"MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, MORIEN, ..." bagai merapal mantra mereka menyebutku tak hentinya dalam gerombolan gelap yang semakin jelas pun bentuk dan jumlahnya.
Bahkan bila hendak kubandingkan dengan kumpulan para monster yang pernah mengepung Toulouse dulu, mereka lebih seperti ombak di lautan luas.
"Bersiap, Morien!" seru Tuan Bertilak kembali, sembari diangkatnya kapaknya dengan dua tangan, tak seperti kuda-kuda yang biasa dia ambil hanya dengan satu tangan. Itu cukup menjelaskan akan betapa tegangnya saat ini, bahkan bagi Tuan Bertilak. Belum lagi para pembunuh dari ras elf kegelapan masih mengincar kami dari gelapnya hutan.
"Ayah!" Teriak Nona Erina, yangmana aku pun dapat menangkap kecemasannya atas situasi ini.