Rara terdiam karena mengingat perkataan Dzaky demi apa dia mau menerima lamarannya sedangkan dia sendiri sebenarnya memiliki nama lain dalam hatinya begitu pula sebaliknya Rara hamil bukan dengan Dzaky kenapa dia mau repot-repot ikut menanggungnya.
Dzaky memang special di hati keluarganya karena mau berkorban menutupi aib keluarganya, tapi apakah dia tidak terluka jika ternyata kelak pada akhirnya dia bercerai dengannya. Dia sudah berkorban waktu dan tenaga tapi terluka pada akhirnya.
Rara terdiam ketika melihat tubuh Dzaky yang hanya memakai handuk kecil yang melilit di pinggangnya tercetak jelas pada tubuhnya dada yang bidang putih bersih dengan otot-otot yang terlihat jelas tercetak pada tiap lekuk tubuhnya karena dia sendiri rajin pergi ke gym meskipun hanya seminggu sekali karena memang dirinya dangat sibuk.
Rara menelan salivanya melihat pemandangan langka di depannya karena Ardy pacarnya tidak sesexy Dzaky. Rara mengacak rambutnya frustasi kenapa dia dipertemukan dengannya sekarang kenapa tidak dari dulu.
"Tunggu kenapa aku jadi memikirkannya," gumam Rara memukul kepalanya sendiri.
Dengan cepat Rara menutup tubuhnya dengan selimut rasa mual kembali menyerangnya, apakah hamil memang tak seenak ini. Ketika rasa mulanya datang ingin sekali dia melempar sesuatu apapun itu yang penting rasa mulanya bisa segera dia obati. Apakah hamil begitu menyakitkan, pikirnya.
Dzaky yang keluar dari kamar mandi dan hanya memakai handuk kecil yang melilit di pinggangnya saja terkejut melihat Rara masih terjaga, pikirnya tadi sebelum keluar dari kamar mandi Rara sudah tertidur karena efek obat yang dia minum dan dia bisa bebas keluar meskipun hanya memakai handuk kecil karena memang dia sendiri lupa membawa baju ganti ke kamar mandi.
Dzaky melihat Rara yang gelisah tak tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya apalagi sampai memukul kepalanya sendiri.
"Dasar gadis bodoh," gumamnya. Dzaky melirik sejenak dilihatnya Rara sudah tenggelam masuk dalam selimutnya.
"Sudahlah apa peduliku," gumam Dzaky lagi dengan segera memakai pakaiannya dan tidur di sisi Rara. Ya, Dzaky tidur satu ranjang dengan pembatas bantal guling ditengahnya dan dilarang melampaui batas tersebut.
Dzaky terlihat gelisah bagaimanapun dia laki-laki normal dan Rara istrinya tidur sesuka hatinya tak melihat bagaimana dia berjuang untuk menahan gejolak dalam hatinya. Dzaky berusaha memiringkan tubuhnya menatap luar jendela yang terasa sangat sunyi hanya lampu-lampu penanda gedung tersebut masih berpenghuni. Dzaky bangun dari tidurnya dan keluar menuju balkon rasanya dingin menusuk tulang namun tak dia pedulikan mungkin ini lebih baik daripada harus bersanding dengan Rara yang terlelap dalam tidurnya.
"Apa kau tak merasa dingin berdiri di sana?" tanya Rara yang melihat Dzaky bangkit dari tidurnya. Rara pikir dia akan keluar kamar atau pindah ke sofa ternyata dia keluar menuju balkon padahal dingin sangat menusuk tulang karena kamarnya berada di paling atas lantai tiga puluh dua.
"Kenapa kau bangun, masuklah di sini sangat dingin kau tahu," ucap Dzaky.
"Lantas kau sendiri kenapa berada di sini?" Rara balik bertanya.
"Aku laki-laki Ra, dan aku masih kuat jika hanya menahan dingin seperti ini. Kau sedang hamil sebaiknya kau cepat tidur dan jaga janin kamu agar tetap sehat, kau mengerti."
"Kenapa kau begitu perhatian padaku sementara kau sendiri sebenarnya tak mencintai diriku bukan?" tanya Rara ketus pada Dzaky entah kenapa keberaniannya muncul untuk menanyakan hal tersebut padanya.
"Bukankah aku sudah bilang jika aku ingin membalas budi pada keluarga besar papamu, terutama kakek karenanya aku sekarang bisa sukses seperti ini bisa menempuh pendidikan hingga ke luar negeri dan bekerja di tempat yang terbaik meskipun bukan di ibu kota." seru Dzaky.
"Kau pikir balas budi akan mudah tidak, itu lebih berat daripada kau berhutang uang dengan nominal jutaan rupiah," lanjutnya.
"Tapi tidak harus mengorbankan diri juga bukan? Kau itu tampan, punya penghasilan dan juga punya kharisma sendiri tentunya banyak sekali yang antri untuk mendapatkannya bukan?" ucap Rara.
Dzaky berdecak kesal padanya kenapa dia berbicara seperti itu seolah-olah dia salah satu penggemarnya.
"Kau tertarik padaku?" tanya Dzaky dengan penuh percaya diri.
"Tidak, bahkan pacarku lebih keren darimu," ucap Rara ketus pada Dzaky.
"Oh iya, tapi kenapa dia tak bertanggung. jawab dan justru meninggalkan wanita yang sudah dia nikmati madunya?" ucap Dzaky sarkas.
"Kau...."
"Apa? kau pikir aku tak tahu siapa itu Ardy? Aku sudah tahu dia mahasiswa jurusan hukum bukan? Harusnya dia tahu hukuman apa yang pantas buat orang yang sudah menghamili anak gadis orang. Kau tanyakan saja padanya pasal berapa dan hukumannya apa pasti dia lebih faham," ucap Dzaky segera masuk ke kamar lantas mengambil bantal dan selimutnya tidur di sofa moodnya menjadi buruk karena perkataan Rara seandainya dia tak terlibat hutang budi dengan kakeknya mana mungkin dia mau menikahi wanita sepertinya, apakah ini hukuman untuknya?
Tapi bukankah kita harus ikhlas dalam menjalani sesuatunya, tapi kenapa hati masih merasa gondok kesal jika teringat nama Ardy yang selalu dia sebut-sebut padahal Ardy tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya. Apakah Rara buta tak melihat ketulusannya membalas budi baik pada keluarganya di Jogjakarta, memikirkan hal ini tentu saja membuat Dzaky sakit kepala jadinya.
Keesokan harinya tepat pukul delapan waktu Singapore Pak Bagas menelpon Dzaky dan bertanya tentang keadaan mereka berdua.
"Hallo, Assalamualaikum Pa."
"Waalaikumussalam, kok sepertinya kamu kurang bersemangat apa terjadi sesuatu di sana? Apakah Rara sudah diatur?"
"Dzaky lagi capek aja Pa, ada apa menelpon Pa, Papa sekeluarga sehat kan?"
"Dzaky.... Dzaky, Papa justru khawatir dengan keadaan kamu karena Rara seperti itu tapi kau malah menanyakan keadaan kami. Kami baik-baik saja, bagaimana keadaan Rara apakah dia merepotkanmu? Katakan pada Papa jika dia macam-macam Papa akan menghukumnya nanti."
"Tidak kok Pa, dia tidak banyak permintaan selama di sini, aku masih bisa menghandle jika hanya manja-manja tidak ada karena aku menyuruhnya melakukan semuanya sendiri."
"Benarkah? Kau memang hebat Dzaky, Papa suka itu."
"Puji terus menantunya, Papa lupa sama Rara sehingga dari tadi hanya mengobrol dengannya."
Rara merebut ponsel milik Dzaky dan berbicara dengan papanya Bagas.
"Rara kamu ngapain begitu sama suami kamu tidak sopan." Pak Bagas mulai terpancing emosi melihat kelakuan anaknya yang bar-bar.
"Pa, apa Papa akan terus memujinya dan gak melihat Rara seperti apa hidup bersama dengannya. Papa juga jangan egois hanya karena tak mau menanggung malu Papa nikahkan Rara dengannya sedangkan Rara tak memiliki rasa sedikitpun padanya."
"Cukup Ra, kau tak boleh berkata begitu karena bagaimanapun dia adalah suami kamu, imam kamu dan kamu harus patuh padanya jangan membantah perintah Papa mengerti."
Dzaky merebut ponselnya dan kembali berbicara dengan mertuanya.
"Maaf Pa, kami akan pergi sampai nanti. Assalamualaikum."
Klik.
Dzaky mematikan ponselnya dan menatap tajam pada Rara yang terlihat ketakutan karena tatapan tersebut.