Chereads / Puppy Dreams / Chapter 5 - Penyakit Mental

Chapter 5 - Penyakit Mental

Setelah diancam balik oleh Xian sedemikian rupa, Inggit tidak rewel lagi dan menurut begitu Xian menyuruh Allen untuk langsung mengantar Inggit pulang ke rumahnya.

Xian sendiri merasa begitu lelah dan ingin cepat berendam air hangat, lalu tidur. Dengan cekatan ia menuntun Mau dengan tali yang terpasang di kalung leher anjing kecil itu.

Mereka menaiki lift yang sama dengan yang mereka gunakan pagi tadi. Hanya orang-orang dengan kartu akses tertentu yang dapat menggunakan lift di basement tersebut.

"Maw, tunggulah dengan tenang di sini. Aku mau mandi dulu," ucap Xian sembari mengikat tali pengikat leher Maw ke sebuah tiang aluminium khusus yang berada di ruang tamu apartemennya.

Xian tidak membuang waktu lagi dan segera melepas semua pakaiannya dan masuk ke dalam bath tub yang sebelumnya sudah ia isi dengan air hangat.

Suhu air itu terasa cukup untuk memulihkan kembali kesegaran tubuhnya dan menghilangkan kepenatan yang ia rasakan seharian ini.

Dengan sebelah tangan, Xian menyalakan keran shower dan membuat kucuran air mengguyur rambut dan kepalanya yang belum basah itu.

Xian memejamkan kedua matanya dan mengevaluasi kembali peristiwa yang ia jalani di hari ini. Sudah merupakan ritual baginya untuk mengingat kembali urutan kejadian yang ia alami sejak ia keluar dari rumah hingga ia pulang kembali.

Sebenarnya tidak ada hal spesial yang ia alami seharian ini. Ia berangkat ke kantor dan bekerja seperti biasa. Hal yang berbeda dari hari biasanya hanyalah pertemuannya dengan Inggit.

Xian tidak menganggap pertemuan mereka sebagai sesuatu yang spesial. Xian sering sekali bertemu dengan Inggit dulu, saat keluarganya masih hidup.

Inggit sangat dekat dengan adik perempuan Xian, mereka bahkan sudah seperti saudara kandung. Xian masih ingat ketika upacara pemakaman keluarganya, Inggit menangis paling kencang di antara orang-orang yang berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa.

Mengingat upacara pemakaman itu, wajah Xian kembali memanas. Ia tidak suka teringat lagi pada ekspresi wajah orang-orang yang hadir di sana.

Tampang penuh belas kasihan dan tatapan meremehkan. Sebagian besar orang-orang yang datang ke acara pemakaman itu hanyalah para rekan bisnis dan kolega yang sebenarnya tidak peduli pada nasib keluarga mereka. Orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Tiba-tiba saja amarah menyeruak dari dalam dada Xian. Ia tidak bisa menahan gejolak emosi yang menguasainya. Terkadang ia memang tak bisa mengendalikan emosinya.

Cepat-cepat ia keluar dari bath tub dan bergegas mengenakan mantel handuk tanpa mengeringkan rambutnya dulu.

Dengan langkah gontai, ia menghampiri kulkas dan mengambil sekaleng bir dari dalam kulkas tersebut. Xian menenggak habis sekaleng bir itu dengan sekali minum, tapi emosi yang mengaduk-aduk jiwanya itu masih belum juga reda.

"Guk ... guk!" Xian mendengar suara gonggongan Maw dari ruang tamu. Ia baru teringat kalau belum melepaskan ikatan tali leher anjing kecil itu.

Tanpa berpikir panjang, Xian langsung menuju ke arah asal suara itu. Terlihat Maw yang tengah bergerak gelisah tak sabaran karena masih terikat pada tiang aluminium itu.

"Guk!" gonggongan Maw terdengar semakin kencang ketika melihat majikannya yang tengah berjalan mendekatinya.

"Berisik!" teriak Xian, membuat Maw mendengking terkejut. Lidahnya yang tadi terjulur ia masukkan kembali ke dalam mulutnya dan ekornya berhenti mengibas antusias.

"Berisik sekali, dasar anjing!" teriak Xian lagi sambil melempar kaleng bir yang sudah kosong. Kaleng itu terlontar kembali setelah mengenai kepala Maw yang kini menggonggong terkejut.

"Dasar hewan tak berguna, kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi aku," rutuk Xian yang kini mulai menyepak Maw dengan kakinya.

"Enak sekali hidupmu! Cuma makan, tidur dan bermain-main," sambungnya lagi, masih menendang Maw yang mendengking-dengking kesakitan.

Lolongan anjing kecil itu kini terdengar memilukan. Ia seolah meminta Xian untuk berhenti menyakitinya. Dengan kaki depannya, Maw berusaha menghalau kaki Xian yang hendak menendangnya lagi.

"Kurang ajar, kau berani melawan majikanmu, rasakan ini!" teriak Xian marah.

Kini tak hanya menendang, Xian bahkan juga memukul Maw dengan gagang sapu yang ia temukan tak jauh dari tiang aluminium itu.

Sebenarnya tiang itu bukanlah tiang besi yang terpancang kuat. Jika mau, anjing kecil itu bisa saja menarik hingga tiang tersebut jatuh sehingga ia bisa melarikan diri.

Akan tetapi, anehnya Maw tidak melakukannya. Ia seolah dengan sabar menerima semua perlakuan kasar Xian yang sudah biasa diterimanya.

Memang pada waktu-waktu tertentu, misalnya saat teringat pada kenangan-kenangan yang buruk atau peristiwa yang menyebalkan, Xian kadang tak bisa membendung emosinya.

Ia membutuhkan pelampiasan. Dulu sebelum Maw menjadi hewan peliharaannya, Xian akan menyakiti anjing-anjing liar di taman kota.

Ia suka pergi ke taman untuk memberi makan anjing-anjing liar itu. Akan tetapi di saat emosinya tak dapat ia bendung seperti sekarang ini, ia akan menyakiti anjing-anjing yang biasa ia beri makan itu.

Walaupun setelah emosinya reda, ia akan merasa bersalah sekali. Sudah beberapa kali ia membawa anjing-anjing yang ia sakiti ke dokter hewan sebelum menyakiti anjing itu lagi.

Lama kelamaan anjing-anjing di taman itu ketakutan padanya dan tak mau mendekat lagi. Xian betul-betul merasa kesepian sekali saat itu.

Hingga akhirnya Maw hadir dalam hidupnya. Ia memelihara Maw karena ia tidak ingin Maw meninggalkannya seperti anjing-anjing lainnya.

"Anjing nakal sepertimu tidak akan kuberi makan!" hardik Xian sebelum melempar gagang sapu itu ke lantai dan meninggalkan Maw yang masih melolong kesakitan.

Xian menjatuhkan dirinya di atas sebuah sofa besar di ruang tamunya. Nafasnya terdengar memburu usai menghajar anjing kecil itu.

Pria itu memejamkan kedua matanya dan merasakan gejolak emosinya yang sudah mulai turun dan normal kembali. Rasa pening yang sebelumnya menghantam kepalanya juga sudah berangsur menghilang, wajahnya pun tak panas lagi.

Pelan-pelan Xian bangkit dan mendekati Maw yang kini membaringkan tubuhnya sambil meringkuk kesakitan. Tubuh anjing kecil itu berjengit sekejab ketika tangan Xian menyentuhnya.

"Maaf ya, Maw," ucap Xian lembut, seraya menggendong Maw dalam pangkuannya. Perlahan, tangan Xian meraih kalung leher Maw dan melepaskan tali pengikat leher yang dipasang di sana.

"Maafkan aku," imbuh Xian penuh sesal. Pelan-pelan diusapnya punggung Maw dan dikecupnya kepala anjing kecil itu dengan sayang.

Maw membalas kecupan Xian dan menjilati dagu majikannya itu. Kedua kaki depannya menepuk-nepuk lengan Xian dengan lembut.

Laki-laki itu merasa terharu. Inilah yang membuatnya begitu menyayangi Maw. Walaupun dia menyakiti anjing kecil itu berulang kali, Maw tetap saja memaafkannya seperti sekarang ini.

Seolah-olah anjing itu dapat mengerti bahwa ia tidak benar-benar membenci Maw dan apa yang ia lakukan itu hanyalah akibat dari gangguan mental yang ia alami pasca kecelakaan itu.

"Sekarang makanlah dulu, besok barulah kita ke rumah sakit untuk mengobatimu," ucap Xian lagi sembari menggendong Maw menuju ke dapur.

Bersambung ....