"Aku sangat merindukanmu sampai aku merasa akan gila jika terlambat sedetik saja untuk melihatmu di batas kesabaranku."
- Angkasa Ardiansyah
***
Tanpa terasa, satu bulan telah berlalu sejak Laura menemukan Angkasa di sebuah Rumah Sakit Jiwa yang sudah terbengkalai. Angkasa ditempatkan di rumah Vikram sementara waktu untuk mempelajari semua mata pelajaran yang tertinggal.
Selama itu pula, Angkasa tidak bertemu Laura, yang membuatnya merasa sedih. Dia tak dapat bertemu sosok Laura yang menyelamatkannya dari kegelapan yang mengurungnya.
Untungnya, usaha Angkasa dalam mempelajari semua mata pelajaran membuahkan hasil. Dia telah mencerna semua yang dipelajari di otaknya.
"Hm... Diluar dugaan, lo ternyata cepat menguasai pelajaran. Hanya dalam satu bulan, semua mata pelajaran yang dipelajari selama 12 tahun sudah lo kuasai dengan baik." Vikram berseru takjub dengan otak cerdas Angkasa. Dia yang bertugas memberikan soal-soal pada Angkasa, menguji pria itu mengenai mata pelajaran yang terkait.
Di tangan Vikram, terdapat kertas ujian yang mendapatkan nilai sempurna setelah dikerjakan oleh Angkasa. Ini membuat Vikram yakin bahwa Angkasa sepertinya tak lama lagi akan diperbolehkan untuk keluar dari rumahnya dan dibawa kembali oleh Laura.
Mata Angkasa berbinar cerah. Dia sangat bersemangat menantikan hari-hari di mana Laura akan membawanya pergi bersamanya. Angkasa sudah sangat merindukan Laura dan ingin melihat perempuan itu.
Angkasa bertanya dengan penuh harap, "Apakah itu artinya aku bisa bertemu dengan Laura?"
Vikram meluruskan pandangan, menatap Angkasa dengan tatapan rumit. Beberapa minggu yang lalu, Angkasa sudah bisa berbicara lancar dan tak bergumam tidak jelas seperti sebelumnya. Pita suaranya sudah membaik dan tenggorokannya tidak terasa sakit. Suara Angkasa yang cenderung rendah dan serak, membuat Vikram merasa bahwa itu cocok dengan sosok Angkasa.
"Tunggu sebentar lagi. Lo pasti akan ketemu sama Laura setelah gue mengirim nilai ujian lo kali ini." Vikram mengambil gambar kertas ujian Angkasa yang mendapatkan nilai sempurna. Dia mengirimkan foto tersebut pada Laura dan menunggu tanggapan apa yang diberikan oleh gadis itu.
Vikram membaringkan tubuhnya di kasur, lalu melirik Angkasa yang duduk di lantai yang beralaskan karpet berbulu. Angkasa terlihat menantikan tanggapan apa yang akan Laura berikan atas kerja kerasnya.
Vikram memutar bola matanya malas. Dia sudah cukup muak ditempatkan bersama Angkasa yang merupakan peliharaan Laura. Padahal Laura yang memungut pria itu, tapi Vikram yang justru diharuskan untuk mengurusnya.
Vikram mengubah posisinya menjadi berbaring miring membelakangi Angkasa. Dia tak berhenti menggerutu setiap harinya karena keberadaan Angkasa. "Ck, sungguh memuakkan! Kapan Laura akan menjemputnya dari tempat gue? Gue benar-benar udah enggak tahan dengan kelakuannya yang terus-terusan bertanya-tanya kapan akan bertemu dengan Laura!"
Drrtt...
Vikram merasakan getaran pada ponselnya yang digenggamnya. Layar ponselnya kini menyala, menandakan adanya pesan masuk. Di layar tersebut, Vikram mendapati adanya nama Laura yang tertera sebagai pengirim pesan. Hal ini membuatnya dengan sigap membuka pesan tersebut.
- Laura Si Gadis Gila
Gue benar-benar enggak salah milih lo untuk bertanggung jawab atas pendidikan Angsa. Dia mendapatkan nilai yang bahkan melebihi nilai gue. Gue iri sih, tapi sebagai peliharaan gue, jelas dia harus mengungguli majikannya!
Vikram berdecih setelah membaca pesan dari Laura. Dia benar-benar sangat terpaksa menjadi orang yang bertanggung jawab atas pendidikan Angkasa atas paksaan dari Laura. Tak ada pilihan lain selain menurut pada gadis gila itu. Jika dia tak menuruti keinginan gadis itu, sesuatu yang mengerikan pasti akan terjadi. Tidak, sesuatu yang mengerikan itu tak akan terjadi pada Vikram, melainkan Laura yang tak segan-segan untuk melukai dirinya sendiri sampai membuat orang lain merasa ngeri dengan perbuatannya.
- Vikram
Gue terpaksa! Semua itu juga gara-gara lo, Laura! Jangan menunda-nunda waktu lagi, jemput peliharaan lo itu dari rumah gue atau gue buang dia di jalanan! Mampus lo!
Vikram tertawa terbahak-bahak membayangkan reaksi Laura yang pastinya kesal setengah mati setelah membaca pesan darinya. Vikram hanya bisa seberani ini pada Laura melalui berkirim pesan atau telepon. Jika dihadapkan langsung pada Laura, nyali Vikram pasti akan langsung menciut.
"Hah... Puas banget gue ngerjain Laura! Dia pasti kesel banget sama gue. Kemungkinan, apa dia bales pesan gue enggak ya?" Vikram mengatur napasnya yang terengah-engah karena puas tertawa. Dia bergumam sembari mengamati riwayat chat dengan Laura.
Pesan Vikram sudah dilihat oleh Laura. Pria itu menunggu dengan was-was akan reaksi Laura. Sayangnya, setelah beberapa menit berlalu, Laura tak membalas pesannya dan malah tidak aktif.
Vikram menelan ludah kasar. Kepanikan terlintas di matanya. "Anjir! Beneran enggak dibales? Jangan-jangan dia marah besar sama gue? Duh, mati gue!"
Angkasa yang sejak tadi mengamati gerak-gerik Vikram hanya bisa menyimpulkan bahwa sepertinya Vikram lagi-lagi mengganggu Laura melalui pesan yang pria itu kirimkan. Sejauh yang Angkasa ketahui mengenai Vikram, pria itu sepertinya memang benar-benar terpaksa menampung dirinya di rumah karena kehendak Laura.
Walaupun Angkasa tak diperlakukan dengan buruk oleh Vikram kecuali pria itu yang terus-terusan mengeluh, Angkasa lebih nyaman bersama Laura meskipun dia harus terluka.
Angkasa menundukkan kepalanya, mengamati buku-buku tebal serta alat tulis yang berserakan di karpet berbulu. Dia memilih untuk membereskan kekacauan yang dibuatnya sembari menunggu kejelasan mengenai keberadaannya.
Angkasa menelungkupkan wajahnya di atas buku-buku tebal yang telah ditumpuk rapi. Ekspresi di wajahnya terlihat murung disertai tatapan yang tak bersemangat menjalani hidup. "Laura,... aku merindukanmu. Kapan kamu akan menjemputku dan menempatkan ku di sisimu?"
***
Di tempat lain, tepatnya pada mansion yang menjadi tempat tinggal Laura, gadis itu kini sedang berbaring di sofa yang ada di ruang tamu. Posisi berbaring sungguh tak sedap dipandang karena salah satu kakinya menjuntai di lantai dan kaki yang lain justru berada di atas sandaran sofa. Posisinya yang mengangkang benar-benar tak mencerminkan sosok gadis baik-baik yang seharusnya bersikap anggun.
Pandangan Laura tertuju pada ponselnya yang menampilkan gambar yang dikirimkan Vikram mengenai nilai yang didapatkan Angkasa. Laura awalnya tak berekspektasi banyak mengenai Angkasa yang jelas-jelas sudah tertinggal pendidikannya dari anak-anak seusianya.
Tanpa diduga, Angkasa justru mendapatkan nilai yang lebih sempurna dari nilai yang biasa Laura dapatkan. Sejenak mata Laura memicing tajam saat melihat angka seratus yang tertulis di gambar. Dia sekilas melihat adanya gambaran yang bertumpang tindih dengan gambar yang dikirimkan Vikram. Pada gambaran yang dilihat Laura, ada kertas ujian yang mendapatkan nilai seratus seperti yang didapatkan oleh Angkasa.
"Ah, lagi-lagi gue ingat sama masa lalu..." Laura memejamkan mata untuk menghilangkan gambaran yang dilihatnya. Diapun kembali membuka mata dan beringsut duduk.
Laura menoleh ke sebuah jam dinding dan memastikan bahwa sekarang merupakan waktu yang tepat untuk memutuskan langkah selanjutnya yang berkaitan dengan Angkasa. Dengan kecerdasan Angkasa, setidaknya Laura tak akan terlalu dirugikan jika menempatkan pria itu bersamanya.