"Kau yang akan menjadi pelayan di sini? Selamat datang di mansion kami!"
Casey dengan ragu menjabat tangan Noel, sekaligus ia penasaran apa jangan-jangan ketika bersentuhan ternyata Noel dan yang lainnya hanya sebatas hologram? Tapi ini terlalu nyata!
Oh, Casey bisa merasakan hangatnya telapak tangan Noel.
Sungguh, jantungnya hampir saja membuncah keluar karena saking senangnya.
Di sisi lain, Noel masih tersenyum walaupun sedikit bingung karena melihat gadis di depannya ini seperti menahan sesuatu. Jabatan tangan mereka pun belum lepas. "Kau tidak apa-apa?"
Casey langsung saja melepas jabatan itu, wajahnya memerah karena malu. "T-tidak apa-apa! Um ... perkenalkan nama saya Cas- G-Gwen Valerian .... uh ... saya ...."
"Tunggu sebentar bukankah di bagian sini terdapat dialog?" batin Casey karena merasa ada sesuatu yang aneh.
"Hei, Pelayan. Perkenalkan dengan benar." Kini Luke berbicara. Merasa gusar dengan tingkah gadis bersurai hitam legam dengan panjang sepunggung itu.
"Apa dia sakit?" tanya Gabriel khawatir.
"Ini pasti karena tatapan Luke seperti singa ganas, Gwen jadi takut," celetuk Eric yang langsung mendapat sinisan dari Luke.
"Apa-apaan kau!"
"Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar," lerai Noel.
Casey takut sekali, apa yang ia lakukan ke depannya tanpa dialog pilihan malah akan membuat perjalanan ceritanya menjadi buruk. Di saat mereka sibuk berdebat, Casey baru saja mendapat pesan pemberitahuan bahwa memang ia harus berjalan sendiri tanpa bantuan dialog pilihan itu.
"Tuhan, selamatkan aku," lirih Casey dalam hati.
Noel kembali duduk di antara Luke dan Gabriel. Kaki menyilang dengan kedua tangan menumpu diatas kakinya, tatapannya pun tak pernah lepas dari Casey. "Duduklah, Gwen. Kau tidak perlu takut."
Casey menuruti perkataan Noel, kini atmosfir malah semakin terasa mencekam. Semua mata fokus kepadanya.
"Kami sudah mengetahui profilemu sebelumnya. Kau mendaftarkan diri sebagai pelayan di sini, bukan?" tanya Noel dengan santai.
"I-iya, Tuan."
"Perkenalkan aku Noel salah satu yang akan menjadi majikanmu. Sebelah kananku ada Luke, Sebelah kiri Gabriel dan setelahnya Eric. Kau harus menghapal kebiasaan dan sifat mereka. Oh, pria yang tadi mengantarmu adalah Mr. Rolan. Dia sudah mengabdi di sini sejak lama. Lalu untuk pekerjaanmu layaknya seorang asisten atau pelayan rumah, kau bisa bertanya pada pelayan di sini. Namun, kau tidak akan selalu bekerja di rumah."
Casey diam, dia tahu akan bagaimana.
"Kau tidak bertanya?" tanya Noel menaikkan sebelah alisnya heran karena tidak mendapat respon yang ia duga sebelumnya.
"E-eh? Oh, ya! Kenapa aku berbeda?" Casey ingin merutuk diri rasanya, jangan sampai ia terlihat mengetahui alur kejadian ini.
"Karena bisa saja kau membantuku, Luke atau yang lainnya di luar. Kita memang membutuhkan asisten yang bisa bekerja di mana saja," jelas Noel panjang lebar. "Walaupun pekerjaanmu akan lebih berat, gajimu sudah pasti akan lebih besar. Aku juga menawarkan untuk membiayaimu kuliah. Kau belum kuliah, bukan?"
Casey menggeleng.
"Pas sekali. Kalau begitu pembicaraan hari ini sampai di sini dulu. Kau akan bekerja mulai besok. Mengenai kamar dan lainnya, kau bisa bertanya pada mereka." Noel melirik pada pelayan-pelayan yang berdiri tak jauh dari pembicaraan Noel dan lainnya.
Casey berdiri mengikuti empat pria itu yang mulai bangun dari duduknya. Masih tak menyangka bahwa di depannya ini adalah pria-pria yang selalu ia imajinasikan.
"Semangat bekerja, Gwen!" ujar Eric seraya tersenyum menampilkan gigi rapinya.
"Bye-bye! Sampai nanti!" Gabriel melambaikan tangannya, terlihat menggemaskan. Sedangkan Casey hanya membalasnya dengan senyuman yang ia buat semanis mungkin.
Selepas kepergian para pria itu, Casey langsung mendesah lega. Sedari tadi ia bahkan terlalu banyak menahan napas karena begitu gugup.
Seorang pelayan menghampiri Casey. "Nona Gwen, biar saya antar ke kamar, tasnya mau saya bawakan?"
"E-eh! Tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu, kita satu profesi, bukan? Dan tasnya juga tidak berat, kok, jadi tidak apa-apa," ujar Casey merasa tak enak.
Pelayan itu menatap Casey lumayan lama, lalu tersenyum tipis. "Baik. Kalau begitu, Gwen. Ayo kita ke kamar."
Casey langsung sumringah. "Mohon bantuan untuk ke depannya! Ngomong-ngomong namamu siapa?" tanya Casey seraya mengikuti jalan pelayan yang perawakannya mungil itu.
"Nama saya Asylin."
Casey menganggukan kepalanya, sebenarnya ia sudah mengetahui nama pelayan itu. Hanya untuk basa-basi saja.
"Apa kau sudah lama bekerja di sini?"
"Saya sudah bekerja kira-kira selama 3 tahun di sini."
Casey mengusap tengkuknya sedikit tidak nyaman. "Anu, Asylin. Kau bisa bersikap tidak terlalu formal kepadaku, sepertinya umur kita tak terlalu jauh."
Mendengar hal itu, Aslyin yang sedari tadi fokus menatap ke depan kini menoleh ke arah Casey, menatapnya dari atas ke bawah. "Umurku 22 tahun."
"Wah, Aku 19 tahun, bahkan kau lebih tua dariku. Seharusnya aku yang bersikap sopan." Casey semakin tak enak dan itu malah membuat Asylin terkekeh pelan.
"Kalau begitu kita tak perlu sama-sama sungkan," putus Asylin dengan senyum tipisnya. Tentu saja hal ini membuat Casey mengangguk senang.
Mereka kini berada di koridor dengan kanan kirinya penuh dengan kamar untuk para pelayan. Di pintu tersebut tertera angka-angka dan pintu dengan nomor 15 yang akan menjadi kamar Casey di sini. Asylin mengeluarkan kunci dari saku seragamnya lalu membuka pintu kamar tersebut.
"Ini kamarmu."
Casey perlahan masuk ke dalam kamar itu, ia tak menyangka akan melihat secara langsung kamar yang bernuansa monokrom dengan interior sederhana tetapi membuat siapa pun akan merasa nyaman di dalamnya.
"Ini benar-benar seperti mimpi," batin Casey.
Casey membalikkan badannya, tersenyum ke arah Asylin. "Aku suka kamar ini, Asylin."
"Syukurlah, dan ini seragammu untuk bekerja." Asylin membuka lemari pakaian, tampaklah seragam hitam putih penuh ruffle lengkap dengan topinya persis seperti yang dipakai Asylin saat ini. Netra Casey berbinar melihat pakaian yang berada di depannya.
"lucu sekali," puji Casey.
"Semoga ukurannya pas, kalau tidak nanti akan kutukar dengan yang lain."
"Akan kucoba nanti, tapi sepertinya akan pas."
"Semoga."
"Terima kasih banyak, Asylin," ujar Casey dengan tulus.
Asylin menganggukkan kepalanya dengan sopan. "Jangan sungkan untuk bertanya kepadaku atau pun yang lain. Dan jangan lupa untuk bangun jam 5 pagi. Untuk saat ini aku yang akan menjadi mentormu, bagian di mana kau akan membersihkan ruangan, apa yang harus kau hindari dan lain sebagainya." ujar Asylin panjang lebar.
Casey meneguk ludahnya kasar, ia menarik kata-kata sebelumnya yang ia katakan akan mudah. Sepertinya ini akan menjadi perjalanan yang berat untuknya. Mengingat dirinya yang sulit untuk bangun pagi, dan jangan lupa bahwa ia sepanjang hidupnya sama sekali tak pernah melakukan yang namanya bersih-bersih rumah. Casey mengangguk dengan ragu. "Aman, tenang saja, Asylin."
"Aku tahu kau pasti bisa, melihatmu dari awal saja kau terlihat sangat keren."
Netra Casey membulat mendengar pujian itu. Semakin tak enak jika nanti meruntuhkan ekspetasi teman barunya itu. "Tolong jangan begitu ...."
Asylin terkekeh pelan. "Kalau begitu istirahatlah, kau pasti lelah. Aku berada di kamar 6, jika perlu apa-apa, datanglah ke kamarku," ujar Asylin seraya melangkah keluar kamar.
"Baik, terima kasih!"
Cklek!
Langsung saja Casey merebahkan dirinya ke ranjang empuk tersebut walau tidak seempuk miliknya di dunia nyata. Ingat, dirinya sekarang hanya seorang pelayan.
Belum lama ia memejamkan mata, Casey melotot lalu bangun dari tidurnya seperti orang kesetanan. "Ini bukan saatnya santai-santai!'
"Seingatku Gwen memiliki ponsel di sini." Casey merogoh saku mau pun tasnya berusaha mencari benda berbentuk pipih itu. "Ketemu!" pekik Casey lega setelah mendapatkan ponsel berwarna merah muda di sela-sela pakaian yang ada di tasnya.
Jemari lentiknya kini asik menari di layar ponsel itu, mencari sesuatu yang bisa saja menjadi petunjuk untuknya. Namun, di dalamnya hanya ada foto-foto yang selalu Gwen potret, karena memang heroine tersebut menyukai fotografi. Ada juga beberapa pesan permintaan maaf kedua orang tua angkat Gwen yang tak bisa membiayai kehidupannya lagi dan terpaksa Gwen keluar dari keluarga tersebut mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
"Pasti berat sekali menjadi Gwen, dan kini aku berada di posisinya ...." gumam Casey pelan.
Casey mundur ke belakang agar ia bisa bersandar di dinding. Netranya masih fokus dengan ponsel tersebut sampai tangannya terkantuk sebuah buku. Tentu saja fokus Casey teralihkan, ia meraih buku lumayan tebal yang penuh dengan sticker bergambar kamera.
"Buku ini ... buku diary Gwen ...." Casey mulai membuka helai demi helai lembar buku diary itu, membacanya dengan penuh perasaan sampai tak sadar air mata kian menetes membasahi lembaran buku itu.
Dengan segera Casey mengusap pipinya, berniat untuk tak membacanya lagi. Karena semakin lama ia larut dalam tulisan itu, semakin hatinya teriris sakit membayangkan berada di posisi gadis itu. "Aku harus melanjutkan diary ini, mungkin bisa jadi pertolongan ke depannya."
Walaupun ia sama sekali tak pernah menulis diary, tapi untuk mempertahankan hidupnya ia akan berusaha untuk melakukan apa pun itu. Setelah merasa sudah menumpahkan kejadian hari ini ke dalam buku diary Gwen, Casey juga berinisiatif untuk memasang alarm di ponselnya.
Semoga saja alarm bisa membangunkannya. Sesungguhnya alarm yang ampuh untuk Casey hanyalah sang baginda ratu alias ibu galaknya yang berada di dunia nyata.
"Sial! Aku lupa tidak pernah menyentuh sapu dan sebagainya!" pekik Casey panik. "Aku harus bagaimana besok, rasanya Casey dan Gwen benar-benar bertolak belakang jauh sekali," lanjutnya bermonolog.
Tentu saja karakter Gwen dalam game tersebut memang digambarkan seorang gadis yang selalu melakukan apa pun sendiri, pintar dalam pekerjaan rumah tangga berbanding terbalik dengan Casey yang segala hal dibantu oleh pelayan rumahnya.
Casey meraih ponselnya lagi berniat untuk membuka mesin pencari di internet mengenai 'cara membersihkan rumah dengan cepat', setelah mendapatkannya ia perhatikan dengan fokus. Setidaknya dirinya paham teori itu sudah lebih dari cukup.
Semoga beruntung, Casey.