Chereads / Puppy Dreams / Chapter 2 - Seorang Xian

Chapter 2 - Seorang Xian

Xian bangun pagi-pagi sekali. Ia tidak boleh terlambat berangkat ke kantor hari ini, ada meeting dengan klien yang tak boleh dia lewatkan.

"Maw, ayo kita sarapan dulu, lalu aku akan membawamu ke tempat penitipan hewan peliharaan," ujar Xian sembari mengambil dua buah roti panggang yang baru saja melompat dari panggangannya.

"Guk!" Maw menjawab dengan gonggongan ceria. Anjing kecil itu berlari dengan langkah-langkah kecil sambil menjulurkan lidahnya.

Maw kemudian berhenti tepat di dekat kaki Xian, lalu duduk tegak menunggu sambil mengibaskan ekor kecilnya.

Xian yang melihat Maw telah bersiap di tempat biasanya dia menunggu makan paginya, lantas segera mengambil sekotak makanan anjing premium yang ia letakkan di kabinet dapur bagian atas.

"Ini sarapanmu," ucap Xian seraya menuangkan semangkuk penuh makanan anjing ke dalam mangkuk aluminum berwarna pink bertuliskan nama Maw.

Tanpa menunggu lebih lama, Maw langsung menyerbu mangkuk itu dengan antusias dan melahap makanannya dengan penuh semangat.

"Anjing pintar," puji Xian sambil menggaruk leher belakang anjing kecil itu.

Setelahnya, Xian mencuci tangannya lalu mengoleskan mentega ke atas permukaan roti bakarnya yang masih hangat. Aroma gurih mentega menguar menggugah seleranya.

Usai sarapan, Xian dan Maw bergegas keluar dari top suite apartemen Xian, menuju ke dalam lift pribadi yang langsung mengantarnya ke basement parkir gedung apartemen mewah itu.

"Kita cuma punya waktu dua puluh menit sebelum meeting dimulai," ucap Allen, sekertaris sekaligus teman kuliah Xian yang ternyata sudah menunggu bossnya turun sejak tadi.

"Kita mampir dulu ke Pet Care," jawab Xian singkat. Allen menggeleng.

"Kenapa tidak kau tinggalkan saja Maw di rumah?" tanya Allen tak mengerti.

"Yang benar saja. Aku tidak mau pulang mendapati anjing ini menghancurkan barang-barang di rumahku," sahut Xian sedikit kesal.

Maw mendengking pelan seolah ingin menyuarakan protesnya atas ucapan Xian yang seolah tak percaya padanya. Xian mengabaikan protes Maw dan memasukkannya ke dalam mobil yang akan mereka kendarai.

"Bagaimana kalau dibawa ke rumahku saja? Apartemenku tidak jauh dari sini," usul Allen. Kali ini Xian yang menggelengkan kepalanya.

"Kubilang, kita mampir ke Pet Care!" seru Xian sedikit terdengar memerintah. Allen menghela nafas sembari memasang sabuk pengamannya dan mulai menyalakan mesin mobil itu.

"Aku curiga ada wanita yang kau sukai di tempat itu, sampai-sampai kau ngotot memintaku mengantarmu ke sana setiap hari," celetuk Allen menggoda Xian.

Laki-laki itu tidak menanggapi gurauan sekertarisnya. Ia malah sibuk mengutak-atik ponselnya untuk memeriksa jadwalnya hari itu. Seperti biasa, jadwalnya cukup padat. Lagi-lagi ia baru bisa menjemput Maw di malam hari.

Tempat penitipan hewan langganan Xian sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemennya, sayangnya letaknya berlawanan dengan arah yang menuju ke kantor Xian. Oleh karena itulah Allen tadi sempat memprotesnya.

Baru saja Xian menurunkan Maw dari mobil ketika mereka telah sampai di tempat penitipan hewan peliharaan itu, sebuah suara mengejutkan Xian juga Allen yang saat itu menurunkan kaca mobilnya.

"Xian!" seru seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut pendek kemerahan yang diikat serupa kuncir kuda. Xian menoleh ke arah gadis itu.

"Hai, Inggit," ucap Xian menyapa balik. Gadis yang bernama Inggit itu lantas berlari kecil dengan diikuti seekor anjing hitam besar yang berlari menyusulnya. Tali pengikat leher anjing hitam itu berada dalam genggaman tangan Inggit.

"Kau menitipkan anjing ibumu lagi?" tanya Xian menatap Inggit yang kini membungkuk terengah-engah sembari menumpukan kedua tangannya pada kedua lututnya. Inggit mengangguk.

"Sepertinya ini akan jadi rutinitas pagiku selama sebulan ke depan karena ibuku sedang sibuk menghadiri rapat dengan senator untuk membahas proyek pembangunan di lahan properti yang baru saja diakusisi oleh ayahku," jawab Inggit. Ada kesombongan yang tak ia tutupi dari nada suaranya itu. Xian hanya mengangguk pelan tanda mengerti.

Setelahnya Xian dan Inggit memasuki tempat penitipan hewan peliharaan itu, meninggalkan Allen yang diam-diam menaruh curiga pada hubungan mereka berdua.

"Apakah perempuan itu yang membuatmu mampir ke tempat itu setiap hari?" tanya Allen setelah Xian kembali ke dalam mobil dan kembali berkendara menuju ke kantor mereka.

"Bicara apa kau ini? Inggit itu adalah teman sejak kecilku. Aku dan dia sudah seperti saudara," jawab Xian ketus.

"Wah, dasar laki-laki yang tidak peka. Coba ajaklah dia pergi ke acara kumpul-kumpul anak muda malam minggu berikutnya, lalu lihat reaksinya!" ujar Allen memberi usul.

"Kau gila! Bukankah kau sudah tahu kalau aku paling tidak suka bertemu dengan banyak orang. Acara pesta dan kumpul-kumpul itu sangat memuakkan bagiku," tukas Xian ketus.

"Apa bedanya dengan pertemuanmu dengan orang-orang direksi di kantor kita nanti? Bukannya sama saja bertemu dengan banyak orang?" tanya Allen tak mengerti.

"Tentu saja berbeda. Kalau untuk urusan bisnis dan kepentingan perusahaan, aku masih bisa mentolerirnya," jawab Xian lirih.

"Hanya itulah satu-satunya yang tersisa dari keluargaku," sambungnya lagi. Allen tidak berani berkomentar lagi, ia tidak ingin memperburuk suasana hati bossnya itu.

Allen paham kalau memang sejak ia mengenal Xian, anak laki-laki itu sangatlah pendiam dan dikenal sebagai introvert di lingkungan mereka. Akan tetapi tidak ada yang berani mengganggu ataupun mengusik hidup Xian karena berita tentang kecelakaan keluarga pemilik perusahaan besar di Manila itu tersiar ke seluruh penjuru negeri.

Sudah lima tahun berlalu sejak kecelakaan itu terjadi. Xian saat itu masih seorang remaja berusia delapan belas tahun. Mereka sekeluarga sedang berwisata bersama untuk merayakan pergantian tahun.

Siapa yang menyangka, sepulangnya dari tempat wisata, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan yang menewaskan seluruh keluarga Xian pada malam itu.

Xian akhirnya menjadi pewaris tunggal perusahaan Rourin Corporation yang bergerak di bidang teknologi informasi dan produksi perangkat elektronik. Sebagai satu-satunya ahli waris yang tersisa, ia menjadi orang kaya yang paling muda dalam majalah-majalah bisnis di Filipina.

Dalam usianya yang masih belia itu, tentu saja Xian tidak akan mampu bertanggung jawab mengelola perusahaan sehingga jajaran direksilah yang mengurus perusahaan sementara Xian menuntut ilmu di bangku kuliah.

Untung saja pendidikannya berjalan mulus dan ia berhasil lulus dengan nilai terbaik dan memimpin perusahaan di bawah bimbingan mentor-mentor di perusahaan tersebut.

Xian memang tak memiliki siapa-siapa lagi. Bahkan anggota keluarga jauh pun dia tak punya. Ia hanya memiliki para direksi perusahaan yang senantiasa membantunya mengurus perusahaan dan segelintir teman-teman yang bekerja di bawahnya. Allen adalah salah satunya.

Lalu kini, dengan keberadaan Maw yang selalu menemani dan setia di sisinya, Xian merasa kalau dia tak butuh siapa-siapa lagi.

"Kita cuma punya waktu lima menit lagi, bergegaslah!" seru Allen mengingatkan.

Xian menggerutu sejenak. Berani-beraninya sekertarisnya itu memerintahnya sedemikian rupa. Meskipun demikian, Xian tetap saja menurut pada Allen dan bergegas menuju lift di basement untuk menuju ke lantai atas.

Bersambung .…