyawan di sini juga membutuhkan. Jadi, siap-siaplah untuk mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" sarkas Sanjana tanpa toleransi lagi.
Sejak tadi wanita itu berusaha untuk menahan diri. Namun, Bagus terus berulah.
Sejujurnya selama satu bulan bekerja di perusahaan, diam-diam Sanjana memperhatikan cara kerja Bagus.
Dan dari pantauan itulah dia tahu yang sebenarnya. Sudah beberapa tahun ini pria itu memakan uang perusahaan untuk kepentingan pribadinya.
Semula Sanjana masih berusaha untuk memberinya kesempatan. Namun, Bagus tak berubah juga. Alhasil Sanjana menjadi berang. Dia pun menghukum pria tersebut dengan memecatnya dan memasukan ke dalam penjara sebagai ganjaran yang harus dibayar.