Chereads / Fall In Love With You, Tante / Chapter 10 - Masuk Kantor

Chapter 10 - Masuk Kantor

Tiga bulan berada di luar negeri, membuat hidup Sanjana berubah drastis. Dia menjadi lebih dingin dan selektif. Terutama untuk urusan asmara dan kaum Adam.

Sanjana tak akan termakan tipu daya mereka lagi, kendati segudang rayuan muncul ke permukaan. Biarlah usianya semakin tua, asal tak jadi mainan pria. Hal tersebut sudah cukup bagi Sanjana.

Pengalamannya bercinta bersama Vijay memberinya banyak pelajaran berharga, bahwa dulu terlalu naif dalam mengenal cinta dan pria.

Sanjana terkesan terburu-buru mengambil keputusan untuk berkencan. Padahal dia masih memiliki waktu yang cukup panjang untuk saling mengenal satu sama lain.

Terlebih lagi tak pernah sekalipun Vijay menyinggung soal pernikahan selama memadu kasih. Hal tersebut sudah cukup membuktikan, bahwa pria itu tak serius dengannya. Entah apa yang membuat Vijay berani mengajaknya berkencan, kalau pada akhirnya harus memutuskan hubungan tanpa alasan yang jelas.

"Jadi, apakah kau yakin akan menggantikan Ayah di kantor?" tanya Suraj antusias. Begitu Tahu, bahwa Sanjana bersedia membantunya menjalankan usaha mereka.

"Apakah aku terlihat seperti sedang main-main? aku serius, Ayah," tegas Sanjana bersungguh-sungguh.

"Syukurlah, akhirnya kau mau membuka hatimu untuk bekerja." Betapa bahagia hati Suraj, kala Sanjana sungguh-sungguh untuk menata masa depan melalui perusahaan.

Sejak dulu Suraj meminta anak gadisnya itu untuk bekerja. Akan tetapi, Sanjana lebih memilih bersenang-senang dalam menikmati hidup yang tak berarti. Ujung-ujungnya membuat dia sakit hati.

"Sekarang Ayah tak perlu cemas lagi. Biar aku yang akan mengurus segalanya di kantor," ucap Sanjana penuh percaya diri.

"Wah, sepertinya Maladewa mengajarkanmu banyak hal. Apakah otakmu terbentur selama berada di sana?" Tak ayal membuat Suraj berdecak kagum, meski dengan kata menggoda.

"Iya, otaku terbentur di sana. Apakah Ayah tahu, ada seorang anak remaja menyebutku 'Tante.' Sedangkan temanku Anjali dipanggil 'Kakak.' Padahal kami seumuran. Tidakkah itu namanya penghinaan?" Sanjana kembali mengingat momen di Maladewa saat bertemu pria asing yang menyebutnya 'Tante.'

"Itu karena kau memang sudah tua!" sahut Suraj, menggoda anaknya yang tampak kesal.

"Apakah Ayah ingin aku mengurungkan niat untuk masuk di perusahaan?" ancam Sanjana tak sungguh-sungguh.

Hubungan Ayah dan Anak tersebut memang seperti itu. Mereka terlihat akrab selayaknya sahabat. Sehingga banyak yang mengira, bahwa Suraj dan Sanjana lebih seperti Adik dan Kakak.

"Kalian berdua ini seperti kucing dan tikus saja. Selalu berdebat. Apa tidak malu sama umur?" Tak lama Fatima datang di antara Suraj dan Sanjana. Melerai perdebatan ringan antara Anak dan Ayah tersebut.

"Apakah kau sudah siap untuk masuk kantor, Nak?" Kemudian Fatima beralih bertanya pada Sanjana. Lembut sekali dia berkata-kata, hingga wanita dengan mata indah itu luluh dibuatnya.

"In Syaa Allah siap, Bu. Sudah saatnya aku menata hidup. Mengingat kalian sudah tak lagi muda," sahut Sanjana seraya menggenggam jemari Ibunya.

"Ibu bangga padamu, Nak. Akhirnya kau mau berubah. Sekarang jangan pikirkan hal lainnya," lirih Fatima.

**

Setelah percakapan itu, Sanjana pun berangkat ke kantor untuk pertama kalinya. Di sana ia dibantu oleh sekretaris Ayahnya yang bernama Hayati. Usia mereka hampir sama. Jadi, Sanjana tak sungkan untuk bertanya.

Pun Hayati, wanita berponi itu merasa tak terbebani ketika mengarahkan Sanjana.

"Nanti kita akan membuat produk baru, tapi cari tahu dulu sistem pasarannya. Kita harus benar-benar tahu apa mau konsumen. Kalau untuk masalah bahan, tentu saja kita lebih mengutamakan kualitas. Toh, sebagian kain yang Nona bawa dari Maladewa berkualitas bagus. Jadi, kita bisa gunakan untuk peluncuran produk baru," papar Hayati panjang lebar.

"Kalau begitu siapakan desain baru untuk produk yang dimaksud. Aku tidak ingin kita hanya memproduksi pakaian dalam saja, tetapi pakaian sehari-hari juga. Bila perlu gaun pesta dan juga pakaian pengantin," kata Sanjana antusias.

Sepertinya gadis itu memiliki semangat yang sangat tinggi. Sehingga terkesan menggebu-gebu dalam mengerjakan tugasnya.

"Untuk masalah itu, saya secara pribadi tidak masalah. Asal kita tahu saja keinginan konsumen dan harus sesuai dengan perkembangan zaman. Karena pada umumnya, banyak dikalangan muda lebih mengikuti trend.

Dan satu lagi, kita harus mampu bersaing dengan perusahaan lain. Sebab, tak sedikit orang di luar sana yang memiliki usaha seperti kita.

Yang aku maksud adalah kita harus lebih teliti dalam bekerja, agar tepat sasaran. Dengan begitu orang-orang tak akan berpikir dua kali untuk membeli produk kita."

Mendengar pemaparan Hayati kali ini, Sanjana mangut-mangut. Seakan memahami apa yang dimaksud oleh Sekretarisnya tersebut.

"Baiklah, aku paham sekarang. Kalau begitu kau harus menemaniku sampai produk baru kita berhasil. Dan satu lagi, aku dengar Kepala Administrasi sedang bermasalah. Apakah semuanya baik-baik saja?" balas Sanjana.

Baru-baru ini perusahaan itu memang tengah mengalami sedikit masalah. Di mana kepala Administrasi memotong biaya bahan yang sudah tersedia. Padahal desain yang sudah rampung siap untuk diproduksi.

"Apakah Nona sudah dengar dari Tuan CEO?" Alih-alih menjawab pertanyaan Sanjana, Hayati justru balik mengajukan pertanyaan.

"Sebenarnya Ayah tidak bercerita banyak. Namun, saat masuk di kantor ini tadi. Aku mendengar gonjang-ganjing perihal kepala Administrasi," sahut Sanjana.

"Jadi, bagaimana menurut, Nona? apakah Anda ingin memecatnya dan mencari karyawan baru yang lebih berkopeten?" tanya Hayati.

"Kita lihat saja nanti. Aku masih ingin tahu, seperti apa rupanya orang yang telah berani memakan uangku." Sanjana menyeringai penuh maksud.

Tampaknya wanita berusia tiga puluh tahun itu mulai menyusun strategi dalam mengusir pecundang di perusahaannya.

Sanjana tak ingin main-main lagi untuk urusan pekerjaan. Selama tiga puluh tahun ini dia sudah cukup bermain. Kini saatnya beraksi.

**

Sementara itu, di lain tempat. Almukaram tengah bersiap-siap untuk mencari pekerjaan. Padahal Ayahnya merupakan Owner Perusahaan Ekstraktif. Namun, pemuda tampan tersebut tak ingin terlibat di dalamnya. Dia lebih suka melakukan sesuai isi hatinya.

Al, begitu sapaannya tak suka dipaksa. Apa lagi dicegah untuk urusan pribadinya.

"Al berangkat dulu ya, Bu," pamit lelaki itu begitu usai mengikat tali sepatunya.

"Haruskah kau mencari pekerjaan di luar sana, Nak? mengapa tidak masuk saja di perusahaan Ayah? kau akan mendapatkan jabatan bagus di sana." Soraya, wanita paruh baya yang masih cantik meski tak lagi muda itu berusaha untuk mencegah putranya, agar tak berkeliaran mencari pekerjaan di luar rumah.

"Bu, bukankah aku sudah pernah bilang, bahwa aku akan melakukan apapun sesuai kata hatiku. Lagi pula, masih ada Kakak ipar yang membantu Ayah di kantor. Kak Zoya juga begitu. Jadi, mereka tak butuh aku di perusahaan itu," balas Almukaram. Menolak secara halus permintaan Ibunya.

"Kau selalu saja begitu. Walau bagaimanapun juga kau adalah Putra kandung Ibu, Nak. Sudah sewajarnya jika kau yang berada di sana. Bukan malah Kakak Iparmu." Namun, sepertinya Soraya kurang sependapat dengan Putranya itu. Dia lebih menginginkan Al yang membantu Musa di kantor, ketimbang Vijay, Sang Kakak ipar.

"Ibu tidak boleh seperti itu. Lagi pula, ada sesuatu yang sedang aku cari di luar sana."

Sejenak Al termenung, membayangkan sosok wanita yang ia maksud.

"Ah, sudahlah. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum," imbuh Al. Meminta pamit pada Soraya setelah kesadarannya mulai kembali.

"Baiklah, Ibu tidak ingin memaksamu. Hati-hati, dan jangan ngebut." Sedang Soraya hanya bisa pasrah menerima keputusan Sang Putra.

Mau memaksapun tak ada guna, karena Al memiliki tujuan lain dalam mencari pekerjaan diluar dari perusahaan Sang Ayah.