Tentu saja setelah diberi makan dan dimandikan di apartemen Xian, anjing kecil yang ternyata berbulu putih itu akhirnya resmi menjadi peliharaan Xian.
Padahal Xian belum pernah memiliki hewan peliharaan sebelumnya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengurus anjing kecil itu dengan benar.
Untung saja sepertinya pemilik sebelumnya anjing kecil itu sudah mengajarinya banyak hal sehingga Maw tidak berperilaku seperti anjing liar yang buang kotoran sembarangan.
Hanya saja memang terkadang, saking aktifnya Maw tanpa sadar menjatuhkan atau merusak beberapa barang milik Xian. Hal itu memaksa Xian harus menitipkan Maw ke tempat penitipan hewan peliharaan selama ia di kantor.
Ia tidak bisa meninggalkan Maw di rumah sendirian. Selain karena ia tidak ingin barang-barang di rumahnya hancur berantakan, ia juga takut Maw tanpa sengaja mencelakai dirinya sendiri dan tak ada orang di rumah yang bisa membantu atau menjaganya.
"Kita tidak mampir ke mana-mana lagi, bukan?" tanya Allen ketika mereka telah sampai di depan tempat penitipan hewan yang mereka singgahi tadi pagi.
Xian tidak menjawab pertanyaan Allen dan langsung turun dari mobil. Meninggalkan Allen yang mendecakkan lidahnya dengan kesal karena merasa tidak dianggap.
ketika Xian memasuki tempat penitipan hewan peliharaan itu, tampak Inggit gadis yang ia temui tadi pagi.
"Xian!" sapa Inggit seolah tak percaya pada apa yang dilihatnya itu.
"Inggit, lagi-lagi kita bertemu. Kebetulan sekali ya," sahut Xian sambil tersenyum simpul.
"Kebetulan apanya, dia menunggumu sejak dua jam yang lalu!" sergah paman pemilik tempat penitipan hewan itu.
Xian menoleh ke arah Inggit untuk mengkonfirmasi apakah ucapan paman itu benar atau tidak. Inggit hanya tersenyum kecut.
"Aku tadi datang ke sini bersama Ibuku untuk menjemput anjingnya, tapi ia malah meninggalkanku di sini karena katanya dia ada urusan penting," ucap Inggit dengan tampang memelas.
"Setelah menunggu selama satu jam, aku mencoba menghubunginya, tapi ibuku malah menyuruhku pulang sendiri!" sambungnya sedikit menggerutu.
"Aku melihat anjingmu masih ada di sini, jadi kupikir sebaiknya aku menunggumu saja dan meminta tumpangan untuk pulang," lanjutnya mengakhiri penjelasannya.
Xian menganggukkan kepalanya sejenak. Ia tidak merasa keberatan mengantar Inggit pulang. Rumah gadis itu tidak jauh dari apartemennya sendiri.
Xian lantas berjalan menuju ke kandang di mana Maw tengah berlari kecil sambil mengibaskan ekor ketika melihat kedatangan majikannya.
"Maw," panggil Xian lembut. Anjing itu membalas sapaan majikanny dengan suara gonggongan bersemangat.
Paman pemilik tempat penitipan hewan itu akhirnya membuka jeruji kandang dan membiarkan Maw berlari keluar menuju Xian yang tengah berjongkok menyambutnya.
Maw menjilati tangan Xian dengan antusias sementara majikannya itu hanya tertawa-tawa merasa geli dengan jilatan anjing kecilnya yang menggelitik tangannya.
"Ayo kita pulang," ucap Xian lebih ditujukan pada Maw dari pada kepada Inggit.
Gadis bertubuh tinggi itu mengira Xian tengah berbicara padanya dan akhirnya ikut mengekor di belakang Xian sambil menuntun anjing besar hitam milik ibunya.
Allen benar-benar terkejut sekali ketika yang masuk ke mobil itu bukan hanya Xian dan Maw melainkan Inggit dan anjing besarnya juga. Xian bahkan sampai harus memangku Maw di kursi depan.
"Jadi karena ini kau tidak menjawab saat kutanya apakah kita akan mampir ke tempat lain atau tidak?" desis Allen setengah berbisik. Xian tidak menanggapi bisikan Allen walaupun ia jelas-jelas mendengarnya.
"Kita pergi ke rumah Inggit lebih dahulu baru antar aku pulang ke rumahku," ucap Xian memerintah Allen.
Allen tidak menjawab. Ia terlalu sebal dengan sikap Xian yang menurutnya seolah sok sekali di depan gadis yang duduk di kursi belakang mobil itu. Ia bahkan tidak bertanya di mana rumah Inggit.
"Pak Supir, arah rumahku tidak berbelok ke situ," ucap Inggit memprotes saat melihat Allen justru belok ke arah berlawanan.
"Aku bukan Pak Supir. Namaku Allen. Lagi pula aku berbelok karena harus memutar di jalan satu arah ini," tukas Allen berkilah.
Xian yang baru menyadari kalau ia belum memberi tahu alamat rumah Inggit pada Allen lantas memberitahukan kepadanya.
Inggit hanya terkikik geli melihat interaksi kedua laki-laki di bangku depan itu. Ia tidak tahu pasti apakah Allen itu teman atau bawahan Xian, tapi ia senang melihat sahabat sejak kecilnya bisa bersikap nyaman bersama orang lain selain dirinya.
"Namaku Inggit, senang berkenalan denganmu, Allen!" kata Inggit sedikit antusias. Ia memandang wajah Allen dari pantulan kaca spion mobil yang terletak di depan kursi pengemudi itu. Allen pun balas memandang ke arah Inggit.
Tentu saja Allen dan Inggit belum aaling mengenal karena Xian tidak pernah membicarakan hubungannya dengan orang lain baik kepada Allen maupun Inggit.
Baru kali ini Allen mengetahui kalau Xian memiliki teman sejak kecil yang menurutnya sangat cantik. Inggit pun baru mengetahui kalau ada orang lain selain dirinya yang bisa berinteraksi secara akrab dengan Xian.
Sebelumnya, Inggit hanya mengetahui kalau Xian sangatlah terpukul dengan kecelakaan yang menewaskan seluruh keluarganya dan menjadi pemuda introvert yang pendiam dan suka menyendiri.
Beberapa kali Inggit berusaha mencoba menjadi teman Xian, namun laki-laki itu seolah membangun tembok yang tinggi dan membuatnya jadi tak bisa masuk dalam hidup Xian.
"Hei, apakah kita tidak mampir untuk makan malam dulu?" tanya Inggit memecah keheningan. Ia merasa ini kesempatan yang bagus untuk mendekatkan dirinya dengan Xian.
"Sepertinya itu ide yang bagus, aku tahu kedai yang menjual mi rebus yang enak di sekitar sini," sahut Allen menyetujui usulan Inggit.
"Aku sedang tidak ingin makan mi rebus, bagaimana kalau hot pot saja? Kalau kau mau makan mi rebus, kau bisa tambahkan mi. Aku ingin makan daging, jadi aku akan masukkan daging," jawab Inggit menimpali.
"Bagaimana denganmu Xian?" sambung Inggit, bertanya pada Xian. Pria itu menggeleng lemah.
"Kalau kalian ingin pergi makan malam, antar aku dan Maw pulang dulu, baru pergilah kalian berdua makan malam bersama," jawab Xian tanpa menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya.
Inggit mendecakkan lidahnya dengan kesal sedangkan Allen hanya menghela nafas berat. Batal sudah acara makan malamnya bersama gadis cantik itu.
Allen bisa saja menyetujui permintaan Xian dan pergi makan malam dengan Inggit, tapi jika Xian tidak ikut bersama mereka, otomatis ia yang harus membayar makanan mereka. Ia tidak ingin itu terjadi.
"Kalau kau tidak ikut makan malam dengan kami, aku tidak mau pulang. Aku akan mengikutimu ke rumahmu," ancam Inggit. Kali ini Xian yang berdecak kesal.
"Aku sudah lelah, jangan membuatku semakin lelah. Kalau kau bermaksud mengacau seperti ini, lebih baik kau turun di sini. Akan kupanggilkan taksi online untukmu," sahut Xian.
Inggit mengenyakkan tubuhnya di atas kursi penumpang dan melipat kedua tangannya dengan wajah cemberut. Anjing hitam besarnya itu spontan menggeram begitu mendeteksi perubahan suasana hati majikannya itu.
Bersambung .…