Anindia hampir terjatuh dari berdirinya. Kini tatapan yang biasanya tajam terlihat sangat layu. "Apakah kamu yang menabrak ku?" ucap Anindia pada Ahmer yang memegang tubuhnya yang lemas itu.
Gak mungkin mengelak lagi, kini Ahmer memejamkan matanya dan mengatakan kata maaf.
Bukan ini yang Anindia ingin dengar, ia ingin Ahmer menepis nya untuk hal ini dan ia akan percaya meskipun Ahmer berbohong. Rasa sakit semakin menggerogoti perasaan Anindia yang sudah sakit selama ini.
Keterkejutan nya membuat tatapan nya buram, ia jatuh di pangkuan Ahmer dan tidak sadarkan diri. Ahmer sangat panik dan segera membawa istrinya ke kamarnya, sementara itu Sarah pulang ke rumahnya setelah membuat pasangan itu bersih keruh.
Anindia terbangun, ia menatap Ahmer yang sedang memegang tangannya. "Apakah kamu melakukan nya? kenapa kamu tidak bilang selama ini?" lirih Anindia pada suaminya.
"Maafkan aku, aku tidak berani bahkan menatap wajahmu setelah kejadian itu" lelaki itu kini menangis menatap wajah istrinya yang masih terlihat menyimpan kepercayaan padanya.
"Apakah kamu menikahi ku karena kamu yang membuat ku mengangkat rahim ku?"
Ahmer mengangkat wajahnya mendengar ucapan Anindia, "Tidak, aku benar-benar tulus mencintaimu"
"Lalu bagaimana dengan wanita yang melahirkan anakmu?"
"Maafkan aku" Lagi-lagi kata itu keluar dari mulut Ahmer.
"Untuk apa?"
"Itu sebuah kesalahan saat aku mabuk, aku di beri minuman oleh klien ku dan aku tidak ingat apa yang terjadi aku mohon percayalah itu hanya kesalahan satu kali bukan hak yang kamu pikirkan"
"Dia bilang berhubungan dengan mu sudah satu tahun" lanjut Anindia mengatakan semua yang di dengarnya dari Sarah.
"Tidak, bukan hubungan seperti itu! Setelah mendengar dia hamil aku hanya membiayai semuanya, aku tidak pernah bertemu atau menyentuh nya aku mohon percayalah padaku"
Anindia mengangguk, ia tersenyum pada suaminya. Ahmer melihat sikap Anindia yang berubah.
"Aku lapar!"
Ahmer segera tersenyum dan menyuruh asisten rumah tangga menyiapkan makanan untuk mereka.
Anindia mandi dan bersiap, sementara Ahmer pergi ke ruang makan lebih dulu.
Mereka makan malam seperti biasa, tampak tak ada masalah sama sekali.
Setelah selesai makan, Ahmer meneguk minum di gelas dekat tangan kanan nya. Ia kemudian menatap Anindia yang tampak sudah selesai lebih dulu.
"Kak!" ucap Anindia. Panggilan yang biasa mereka pakai ketika berpacaran.
Ahmer mengerjapkan matanya! "Ada apa?"
"Aku ingin pulang ke rumah orang tua ku" lanjut Anindia.
Mendengar itu, Ahmer tampak kaget. "Sayang, apakah kamu ingin kita main ke sana aku akan mengantar mu lagi pula kita sudah lama tidak ke sana"
Anindia menggelengkan kepalanya. "Karena kamu masih suamiku, aku ingin meminta izin mu untuk tinggal dengan orang tuaku" lanjut Anindia.
Kata-kata masih suami mu, yang di katakan Anindia membuat Ahmer ketakutan karena sikap Anindia yang tampak tenang.
"Baik, ayo menginap di sana beberapa hari"
"Aku ingin menginap sendirian"
"Apakah kamu ingin meninggalkan ku?"
"Izinkan aku menenangkan diri!"
Setelah menatap wajah istrinya beberapa lama, Ahmer menghela nafas dan akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi izinkan aku mengantarkan mu! Jangan terlalu lama aku tidak bisa jauh darimu kamu tahu itu" lanjut Ahmer, namun hanya senyuman yang di lontarkan Anindia.
Akhirnya hari dimana Anindia pulang ke rumah orang tua nya tiba, ia mengemasi barang-barang nya. Dan Demas sang adik datang menjemput Kakaknya itu. Anindia menolak di antar kan Ahmer.
Hati Ahmer remuk redam, ia sangat ketakutan dan sedih melihat istrinya mengalami tangannya dengan wajah tertunduk dan pergi memasuki mobil yang di kendarai adik iparnya.
Setelah di perjalanan ia melihat begitu banyak keindahan , ia begitu menyaksikan pemandangan alam ia memejamkan mata me rehat kan sejenak beban pikiran nya ia menelan gumpalan yang sepertinya terus menyumbat kerongkongan nya .
Sesampai nya Anindia datang ia di sambut oleh bapa Hadi dan ibu Hadi .
"Putriku , kau kesini kamu begitu lebih cantik mana Ahmer mana suamimu ?"
Lagi lagi yang ibu nya tanyakan hanya seorang Ahmer yang sangat ia percayai yang sangat ia kagumi atas kesetiaan menemani Anindia dalam ke adaan terpuruk .
"Dia tidak ikut Ma, ia harus membereskan pekerjaan nya secepat mungkin mungkin ia sibuk " ucapnya sambil tersenyum kepada ibu nya
Anindia hanya meraba raba alasan supaya seorang ibu tidak begitu khawatir terhadap pernikahan dan hati Anindia Putri mereka .
Anindia seorang yang tidak pernah mengadu sebesar apapun masalah ia hadapi, ia bukan wanita yang cengeng , ia takan pernah mengatakan kepada orang tuanya .
Anindia berjalan bersama ibu dan bapa nya menuju teras meja atas dan membawa teh panas lagi lagi kebiasaan nya bersandar di kursi dan menopang siku , kemudian terus memikirkan masalah.
Lagi lagi bayangan hingga di kepalanya yang bahkan sampai sekarang ia tidak menyangka laki laki yang di percayai nya selama ini adalah yang membuat rahimnya diangkat dia adalah suami nya sendiri .
Anindia selalu mengingatkan diri apapun yang ia alami saat ini bersama suami nya yang mungkin membuatnya takan pernah melupakan rasa pahit itu.
"Anindia , kau sudah makan ?"
"Sudah Bu sebelum Demas membawaku kesini aku terlebih dulu sarapan di rtumah "
"Memang ya Ahmer laki laki yang bertanggung jawab yang mampu membahagiakan putri ibu yang cantik , kau tak salah memilihnya nak." ucap ibunya
"Ibu ada ada saja " ucapnya sambil tersenyum manis.
Tiba tiba suara langkah kaki seseorang mulai nyaring ia semakin dekat ia menuju meja teras atas .
"Hey, apakah kau melihat kakakku ?" ucap Nanda sambil tertawa
Nanda datang , dan melirik Anindia gadis itu sangat senang bertemu dengan kakak nya.
"Kakak ipar mana ? tanya Nanda, setelah membuat lelucon yang akhirnya memperlihatkan senyuman di wajah cantik Anindia.
Celetukan dari mulut sang adik membuat Anindia mengingat masalah nya lagi tapi ia tetap tenang dan merasa ia baik baik saja tanpa meninggalkan masalah dari rumahnya .
"Kak Ahmer akan sibuk bekerja mungkin ia akan keluar kota, jadi kakak akan menginap agak lama di sini" jawab Anindia, namun ia yang tak pernah berbohong membuat air mata di pelupuk matanya seperti akan tumpah.
Anindia memutuskan izin pada ibunya untuk pergi ke kamarnya dengan alasan ingin istirahat. Namun batin seorang ibunya pada sang anak bisa paham bahwa tidak ada yang sedang baik-baik saja.
Sampai malam Anindia bahkan tidak ke luar kamar, ia menangis sendirian. Sampai suara pintu kamar terbuka, ibunya menghampiri sang putri yang menangis sendirian.
"Anin, ibu tidak tahu apa harus bertanya atau tidak padamu karena kamu selalu jujur! Namun nak, katakanlah semuanya itu akan membuat mu tak menanggung nya sendirian"
Ia bangun dan duduk, memeluk ibunya dengan cepat. "Ibu, Ahmer melukai perasaan ku" lirihnya.
Mendengar ucapan putrinya bu Hadi tampak sangat terkejut dengan kenyataan itu.