Gadis itu menarik napasnya panjang lalu menatap keempat pria itu dengan serius.
Ia sudah memantapkan hatinya untuk mengambil satu jurusan.
"Aku memilih jurusan arsitektur."
Tidak ada perubahan mimik wajah dari mereka terkecuali Eric.
"Kenapa memilih jurusan arsitektur?" tanya Noel.
"Karena aku suka menggambar khususnya sebuah bangunan. Bisa menuangkan ide-ide menjadi karya seni dan aku juga ingin objek yang kubuat bisa bermanfaat untuk banyak orang," jawab Casey dengan mantap.
Hal ini memang benar-benar Casey katakan dari hati yang terdalam. Seperti yang ia dapatkan dari ayahnya di saat masih hidup.
"Dengar, putriku yang sangat kusayangi. Jika kau ingin menjadi seperti ayah, buatlah sebuah bangunan yang bermanfaat untuk banyak orang terutama kalangan kurang mampu. Kau akan menuai hal itu setelah mencapainya, rasa bahagia yang akan selalu membuncah dari dalam hatimu. Ingat itu, Casey."
Casey tersenyum tipis jika mengingat perkataan ayahnya. Netranya sudah berkaca-kaca tetapi berusaha untuk tak meneteskan air matanya saat itu juga.
Noel mengangguk seraya tersenyum dengan penuh arti, sedangkan Eric hanya memandanginya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Jujur saja, Eric sama sekali tak menyangka dengan jawaban yang keluar dari bibir gadis itu. Tanpa sadar ia tersenyum bahkan terkekeh pelan membuat Casey menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Kalau begitu kau akan satu jurusan dengan Eric, ya," final Noel.
Casey mengangguk sedikit takut. Sebenarnya alasan lainnya adalah karena ia memilih rute Eric jadi sudah pasti Casey harus mengambil banyak cara agar bisa dekat dengan pria itu. Sekaligus setidaknya Casey bisa merasakan berada di dalam jurusan arsitektur walaupun bukan di dunia asli dan kebetulan saja Eric berada di jurusan tersebut.
Jadi Casey bisa dibilang sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
"Kalau begitu ini bisa lebih mudah, kau bisa belajar dengan Eric setelah pekerjaan rumah telah selesai. Selagi Eric tidak ada pekerjaan karena masih libur semester. Bisa, kan?" tanya Noel pada Eric.
"A—apa? Aku?"
"Ya, tentu saja kau. Karena jika aku sudah pasti tidak mungkin," sahut Gabriel. "Apalagi Luke."
"Terus saja membawa namaku," dengus Luke.
Noel bangkit dari kursinya, tak bisa berlama-lama karena segudang pekerjaan telah menantinya.
"K—kau mau kemana, Kak?" tanya Eric panik.
Noel menghela napasnya berat, menghampiri salah satu adiknya. "Aku menitipkan Gwen padamu. Selagi kau tidak ada pekerjaan, tidak ada salahnya kan mengajari Gwen? Aku berharap banyak pada kalian." Noel menepuk pundak Eric seraya tersenyum manis. Namun bagi Eric itu adalah senyum dengan arti mengerikan.
Noel beralih menatap Gwen. "Oh, dan aku harap kau bisa satu kampus dengan Eric. Kampus Eric termasuk kampus terbaik, jadi belajarlah dengan giat, Gwen," ujar Noel sama manisnya. Namun malah membuat Casey bergidik ngeri. Setelah itu Noel berjalan keluar dari ruang makan diikuti Mr.Rolan.
Sungguh, Noel adalah pria yang menakutkan.
"K—kak tapi aku—Noel!" teriak Eric tetapi Noel telah berjalan jauh dan tak minat mendengarkan alasan adiknya. Sedangkan Eric kembali duduk di kursinya seraya mengacak surai coklatnya dengan kasar.
"Selamat belajar, Gwen! Kau pasti bisa!" Gabriel menyemangati sebelum ia juga pamit untuk berangkat ke sekolah. Adik bungsu dari keluarga Wilson yang baru menduduki kelas 12 SMA dengan selingan kerja sebagai model majalah.
"Akhirnya kau tidak menganggur, Eric. Aku mendukungmu," ledek Luke, si Aktor terkenal menepuk puncak kepala Eric.
Eric langsung menepis tangan sang aktor tersebut dengan gusar. "Mendukung apanya! Tidak usah sok baik padaku, aktor amatir!"
"Kau memang tidak bisa diperlakukan dengan manis!" Luke menjitak kepala Eric. Belum Eric membalasnya, Gabriel langsung menyeret Luke keluar dari ruangan tersebut. Bisa-bisa sampai matahari terbenam mereka baru selesai bertengkar.
Kini hanya ada Eric di sana. Casey mencuri pandang pada pria itu, raut wajah Eric terlihat masam seakan masih tak terima dengan perintah kakaknya. Hal ini membuat hati Casey berdenyut sakit, tidak seharusnya Eric membantunya dan ia tak ingin memaksa.
"A—anu, Tuan Eric, Saya tidak apa-apa. Saya bisa belajar sendiri. Tuan tak perlu memikirkan hal itu," ujar Casey seraya memaksakan senyumnya.
"Tidak, tidak apa-apa, Gwen. Ini bukan salahmu. Aku tidak keberatan, kok." Eric tersenyum manis tak ingin membuat Gwen merasa bersalah. Ia sadar bahwa perbuatannya saat ini menyinggung pelayan barunya.
"Tuan tidak perlu berbohong."
"Hei, aku tidak bohong!" tegas Eric dengan bibir cemberut. Casey hanya bisa terkekeh pelan.
"Sejujurnya aku senang mendengar alasanmu memilih jurusan arsitektur. Menurutku, itu alasan termulia yang pernah aku dengar. Jadi aku akan membantumu untuk masuk ke jurusan yang sama denganku," lanjut Eric dengan tatapan tulus. Casey tak mampu berkata-kata, hatinya senang dengan pujian yang baru saja dilontarkan oleh pria tampan di depannya ini.
Eric bangkit dari kursinya seraya melihat jam tangan rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. "Mungkin kita bisa mulai hari ini. Jam berapa kau selesai?"
Casey menatap Asylin yang tak jauh darinya. Asylin memberikan isyarat dengan mengeluarkan lima jarinya yang menandakan pekerjaan mereka akan selesai pada pukul lima sore.
"Jam lima sore, Tuan," jawab Casey.
Eric mengangguk-angguk seraya membulatkan mulutnya pertanda mengerti. "Kalau begitu nanti malam, ya. Selamat bekerja kembali, kalian juga!" seru Eric kepada seluruh pekerja yang ada di sana sebelum keluar dari ruangan makan.
"Terima kasih banyak, Tuan. Selamat beraktivitas!"
Setelah kepergian Eric, seluruh pelayan langsung menyerbu Casey dengan ratusan pertanyaan.
"Bagaimana rasanya di tengah perbincangan mereka, Gwen?"
"Wah, aku iri sekali!"
"Rasanya seperti diperebutkan oleh keempat pangeran!"
"Tapi aku bisa merasakan gugupnya Gwen saat mereka bertengkar."
"Tuan Noel benar-benar berwibawa, tipeku sekali!"
"Sikap tuan Eric yang jahil juga selalu membuatku ingin tertawa."
"Kau benar, apalagi jika tuan Luke atau tuan Gabriel menanggapinya dengan kesal!"
"Jadi kau akan menghabiskan waktu bersama tuan Eric, Gwen? Tidakkah jantungmu akan selalu berdebar dengan kencang?"
"Hei, hei, hentikan imajinasi liar itu. Kalian membuat Gwen bingung," lerai Asylin membuat para pelayan lain mendesah kecewa.
"Hati Asylin seperti batu, tak pernah merasakan apa itu jatuh cinta," cibir Marie yang langsung mendapat jitakan. Seisi ruangan tertawa tak terkecuali Casey.
"Makanan kalian telah siap~ pasti lelah sekali bekerja dengan perut lapar, kan?" Riley dan para chef menata piring-piring yang sudah terisi dengan sup hangat khusus untuk mereka para pekerja. Aroma sup langsung menyeruak ke seluruh ruangan, perut Casey bahkan sedari tadi berteriak meminta makan. Dirinya langsung menyerbu sup lezat itu sama halnya dengan yang lain.
Sebelum bekerja, mereka biasanya memiliki stok makanan instan di kamar masing-masing. Jadi perut mereka tidak benar-benar kosong saat bekerja.