"Morien, kau sudah bangun, nak?"
Berlari ksatria berambut pirang dengan zirah putih seputih tulang itu, hendak memeluku yang merebahkan diri di ranjang.
Namun, sebelum sempat ia melebarkan tangan mengitariku, suatu amarah besar tersulut seketika dari dadaku. Terbawa emosi pun tinjuku melayang menghantam wajah rupawannya, menghantarnya mendarat di lantai keras menimbulkan bunyi benturan antara lantai dan zirah yang dikenakannya. Bersama pun mengundang para ksatria disana berlari hendak memberikan topangan pada ayah.
"Kenapa kau meninggalkan aku dan Ibu sendirian?" geram ku memuncak.
" ... Morien."
Semua terdiam, tak ada satu pun yang berani menyelaku. Sedang tatap ku membara memandang ayah, nafas berat berulang kuhembus dari tubuh yang lemah.
Perlahan pun Tuan Bertilak menarikku kembali menuju ranjang, sembari bujuknya "Tenanglah untuk saat ini dulu, Morien. Tubuhmu masih memerlukan pemulihan sebelum kau bisa bangun kembali."