Chereads / Jodoh pilihan Papa / Chapter 6 - tolong hargai

Chapter 6 - tolong hargai

"Kenapa diam saja dari tadi?" tanya Dzaky melihat istri kecilnya cemberut dari tadi dan hanya melirik sinis penuh benci.

"Gak apa lagi gak mood aja sama kamu," balas Rara ketus.

"Kenapa tak meneleponku tadi?" tanya Rara.

"Aku bahkan tak punya nomor ponselmu bagaimana aku bisa menghubungimu?" balas Dzaky.

"Kamu kan bisa minta sama Papa atau tanya padaku apa kau gak punya akal?" ujar Rara kesal.

Dzaky menghela nafasnya.

"Apa seperti ini juga kelakuanmu sama Ardy?" tanya Dzaky setengah malas hal yang tak ingin dia lakukan membahas laki-laki lain.

"Jangan bawa-bawa dia dalam persoalan kita, dia tak ada sangkut-pautnya dengan ini," sela Rara.

Dzaky memilih diam dirinya enggan beradu argumen dengan seorang wanita yang pastinya akan selalu berujung pada sesal. Ya, sesal jika dia sudah mengeluarkan semua kata-katanya pastinya akan sangat menyakitkan bukan?

Mobil yang ditumpangi Dzaky dan Rara berhenti di komplek perumahan elit. Dengan segera Dzaky membuka pintu mobil diikuti Rara.

"Gila Papa kasih rumah Segede ini siapa yang mau menghuninya?" ucap Rara.

"Tentu saja kita, bukankah ini hadiah dari Papa untuk kita?" ucap Dzaky datar.

"Cih, bukan kita tapi kamu! Suami bayaran yang menikahi gadis hamil sepertiku hanya karena uang," beber Rara.

"Aku masih bisa bersabar menghadapi sikap kamu Ra," balas Dzaky meski kesal dengan ucapan Rara Dzaky menahan segala umpatan untuknya karena percuma berbicara dengan anak yang masih labil menurutnya hanya buang-buang energi dan waktu saja.

Dzaky tak memperdulikan Rara yang masih kesal padanya, bergegas ia masuk dan mengecek segala isi rumah tersebut.

Semua sudah komplit dan tertata dengan rapi tinggal menempatinya saja.

"Malam ini kita mulai tidur di sini Ra," ucap Dzaky membuat Rara membulatkan kedua matanya.

"Gak mau mas, Rara gak akan pindah ke sini sama mas Dzaky titik," ucap. Rara penuh penekanan.

"Ok, tapi jangan menyalahkan ku jika semua fasilitas yang kamu nikmati aku cabut semua, apa kamu lupa jika sekarang akulah yang akan mengatur hidup kamu. Bahkan dari belanja kebutuhanmu sekalipun," sahut Dzaky datar.

Rara terdiam seketika tak mungkin dia mau kehilangan semua itu hanya karena tidak mau tinggal bersama suami bayaran menurut versi Rara.

"Ok. Aku akan nuruti permintaan kamu tapi jangan coba-coba atur aku untuk yang lainnya," ucap Rara kesal.

"Terserah padamu saja." Dzaky enggan berdebat memilih untuk diam daripada berkata tak penting.

Dzaky dan Rara masuk ke dalam rumah yang sudah sangat mewah menurut Dzaky dari interiornya saja kelihatan jika semua barang berkelas apa Pak Bagas benar-benar menginginkannya sebagai seorang menantu yang hanya duduk manis mengharapkan belas kasih mertua.

"Di mana kamarku?" tanya Rara mengecek seluruh ruangan dan sialnya kenapa hanya ada 1 kamar utama di sini.

"Bukan kamarmu tapi kamar kita," ucap Dzaky penuh penekanan.

"Siapa perduli, aku tetap gak ingin tidur sama kamu. Laki-laki harus mengalah dan tidur di sofa ok," sela Rara dan terang saja perkataan Rara membuat Dzaky berang.

"Apa maksudmu Rara? Kau sudah sah menjadi milikku jadi aku berhak atas dirimu tak perlu kau memancing emosiku," ucap Dzaky mulai kesal.

"Apa? Tak ada yang lebih berarti dari sebuah 'Suami bayaran' itulah kata panggilan yang tepat untukmu," sahut Rara semakin menyulut emosi Dzaky.

"Kau benar-benar ingin membuatku semakin marah?" Dzaky mendekati Rara yang sudah terpojok tidak ada cara lain selain diam karena tubuhnya sudah menyentuh dinding.

"Awas jika kau macam-macam akan ku laporkan pada kekasihku," ancam Rara Dzaky yang mendengarnya pun terkekeh geli.

"Kau masih memikirkan dia laki-laki brengsek yang sudah menikmati tubuhmu dengan gratis setelah puas lalu meninggalkanmu dan juga calon anaknya begitukah yang kau sebut kekasih?" tanya Dzaky kesal andai saja dia tak pulang ke Jogja kemarin mungkin saat ini dia takkan menjadi menantu Pak Bagas dan hidupnya masih bebas berkelana di pulau Bali.

"Kau pikir aku bahagia dengan pernikahan ini? Kau salah Ra, aku hanya ingin membantu kesulitan ayahmu dari cibiran orang-orang di sekitarnya," lanjutnya.

"Jangan suka menyakiti hati orang lain Ra, apalagi dengan orang tuamu sendiri."

"Dan gak perlu ceramah panjang lebar kali, tanpa kau memberitahukan aku sudah tahu semuanya."

"Sudah tahu tapi masih saja melakukannya apa bedanya. Huhf," pekik Dzaky kesal.

"Sudah diam kau, ingat meskipun kamar kita satu kau tak boleh melakukan apapun terhadapku. Terlebih kita hanya pasangan di atas kertas. Aku tidak akan pernah mencintaimu, kau faham?" ucap Rara berdecak sebal pada Dzaky.

"Dan mulai sekarang kita pake zona wilayah jadi jangan sembarangan masuk ke zona terlarang kau mengerti?" ucap Rara penuh kemenangan padahal Dzaky belum mengatakan apapun padanya.

"Hallo Assalamualaikum Pa."

"Waalaikumussalam, apa Rara sudah kau jemput?"

"Sudah sekarang kami sedang berada di rumah baru, mungkin mulai nanti malam kami akan mulai menempatinya Pa."

"Baiklah jika itu keputusan kalian Papa setuju saja, tolong jaga Rara dengan baik nak arahkan dia ke jalan yang benar. Jangan sungkan jika dia berbuat salah segera tegur dia."

"Baik Pa akan Dzaky lakukan yang terbaik untuknya."

"Bukan untuknya saja Dzaky tapi juga untukmu."

"Baiklah Papa tutup dulu telponnya, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Dzaky menaruh ponselnya di meja makan dan bergegas membuat makanan untuk makan siangnya dan Rara dengan cekatan dia mengiris sayuran dan tak lupa Dzaky juga menyiapkan bumbunya.

Rara turun dari kamarnya menuju dapur berniat mengambil air minum tapi sudah disuguhi dengan pemandangan di mana Dzaky tengah sibuk memasak hanya dengan menggunakan t-shirt ketat berwarna hitam terlihat otot-otot dadanya yang shirtless dan menggoda.

Rara mencoba abai namun tak bisa, dihampirinya Dzaky yang tengah sibuk dengan wajannya namun tiba-tiba saja rasa mual datang melanda, Rara ingin memuntahkan seluruh isi perutnya keluar.

"Huewweeekkk..!!"

"Hueewwweekkk!!!

Dzaky yang mendengarnya pun tersentak dan segera mengalihkan pandangannya pada toilet yang berada di dekat dapur.

Setelah mematikan kompornya Dzaky menghampiri Rara yang tengah merasakan mual yang hebat akibat kehamilannya.

Dengan ragu Dzaky memijat tengkuk Rara tak ada penolakan darinya justru Rara merasa nyaman dengan pijitan yang dilakukan oleh Dzaky.

Merasa lebih baik, Rara bangun dari duduknya dan mengelap bibirnya dengan handuk kecil di wastafel.

"Apa sudah jauh lebih baik?" tanya Dzaky menatap Rara iba.

"Ya seperti yang kau lihat!" balas Rara kembali ketus.

"Apa perlu ke dokter untuk memeriksanya?" tanya Dzaky dan Rara pun memutar bola matanya malas.

"Kamu tak usah menghawatirkan keadaanku," ucap Rara.

"Sebenarnya apa yang kau masak? Baunya mengganggu perutku tahu!" lanjut Rara ketus

"Baiklah jika itu keinginanmu, aku masak kesukaanmu tapi justru kau merasakan mual berarti bukan rezekimu. Biar nanti aku bagi dengan tetangga di depan saja," balas Dzaky kemudian pergi kembali ke dapur melanjutkan masaknya.

"Iya terserah kamu saja," balas Rara  malas meladeni Dzaky.

"Ayo makan Ra, semua sudah selesai."

"Ogah makan makananmu lebih baik keluar beli," seru Rara membuat Dzaky geleng kepala.

"Apa kau tak pernah menghargai orang lain dan memiliki sopan santun sehingga kau berbicara seenak jidatmu seperti itu? Wanita bar-bar!" ucap Dzaky yang sudah terlanjur kesal dengan Rara.

Rara memilih diam melihat kemarahan Dzaky yang nampaknya tidak seperti biasanya.