Apa Tuan Bertilak memenggalku?
.
.
.
Kupandang beliau dari samping, pandangannya lurus dan mulutnya merapal, seakan sama sekali tak memperdulikanku yang baru saja di tebasnya. Lalu, gelap menyelimuti pandanganku. Kilas kehidupan kulihat bagai drama boneka di hadapan mataku.
Saat kulahir, saat kubelajar berjalan, lalu saat ayah meninggalkanku ...
Rekaman kejadian itu terus terputar berulang—ulang dengan cepat di depan mataku. Bahkan wajah khawatir Ibu, pada pagi sebelum para vandal menyerang istana kami di maghreb.
"{{Gelapkah jiwamu, terangkah jiwamu?}}" suatu suara berdengung di telingaku. Berangkap suara itu bahkan tak bisa kutentukan apakah pria atau wanita yang mengatakannya?
Tenggorokanku tak bisa kurasa, ... lidahku serasa tak ada. Perasaan yang kurasa persis seperti saat bertemu mendiang Ibu Nona Erina sebelumnya. Hanya, kali ini gelap gulita tak ada apapun yang bisa ku lihat.
Inikah kematian?
Tapi kenapa?