"Pa, aku mau tinggal di sini boleh yaa?" pinta Rara pada Bagas.
"Gak ada Ra, seorang wanita sudah bersuami maka wajib buatnya mengikuti ke mana suaminya pergi," balas Aeni menatap putri semata wayangnya itu.
"Ma, mama tidak tahu bagaimana keadaan Rara sejak tinggal sama Dzaky? Dia diktator Ma," ucap Rara berapi-api.
"Kamu tahu Ra, dia lakuin semua itu karena dia ingin kamu berubah menjadi lebih baik. Dia suami kamu gak mungkin jika dia mau menjerumuskan istrinya sendiri Papa tahu bagaimana Dzaky dan bagaimana kamu Rara jadi jangan memprovokasi kami kamu faham," ucap Bagas penuh penekanan.
Rara yang mendengarnya hanya memutar bola matanya malas.
"Ternyata Papa lebih percaya sama Dzaky menantu Papa daripada anak sendiri. Rara kecewa sama Papa," ucap Rara segera mengambil tas sekolahnya dan pergi tanpa mengucapkan pamit pada kedua orang tuanya.
"Anak itu kapan ya bisa berubah?" gerutu Bagas pada istrinya Aeni.
"Sabar Pa, dia kan masih muda mungkin masih terbawa arus pergaulan jadi harus banyak sabar. Semoga Dzaky bisa mengarahkannya ke jalan yang lebih baik," balas Aeni.
Bagas meraih ponselnya dan menghubungi Dzaky.
"Assalamu'alaikum, ada apa Pa tumben telpon jam segini?"
"Waalaikumussalam, Papa mau tanya Ky, barusan Rara datang ke rumah dan meminta uang sama Papa katanya kamu gak kasih dia gitu dan dia juga gak mau tinggal bareng sama kamu. Sebenarnya ada masalah apa to Ky?"
"Bukankah kemarin Papa sudah memasrahkan Rara sama Dzaky? Itu berarti Papa gak perlu khawatir soal dia. Kemarin dia memang meminta uang lebih pada Dzaky tapi gak Dzaky kasih karena Dzaky tahu uang tersebut untuk apa, tempo hari Dzaky tegur dia untuk terbiasa bangun pagi karena sebentar lagi mau tidak mau dia kan segera menjadi seorang ibu tapi dia marah-marah dan mengatakan jika saya adalah 'suami bayaran' jadi gak pantas buat atur-atur dia."
Bagas menghembuskan nafasnya kesal.
"Masih banyak Pa tentang Rara yang seenaknya sendiri jika diceritakan takkan habis waktu dalam sehari buat bercerita, tapi InsyaAllah Dzaky masih bisa mengatasinya Papa tenang saja."
"Baiklah nak, saya pasrahkan dia sama kamu ya, maaf jika Papa menggantungkan nasib Rara padamu karena Papa sendiri sudah menyerah mendidiknya."
"Yang penting Papa percaya sama Dzaky, nanti saya akan terus berusaha agar dia segera sadar dan berubah menjadi wanita yang baik. Sudah dulu ya Pa, ini Dzaky sedang sedikit sibuk mengurus berkas pengiriman barang ke Bali, nanti Dzaky telpon lagi jika sudah ada waktu."
"Baiklah nak terima kasih untuk segala bantuannya ya nak."
"Sama-sama Pa, Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Klik.
Bagas melempar ponselnya pada sofa, Aeni yang melihatnya pun terkejut.
"Ada apalagi Pa?" tanya Aeni duduk di samping Bagas.
"Rara Ma, ternyata dia lebih kasar dan berani pada Dzaky. Papa jadi malu jika sudah seperti ini," ucap Bagas menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Memangnya apalagi yang anak kita perbuat pada Dzaky Pa?" tanya Aeni.
"Rara menyebut Dzaky dengan sebutan 'suami bayaran' Ma, apa itu tidak melukai harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Jika aku yang menjadi Dzaky mungkin sudah aku tampar dia," sela Bagas frustasi.
"Kenapa anak itu semakin lama semakin berani yaa Pa, apa keputusan kita kemarin menikahkannya dengan Dzaky adalah sebuah kesalahan?" ujar Aeni.
"Papa merasa gak enak dengan Bu Hanifah jika ternyata Dzaky mendapatkan istri yang tak sebanding dengannya padahal Dzaky begitu sangat menginginkan wanita sholehah seperti Annisa sementara anak kita bar-bar sifatnya," beber Bagas.
"Sabar pasti ada jalan semoga dengan kehadiran anaknya nanti dia mau berubah," harap Aeni.
"Kita lihat nanti bagaimana Ma, jika ternyata anaknya lahir dan dia harus bercerai dengan Dzaky pun Papa tidak dapat menjamin dia mau berubah seperti yang Papa pikirkan."
***
Rara duduk selonjoran di ruang tengah ketika Dzaky pulang dari kantornya.
"Assalamu'alaikum," sapa Dzaky namun tak ada jawaban dari Rara yang asyik menonton tv.
"Ra, kamu sudah makan?" tanya Dzaky.
"Rara," Dzaky mengulanginya namun tak ada jawaban juga dari Rara.
"Oke kamu masih marah padaku soal tambahan uang saku?" ucap Dzaky.
"Sudah tahu nyolot nanya-nanya," balas Rara ketus.
"Tadi papamu telpon dan memberitahukan ku jika kamu datang minta uang padanya dan gak mau tinggal bareng kan?" sela Dzaky.
"Perlu kamu ketahui Ra, Papamu takkan bisa bantu kamu karena Papamu sendiri yang memintaku untuk merubah dirimu menjadi lebih baik," lanjutnya.
"Dan sekarang kamu puas sudah membuatku menderita seperti ini?" tanya Rara ketus.
"Maafkan aku tapi tak ada cara lain agar kau tersadar dari sikap kekanak-kanakan mu itu."
"Harusnya kau banyak bersyukur hidupmu serba ada tak pernah kekurangan apapun tapi nyatanya kau, dugem/mabok/dan terakhir kamu hamil diluar nikah apa kamu gak malu dengan itu semua? Pikirkan baik-baik masa depanmu, hidupmu takkan berulang jangan sampai kau menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu berharga milikmu itu," ucap Dzaky tanpa ekspresi segera naik ke kamar bergegas membersihkan diri dan lanjut istirahat.
Niat hati ingin mengambil air minum di dapur tapi suara Rara yang sedang memuntahkan sesuatu membuat langkah Dzaky terhenti seketika. Dilihatnya Rara yang sedang terduduk di closed kamar mandi dengan wajah pucat pasi membuat Dzaky khawatir dan ikut berjongkok membantunya.
"Apa kau baik-baik saja," tanya Dzaky memijat tengkuk Rara namun yang didapatkan Dzaky justru kemarahan Rara.
"Jangan sentuh aku! Apa kamu gak jijik melihatku seperti ini?" ucap Rara ketus.
"Aku tak pernah sekalipun jijik Ra, karena aku sering membantu ibuku di kampung jika beliau sedang sakit seperti ini pastilah aku yang akan membantu mengobatinya," balas Dzaky santai.
"Aku bukan ibumu, pergi sana!" usir Rara seraya mendorong tubuh Dzaky membuatnya jatuh terduduk.
"Gadis keras kepala seperti dirimu memang seharusnya mendapatkan pelajaran biar segera sadar," ucap Dzaky kesal dengan perlakuan Rara padanya.
"Nikmati saja masa sulit ini pastinya nanti kamu bakal tahu bagaimana dulu ibumu juga berjuang demi kamu," seru Dzaky segera bangkit berlalu meninggalkan Rara yang terpaku di sana.
Begitu selesai Dzaky duduk di ruang tengah sendiri, di saat seperti ini justru pikirannya tertuju pada seseorang yang sudah dia lukai hatinya 'Annisa' andai restu itu dia dapatkan mungkin takkan pernah dia ada di sini sekarang. Dzaky menghembuskan nafas beratnya sesak terasa dalam dadanya.
'Tidak ini tidak benar, tak seharusnya aku memikirkan wanita lain sementara aku sudah memiliki seorang istri. Bagaimanapun pernikahan ini sah di hadapan Allah aku tak boleh mengotorinya dengan angan-angan semu,' ucap Dzaky dalam hati.
"Sudah ngelamunnya? Bisakah aku minta tolong?" ucap Rara mengagetkan Dzaky yang tengah termenung.
"Apa?" balas Dzaky singkat.
"Aku pengin makan baso yang dalamnya ada isiannya," ucap Rara membuat Dzaky mengerutkan keningnya mendengarkan kalimat Rara.
"Memang ada?" tanya Dzaky.
"Tentu saja, warungnya ada di ujung gang dekat rumah Papa," balas Rara membuat Dzaky mendelik mendengarnya.
"Apa yang benar saja kau menyuruhku ke sana sekarang?" sela Dzaky.
"Tidak, aku tidak menyuruhmu tapi memintamu ke sana sekarang untuk membelikannya untukku," seru Rara.
Deg
"Dasar wanita bar-bar!"