Seharian ini Casey bekerja membersihkan mansion yang luasnya mungkin sama dengan stadion sepak bola. Mansion yang bergaya american classic dengan fasilitas yang lengkap di dalamnya, seperti gym, cinema, game center, perpustakaan sekaligus study room dan lain sebagainya. Casey benar-benar mengitari seluruh ruangan yang ada di kediaman keempat tuannya itu, terkecuali ruangan privasi mereka yang tak sembarang orang untuk memasukinya. Casey tak henti-hentinya berdecak kagum karena bisa melihat langsung dengan mata kepalanya sendiri. Walaupun sangat lelah, tapi Casey mulai menikmati pekerjaannya.
Sebentar lagi jarum jam menunjukkan pukul 5 sore. Semua pekerjaannya telah selesai. Casey merebahkan dirinya di kursi. Badannya terasa pegal di seluruh area. Ia tak bisa membayangkan akan terus seperti ini sampai bisa kembali ke dunia nyata.
"Lelah, ya?" Asylin menghampiri Casey seraya memberikan air minum dingin.
"Lumayan. Terima kasih, Asylin." Casey menerima air tersebut dan langsung ia teguk sampai habis tak tersisa setetes pun.
"Bukankah nanti malam kau akan belajar bersama dengan tuan Eric? Bersiap-siaplah, jangan membuat tuan menunggu lama," pesan Asylin.
"Oh, kau benar! Aku hampir lupa! Kalau begitu aku duluan kembali ke kamar, ya," pamit Casey. Ia meletakkan gelas ke meja setelahnya lari menuju kamar.
"Jangan lari-lari!" seru Asylin. Casey langsung berhenti berlari dan beralih ke jalan cepat. Asylin hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Cklek
Casey menutup pintu kamarnya kemudian ia kunci. Kembali merebahkan dirinya ke ranjang, menarik napas panjang lalu ia embuskan secara perlahan.
Rasanya waktu berjalan begitu lambat.
Ia tak bisa berleha-leha seperti saat di dunia asli. Kehidupannya berbanding terbalik 180°. Casey bangkit dari tidurnya yang hanya sekilas itu lalu meraih buku diary Gwen. Ia harus menuangkan cerita hari ini ke dalam buku tersebut.
"Apa nanti saja, ya? Setelah belajar bersama dengan Eric?" gumam Casey.
Setelah berpikir panjang akhirnya ia kembali meletakkan buku berwarna lilac dengan stiker berbentuk kamera itu ke laci. Memutuskan untuk menulis nanti malam saja.
Pipinya merona merah tatkala Casey memikirkan dirinya akan berbincang hanya berdua dengan Eric. Apalagi mengingat kejadian tadi pagi, bukankah mereka akan sangat canggung? Bagaimana jika nanti saat dirinya tak mengerti satu atau dua hal, lalu Eric mengajarinya, sepertinya ia akan fokus pada wajah Eric bukan dengan pelajarannya. Membayangkan jarak mereka akan begitu dekat dan Casey bisa merasakan deru napasnya yang hangat lalu-
Casey menepuk pipinya keras, menetralkan kembali pikirannya yang terlalu banyak imajinasi liar.
"Sadarlah Casey, kau sudah terlalu gila. Lebih baik mandi!" Casey meraih handuknya lalu lari terbirit-birit menuju kamar mandi.
"Casey kau harus sangat wangi kali ini!" seru Casey bermonolog di dalam kamar mandi.
***
Pukul tujuh malam.
Casey sudah siap untuk bertemu dengan Eric. Semuanya sudah ia cek. Wangi tubuhnya, surai rambutnya yang sudah ia tata sebaik mungkin, pensil dan buku juga sudah ia siapkan. Walaupun ia merasa pakaian yang ia kenakan tidak seperti yang ia harapkan. Lebih dari setengah jam ia mengacak-acak pakaian Gwen dan menurutnya tidak ada yang menarik.
Casey seharusnya ingat jika Gwen hanyalah gadis dari keluarga kurang mampu dan kini sebatang kara.
Akhirnya Casey memilih yang menurutnya lumayan dari seluruh pakaian yang heroine itu miliki. Ia juga sedikit padu padankan agar terlihat lebih menarik. Dress dengan motif bunga berwarna merah muda lalu ia padukan dengan cardigan tipis berwarna putih menambah kesan manis di sana.
Casey sedari tadi hanya melenggokkan badannya di depan cermin, bahkan bertanya pada cermin tersebut layaknya penyihir yang ada di princess snow white.
"Oh, cermin, siapakah wanita paling cantik di dunia ini?"
Casey memang sudah gila.
"Kenapa aku seperti ingin berkencan, ya?" gumam Casey. Setelah dipikir-pikir usahanya yang terlalu besar itu, Casey langsung membenturkan kepalanya ke cermin dengan pelan. "Ternyata aku terlalu berlebihan. Bagaimana kalau Eric berpikir bahwa aku ini sangat aneh?"
Tok tok!
Casey langsung menoleh ke asal suara, tetapi masih enggan untuk menghampirinya.
"Gwen?"
"Eric?" gumam Casey dengan suara pelan. Ia mulai memberanikan diri untuk menghampiri pintu dan membukanya.
Nampaklah sesosok pria dengan tinggi 182 cm dengan pakaian casualnya. Kemeja hitam berbahan flanel dengan lengan yang digulung hingga siku, celana jeans pendek berwarna cream dan wangi maskulin mahal yang tak sembarang orang memilikinya. Casey hanya bisa termangu memandangi karya Tuhan yang begitu indah di depannya ini.
"Hai?" sapa Eric dengan senyum khasnya.
"O—oh, selamat malam, Tuan Eric. Seharusnya saya tidak membuat Tuan sampai ke sini. Maafkan saya, Tuan," mohon Casey dengan membungkukkan kepalanya sedikit rendah.
"Tidak, tidak! Aku sendiri yang lupa memberitahu detail jamnya berapa. Aku yang minta maaf."
Casey tersenyum tipis, sebenarnya di dalam hatinya ia sudah berteriak kegirangan. "Tidak apa-apa, Tuan."
"Kalau begitu kita bisa langsung saja ke lokasi, ayo," ajak Eric. Casey mengikuti langkah pria itu dari belakang. Memandang punggung kokoh itu, pundaknya yang lebar. Sudah pasti Eric digemari oleh seluruh wanita yang ada di kampusnya.
Mereka tidak keluar dari mansion, Eric mengajaknya ke perpustakaan untuk mengambil beberapa buku yang mereka butuhkan lalu ke ruang belajar yang memang sudah rangkap dengan perpustakaan tersebut.
Perpustakaannya begitu luas dan lengkap dengan koleksi buku yang beragam. Buku-buku yang tertata rapi dan sama sekali tak ada noda mau pun debu di sana menandakan buku-buku tersebut selalu dirawat dengan baik. Wangi aroma khas buku pun langsung menyeruak ke dalam rongga hidung Casey. Di dalam ruangan itu juga terdapat sebuah mesin kopi otomatis tujuannya adalah jika merasa haus mau pun mengantuk, mereka bisa langsung membuatnya tanpa harus pergi jauh ke arah dapur.
Sungguh, sebenarnya ia tak pernah betah di dalam ruangan penuh buku seperti ini. Namun, demi mendapatkan hati Eric, apa pun harus Casey perjuangkan.
Eric meletakkan tumpukan buku yang menjulang tinggi ke meja. Casey hanya bisa mengerjapkan matanya. Apa ia harus mempelajari buku-buku tersebut selama satu malam?
"Sudah siap?" tanya Eric seraya memajukan kursinya membuat posisi senyaman mungkin.
Casey meneguk ludahnya kasar lalu mengangguk ragu.
"Oh, tunggu sebentar. Sepertinya sebelum itu, aku harus mengenalmu lebih jauh."
"Eh?"
Netra berwarna emerald milik Eric menatap langsung netra milik Casey. Tatapan yang begitu intens dan rasanya Casey bisa saja terhipnotis oleh pria di depannya ini. Dirinya ingin mengalihkan pandangannya entah ke mana saja asal tidak beradu tatap dengan Eric, tetapi hati kecilnya berteriak enggan. Seakan menikmati momen yang ia lakukan dengan tuan mudanya.
Jantung Casey hampir melompat ketika ujung bibir pria itu tertarik ke atas menampilkan senyum Eric yang begitu mempesona.
Sebenarnya apa yang ingin Eric ketahui tentang dirinya?!